Thursday, November 27, 2025

2025

Khotbah Minggu XX Setelah Pentakosta - 26 Oktober 2025

Khotbah Minggu 26 Oktober 2025 - Minggu XX Setelah Pentakosta

 

 BARANGSIAPA MENINGGIKAN DIRI, IA AKAN DIRENDAHKAN (Luk. 18:9-14)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2Tim. 4:6-8, 16-18; Yo. 2:23-32 atau Yer. 14:7-10, 19-22; Mzm. 65 atau Mzm. 84:1-7;

 

 

Pendahuluan

 

Minggu ini kita diberikan pengajaran tentang bagaimana sikap kita ketika datang menghadap Allah untuk berdoa. Hakekat berdoa tentulah pengakuan campur tangan dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari, dan sikap itu mencerminkan permohonan belas kasihan akan pembenaran Allah tentang apa yang kita lakukan dan kita minta. Melalui perbandingan dua orang yakni seorang Farisi sebagai tokoh agama orang Yahudi yang berdoa dengan cara yang menurutnya benar, dengan sikap berdoa seorang pemungut cukai yang sudah dicap sebagai pendosa. Tuhan Yesus kemudian membandingkan sikap berdoa kedua orang ini. Melalui perbandingan dalam nats ini, kita diberikan pengajaran berdoa oleh Tuhan Yesus sebagaimana diutarakan berikut.

 

 

 

Pertama: perbuatan kebaikan dalam hidup (ayat 9-10)

 

Kalau sebelumnya Tuhan Yesus mengkontraskan seorang janda dengan hakim dalam perumpamaan-Nya, maka kali ini Ia juga mengkontraskan antara seorang Farisi dengan pemungut cukai. Ia memakai pribadi kontras ini untuk membandingkan bagaimana sikap berdoa di hadapan Allah. Pengertian berdoa yang dimaksudkan adalah dalam hal kita berkomunikasi dengan Allah, memanjatkan syukur dan pujian, memohon pengampunan atas dosa dan kesalahan, "melaporkan kegiatan kehidupan kita", memohon pertolongan atas pergumulan kita, dan menaikkan permohonan akan kebutuhan dan pengharapan kita di dunia ini dan di kehidupan nanti. Dengan demikian maka hakekat doa bagi kita orang percaya adalah wujud ekspresi sikap dan keyakinan akan ketergantungan kita kepada Allah.

 

 

 

Doa adalah sebuah tahapan awal ketika kita memulai sesuatu. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan hanya dengan berdoa. Oleh karena itu ada slogan atau pameo: Ora et Labora, berdoa dan bekerja. Maka di dalam perbuatan atau bekerja inilah diperlihatkan kesejatian dari keyakinan kita akan rasa syukur dan pengharapan kepada Allah. Manusia diciptakan tidak hanya bisa meminta dan meminta. Manusia diperlengkapi untuk memberi dan memberi dan kita ingat pesan Tuhan yang indah bahwa adalah lebih berbahagia mereka yang memberi dari pada menerima (Kis. 20:35). Maka melalui sikap, pemberian dan perbuatan, maka semua itu akan membuktikan apa yang kita yakini dan ucapkan, tidak hanya OMDO (omong doang).

 

 

 

Allah memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan baik, bukan saja dalam ketaatan kepada aturan-aturan akan tetapi juga dalam pemberian dan pengorbanan yang kita berikan kepada orang lain. Ketaatan pada aturan tentu saja meliputi dua aspek utama yakni tidak melanggar larangan dan melakukan perintah-Nya. Maka apabila semua itu dapat terjadi, kita akan bersyukur dan bersuka cita karena Allah memampukan kita melakukannya. Kita tidak dapat berbangga apalagi menyombongkan hal yang kita lakukan itu, sebab itu sudah menjadi kewajiban dasar dan tidak ada istimewanya. Apalagi, kemanusiaan kita membuat apa yang kita lakukan itu sebenarnya belum tentu maksimal atau terbaik. Hal inilah yang digambarkan dalam nats yang kita baca, bagaimana kita melihat apa yang sudah kita lakukan itu sesuai dengan sikap dan keyakinan kita akan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

 

 

Kedua: memuji diri (ayat 11-12)

 

Orang Farisi yang digambarkan dalam bacaan kita ini sedang berdoa kepada Tuhan. Ada beberapa aspek yang perlu kita lihat dalam hal ini, yakni sikap dalam berdoa dan apa yang disampaikan dalam doa tersebut. Hal yang pertama kita lihat adalah, orang Farisi ini sudah menempatkan dirinya “lebih” baik dan lebih tinggi dari pada orang lain. Ia dengan bangga tegak berdiri dengan pengharapan akan dilihat orang. Ini adalah pemujaan terhadap diri sendiri. Tuhan Yesus berkata janganlah berdoa di pinggir jalan tetapi apabila kamu berdoa masuklah ke dalam kamar (Mat. 6:6). Memang berdoa berdiri tidak dilarang dalam Alkitab (band. Mat. 6:5) akan tetapi sikap yang lebih baik adalah kita tunduk dan sudjud menempatkan diri secara rendah di hadapan Tuhan.

 

 

 

Hal kedua yakni apa yang disampaikan dalam doanya itu menganggap dirinya benar dan membanggakan diri kepada Allah. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai itu. Alangkah piciknya orang seperti itu apalagi membandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya. Meski doanya diucapkan dalam hati, akan tetapi itu sudah merupakan sikap hatinya terhadap Allah dan orang-orang yang disekelilingnya. Siapakah kita ini yang bisa berbangga diri? Siapakah kita ini yang bisa menyombongkan diri? Bukankah seperti yang disampaikan di atas tadi, kita pasti belum maksimal memberikan bagi Tuhan, oleh karena itu mohonkanlah pengampunan bukan kesombongan.

 

 

 

Hal ketiga yakni ia membanggakan apa yang sudah dilakukannya yakni dengan berpuasa dua kali seminggu, memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya Padahal kita tahu bahwa kebiasaan orang Farisi berpuasa adalah dengan memperlihatkan diri sedang berpuasa untuk mendapatkan pujian, sehingga Tuhan Yesus berkata agar apabila berpuasa maka minyakilah rambutmu, sehingga orang lain tidak mengetahui kita sedang berpuasa (Mat. 6:17-18)). Demikian juga dengan menyombongkan pemberian persepuluhan, kita tahu orang Farisi memeras penduduk dengan mengambil persepuluhan dari semua yang orang miskin miliki termasuk adas dan jinten yang merupakan tanaman obat saja (Mat. 23:23). Itu sungguh perbuatan tercela dan tidak layak untuk dibanggakan pada Allah.

 

 

 

Ketiga: kerendahan hati (ayat 13)

 

Sebaliknya yang dilakukan oleh pemungut cukai yang juga berdoa di tempat itu. Pemungut cukai adalah lambang orang (paling) berdosa dalam Alkitab, karena mereka ini dianggap mengambil hak orang lain dengan cara paksa yang membuat banyak orang lain menderita. Memang ada beberapa jenis kaum pendosa, yakni mereka yang dengan bangga menyombongkan buah dosanya (seperti kekayaan hasil korupsi) bahkan perbuatan dosanya itu (mempunyai istri lebih dari satu). Demikian juga pendosa ada yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya sungguh tidak berkenan kepada Tuhan, tetapi mereka tidak atau belum mampu untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman dosa itu.

 

 

 

Untuk mereka yang pertama, apabila tidak ada pertobatan, maka akhir hidup mereka akan berada di penghakiman. Sementara mereka yang sadar berdosa dan masih berusaha berkutat dalam pergumulan untuk keluar dari jerat itu, Allah kita yang Mahabaik itu akan mendengar keluhan kita. Mereka yang secara jujur datang kepada Tuhan dengan rasa takut dan hormat, serta di dalam pengharapan belas kasihan dari Yesus, maka Tuhan kita itu akan mempertimbangkan dengan adil dan penuh hikmat. Hal itulah yang disadari dan dilakukan oleh pemungut cukai itu. Ia menyadari keberdosaannya dan menyadari ketidakmampuannya lepas dari jerat dosa itu. Ia datang memohon kepada Yesus dengan rasa takut dan hormat serta penuh pengharapan.

 

 

 

Pemungut cukai itu memukul-mukul dadanya sebagai ekpresi penyesalan yang dalam (band. Yes. 66:2; Yer. 31:19). Sikap seperti itu hanya dapat terjadi apabila kita dalam kerendahan hati. Ia tidak menyukai apa yang dilakukannya. Ia menangis dan meratapi perbuatannya yang hina dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Meski ia datang membawa persembahan (dari kata mendamaikan" Yun: hidasthēti yakni mempersembahkan kurban, band. Ibr. 2:17), namun ia tidak berani menengadah ke atas ke arah langit dalam pengertian ia merasa malu dan menyesali apa yang sudah dilakukannya. Itu adalah sikap pertobatan sejati, menyesali apa yang sudah terjadi dan memohon pengampunan dan pertolongan Tuhan agar diberikan pengasihan. Sikap sadar bahwa yang kita lakukan adalah salah atau kurang sempurna, atau belum melakukan yang optimal sesuai dengan kehendak Yesus, maka selayaknya kita datang dengan merendahkan diri.

 

 

 

Keempat: meninggikan diri dan direndahkan (ayat 14)

 

Ketika kita datang kepada Tuhan, kita tidak boleh merasa diri kita benar. Sikap membenarkan dan membesarkan diri sendiri sangat berbahaya dalam ekspresi kita menghadap Allah, dan membuat bahwa apa yang kita lakukan menjadikan seolah-olah semua itu adalah usaha kita sendiri dan prestasi kita. Jangan seperti orang Farisi seolah-oleh menyiratkan sedikit pun ia tidak membutuhkan pengasihan. Sebaliknya kita diajarkan bahwa datang kepada Tuhan haruslah merasa belum memberikan yang terbaik kepada Tuhan dan tidak layak menghadap Allah. Itu bukan berarti bahwa Tuhan menuntut dan menuntut yang lebih besar dan lebih banyak, melainkan bahwa kita yang sadar bahwa yang kita berikan melalui hati, pikiran, perasaan dan perbuatan belumlah sebanding dengan berkat dan penebusan keselamatan yang diberikan kepada kita.

 

 

 

Kita tetap memerlukan belas kasihan dan karunia dari Allah. Kita harus meneladani apa yang dilakukan Tuhan Yesus yakni dengan turun dari takhta sorga dan menjadi hamba yang sengsara dan mati di kayu salib, serta merendahkan diri dan taat setia sampai mati (Flp. 2:7-8). Itu adalah benchmark atau patokan kita sehingga apa yang kita lakukan belumlah sebanding dengan apa yang Dia lakukan bagi kita. Merendahkan hati dan diri ketika datang ke hadirat-Nya merupakan ekspresi penyembahan yang sejati dan bukan pertobatan yang palsu atau penyembahan dan peninggian diri sendiri. Sikap kita haruslah seperti anak kecil yang tulus dan meminta dengan ekspresi ketergantungan total akan belas kasihan-Nya. Sikap bagaikan anak kecil ini membuat kita akan lebih mudah dibenarkan oleh Allah.

 

 

 

Ketika kita berdoa maka tujuan kita adalah dibenarkan oleh Allah sebelum Ia mengabulkan doa kita. Faktor pembenaran ini sangat penting sebab apa yang menjadi pergumulan dan pengharapan kita di dalam doa, itu terlebih dahulu dibenarkan oleh Allah yang kita butuhkan. Akan tetapi ketika kita sudah merasa benar dan apalagi hebat, maka dalam menghadapi seperti itu, sikap merendahkan orang lain dan meninggikan diri diri sendiri jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan bagi Allah. Alkitab mengajarkan justru kita harus meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri (band. 2Kor 11:7; Flp 2:3). Tuhan Yesus dengan tegas memberi pengajaran sebagaimana pada ayat terakhir, bahwa barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (band. Mat. 23:12; Yak. 4:10).

 

 

 

Kesimpulan

 

Adalah merupakan kewajiban kita untuk melaksanakan perintah Tuhan Yesus dalam hidup kita sehari-hari, baik itu dalam perintah larangan maupun perintah ketaatan dalam melakukan perbuatan baik dan berkenan kepada-Nya. Demikian juga kita wajib “melaporkan” segala sikap dan perbuatan kita kepada-Nya melalui doa. Akan tetapi doa bukanlah hal sepele yang hanya berupa laporan saja terlebih membanggakan apa yang sudah kita perbuat. Berdoa untuk datang kehadapan-Nya haruslah dengan sikap rasa penyesalan, yang didasarkan pada kerendahan hati dan pertobatan bahwa kita masih terjerat belenggu dosa dan yang kita perbuat belumlah yang terbaik sesuai dengan apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita. Oleh karena itu, janganlah kita meninggikan diri di hadapan-Nya melainkan tetap dalam kerendahan hati. Sebab seperti kata firman-Nya, siapa yang meninggikan diri pasti akan direndahkan.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu XX Setelah Pentakosta - 26 Oktober 2025

Khotbah Minggu 26 Oktober 2025 - Minggu XX Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

 AKHIR PERTANDINGAN (2Tim. 4:6-8, 16-18)

 

 “To God be glory forever and ever. Amen!” (4:18b)

 

             Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XX setelah Pentakosta ini diambil dari 2Tim. 4:6-8, 16-18. Nas ini berbicara tentang hidup bagaikan sebuah pertandingan. Ketika mulai menjadi dewasa dengan pengakuan iman, kita sebenarnya telah masuk ke dalam arena pertandingan, bagian perjalanan kehidupan, hingga tiba saatnya semua usai, yakni kita dipanggil pulang menghadap-Nya, mempertanggungjawabkan "permainan" yang kita pertunjukkan.

 

 

 

            Jelas tidak masuk akal, bila kita ada di dunia ini hanyalah sebuah kebetulan atau proses alamiah semata. Manusia memiliki jiwa dan kekuatan akal untuk merencanakan dan memilih yang terbaik, yang mampu dikembangkannya sendiri atau bersama. Firman Tuhan memberi mandat budaya kepada manusia untuk meneruskan masa depan ciptaan Allah, dan mengelolanya dengan berkhikmat (Kej. 1:28). Oleh karena itu, setiap orang wajib mengambil bagian di dalamnya dan merumuskan tujuan hidupnya.

 

 

 

            Merujuk kepada ayat 1-5 sebelumnya, sangat jelas bahwa kita ada dan hadir di dunia ini mengemban misi Allah. Misi tersebut tidak terlepas pada rencana Allah menciptakan bumi dan segala isinya, yakni agar ciptaan-Nya itu tetap sempurna dan semua baik (Kej. 1:31). Allah menciptakan Taman Eden bagi Adam dan Hawa, untuk hidup tenteram sejahtera seturut rencana-Nya. Kehadiran iblis dalam seekor ular membuyarkan rencana tersebut, sehingga rencana lain dijalankan dan manusia perlu bersusah payah serta harus menderita dalam menjalani kehidupan di bumi ini (Kej. 3:16-19). Tetapi maksud Allah tetap, yakni menghadirkan kerajaan sorga di bumi dengan seluruh mosaik keindahan dan persoalannya.

 

 

 

            Hidup adalah pertandingan, dan yang ingin dicapai adalah kemenangan. Kemenangan tidak selalu harus dengan menyakiti. "Lawan" bisa berupa diri sendiri seperti disiplin dalam sebuah permainan golf. Diri sendiri juga perlu dikalahkan dengan mengalahkan ego, ambisi, keinginan daging dan tawaran keduniaan, atau kesombongan meninggikan diri. Lawan dapat berupa pihak lain dengan berbagai siasat dan kekuatan. Iblis adalah komandan semuanya. Tetapi bagi seorang pemenang, yang dasarnya kuat dalam iman, ia tentu dapat mengendalikan semuanya, tetap bertumbuh secara rohani. Tujuan akhirnya yakni: menjadi pemenang, penerima mahkota kebenaran (ayat 8).

 

 

 

            Masalah selalu ada. Lawan bisa saja lebih kuat untuk sesaat. Kita kadang-kadang ditinggalkan kawan dan merasa sendiri, nelongso (ayat 18). Tetapi seperti Rasul Paulus tekankan dalam akhir nas ini, tidak usah terlalu dikuatirkan. Allah selalu setia mendampingi dan menguatkan (ayat 17). Fokuslah dalam panggilan sorgawi, yakni menjadikan hidup ini adalah persembahan dan kesaksian, berbuah dan tetap teguh. Kematian sebagai akhir pertandingan bagi orang percaya, menjadi sebuah akhir kelepasan dari tugas-tugas di dunia, dan masuk ke dalam kehidupan sukacita abadi yang indah, yakni Kerajaan-Nya di sorga yang baka. Kini pertanyaannya: sudahkah aku ikut ambil bagian dalam pertandingan itu dan tidak hanya sebagai penonton? Sesal di akhir jelas tidak berguna. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 19 Oktober 2025

Kabar dari Bukit

 

 ANTARA FILSAFAT DAN FIRMAN TUHAN (Mzm. 119:97-104)

 

 ”Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (Mzm. 119:94)

 

 

 

Tuhan Yesus berkata, "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat. 4:4; Ul. 8:3b). Ini sebuah kebenaran. Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Tubuh membutuhkan roti/makanan dan minuman, sementara jiwa dan roh membutuhkan hikmat dan pengertian atau kebijaksanaan. Hikmat sendiri berasal dari dua sumber, yakni dari manusia berupa ilmu pengetahuan termasuk filsafat, sementara hikmat Allah berasal dari Allah sendiri yang mewahyukan.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 119:97-104. Ini bagian dari Mazmur Raja Daud tentang kesukaannya terhadap Taurat dan berkat yang diperolehnya. Raja Daud orang pintar dan perkasa, namun tetap ia lebih menyukai hikmat Allah dari Taurat atau Firman Tuhan dibandingkan dengan hikmat manusia.

 

 

 

Ada alasan hikmat Allah lebih unggul memberi berkat lebih besar. Hikmat manusia memang ada bagusnya, terlebih bila didasari oleh filsafat seperti stoikisme yang saat ini sedang populer. Tetapi filsafat sering membawa kita kepada agnostisisme, tidak percaya adanya Tuhan yang ikut bekerja sama dengan manusia dalam menjalani kehidupan. Bagi filsafat stoikisme, misalnya, Allah adalah sesuatu yang impersonal (tidak berpribadi), tidak berhubungan, abstrak dan tidak dikenal. Sementara bagi kita orang percaya, Allah adalah Roh, Pencipta dan Pemelihara kehidupan yang kita mengenalnya dalam pribadi Yesus Kristus.

 

 

 

Hikmat Allah berasal dari Allah melalui nabi/rasul yang dipilih-Nya.  Filsafat berasal dari pikiran manusia untuk mencari kebenaran dan makna hidup menurut akal budi, sementara Allah menyatakan sendiri kebenaran-Nya dan membawa manusia lebih dekat, mengenal serta menaati-Nya. Firman Allah memperbarui manusia sementara filsafat hanya mencari pemahaman. Memang dalam menerima hikmat Allah melalui firman-Nya, diperlukan iman yakni keyakinan terhadap sesuatu yang belum terlihat. Tetapi iman bukanlah kebodohan.

 

 

 

Nas minggu ini menjelaskan bahwa ada lima langkah yang diperlukan terkait firman Allah. Pertama, MENCINTAI. Memang cinta tidak hanya dari pandangan pertama. Mohonkan sentuhan di hati dari Allah, memulai dan mendapatkan sari dan makna perjalanan hidup. Untuk itu seperti ditambahkan, perlu MERENUNGKANNYA sepanjang hari (ay. 97). Jadi firman tidak hanya dibaca tetapi juga direnungkan bahkan perlu DIMENGERTI (ay. 100).

 

 

 

Dengan mengambil ketiga langkah awal tersebut maka kita seperti Daud akan merasakan lebih bijaksana dari musuh-musuh (ay. 98). Daud juga membuat dirinya lebih berakal budi dari para guru, yang tentunya karena faktor pengalaman dan keinginan mencerna (ay. 99).

 

 

 

Langkah keempat, setelah mengerti kita perlu MEMEGANGNYA. Hidup ini tidak terlepas dari godaan, pergumulan dan tantangan. Untuk itu sebagai langkah kelima kita perlu MENAHAN DIRI dari segala yang jahat (ay. 101). Jangan coba-coba menyimpang (ay. 102). Bencilah segala jalan yang serong (ay. 104). Alkitab menjelaskan, “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Mat. 4:7; Ul. 6:16), apalagi beralasan kita adalah anak-anak Tuhan dan menggampangkan dosa akan diampuni.

 

 

 

Hidup masih penuh misteri dan kemampuan manusia tetap terbatas memahami semua yang terjadi di alam semesta. Oleh karena itulah Daud percaya kepada Allah. “Betapa manisnya janji-Mu itu di lidahku, lebih manis daripada madu di mulutku” (ay. 103). Ini adalah iman, janji yang diterima dengan hati, bukan pikiran. Dan imanlah yang membawa kita kepada keselamatan, yang tidak kita peroleh dari hikmat manusia. Maka mulailah mencintai Firman dan mengikuti langkah berikutnya.

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu XX Setelah Pentakosta - 26 Oktober 2025

Khotbah Minggu 26 Oktober 2025 - Minggu XX Setelah Pentakosta (Opsi 3)

 

 MENYAMBUT PELANGI (Yoel 2:23-32)

 

 “Dan barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan” (Yoel 2:32)

 

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini dari Yoel 2:23-32. Nas ini ada dua bagian: pertama tentang “Janji Tuhan kepada bangsa yang bertobat” (ay. 18-27); dan kedua, tentang “Hari Tuhan” (ay. 28-32). Bangsa Israel telah menderita oleh hukuman, dan Tuhan menyesal (ay. 13). Maka melalui Nabi Yoel, Allah memberi janji jika mereka bertobat, melalui hati yang koyak dengan berefleksi dari pengalaman buruknya.

 

 

 

Allah menjanjikan pemulihan sisi materi dan sisi rohani. Firman-Nya, "Sebab telah diberikan-Nya kepadamu hujan pada awal musim dengan adilnya, dan diturunkan-Nya kepadamu hujan, ….” (ay. 23-24). Pada sisi rohani Allah berfirman, "Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, ..., Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi" (ay. 28, 30).

 

 

 

Badai pasti berlalu. Demikianlah kecenderungan pandemi Covid saat ini. Tatkala varian Omicron yang lebih “lemah” muncul, dan penduduk semakin banyak yang divaksin, kehidupan seakan kembali mulai normal. Mal, pasar, pesta di gedung, jalanan, mulai ramai kembali. Tetapi kita tidak boleh terlena; selain waspada, kita perlu mencari hikmah dari badai Covid tersebut.

 

 

 

Yang pertama, kita mesti bersyukur bahwa kita masih hidup saat ini. Mungkin kita menjadi penyintas atau tidak, bukanlah poinnya. Atau ada yang kita kasihi pergi dipanggil Tuhan akibat pandemi ini, bukan menjadi alasan kita tidak bersyukur. Semua yang terjadi ada dalam kehendak dan kendali Tuhan. Berserah dan bersyukur, itu ciri orang beriman dan dipakai sebagai balok pendorong (stepping stone) saat kita hendak melangkah dan berlari ke depan.

 

 

 

Jumat lalu dalam mengajar kuliah kepemimpinan tentang “Perencanaan Stratejik Pribadi”, saya sampaikan bahwa perjalanan kehidupan perlu direview setiap 3 atau 5 tahun, atau kala terjadi perubahan besar. Bila tidak merencanakan ulang, maka kita sebetulnya merencanakan kegagalan. Tuhan ingin kita berubah dan lebih baik. Maka rumuskan ulang misi dan tujuan hidup kita, visi pribadi, prinsip dan nilai-nilai hidup, sasaran-sasaran tiap dimensi kehidupan, dan tentu strategi mewujudkannya. Kehidupan adalah nubuatan yang dipenuhi diri sendiri; bukan orang lain.

 

 

 

Tidak ada gunanya membuang waktu dengan menangisi, menyalahkan keadaan, apalagi menyalahkan Tuhan. Sisi buruk masa lalu kita jadikan kaca spion kecil saja dalam mengarahkan mata kita ke jalan depan, yang terbentang penuh keindahan dan pengharapan. Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita (Ibr. 6:19), dan Allah ikut bekerja (Rm. 8:28).

 

 

 

Hikmah kedua, mari kita tingkatkan ibadah dengan lebih mendekat kepada Tuhan melalui pembacaan firman-Nya, lebih rajin berdoa dan bersekutu, demikian juga memberi dan berbagi. Kita semakin tahu arti, “apa yang kita tabur itu yang kita tuai” (Gal. 6:7). Hikmah ketiga, selama pandemi kita merasakan keindahan dan kebahagiaan bersama keluarga. Kini tetap berikan perhatian. Kita semakin sadar, tanggung jawab pendidikan anak ada pada kita orangtua, setelah merasa kelimpungan saat anak belajar lewat online atau daring.

 

 

 

Hikmah lainnya, kita perlu menjaga kesehatan. Serangan Covid semakin berbahaya bagi yang memiliki penyakit lain tersembunyi. Menjaga kesehatan melalui makanan dan olahraga, serta ikut menjaga lingkungan hidup akan menjauhkan badai di depan. Dan hal terakhir, kita semakin sadar perlunya menabung, ada dana siaga, sekuat yang kita mampu.

 

 

 

Mari melihat diri kita dengan kacamata baru, menyongsong pelangi. Jangan kuatir, kita jelas semakin kuat setelah badai berlalu. “Kamu akan mengetahui bahwa Aku ini ada di antara orang Israel, dan bahwa Aku ini, TUHAN, adalah Allahmu dan tidak ada yang lain" (ay. 27). Ia, memulai yang baik akan mengakhirinya dengan baik (Flp. 1:6). Tetaplah siap dengan kerendahan hati menyongsong pelangi yang indah.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu XIX Setelah Pentakosta - 19 Oktober 2025

Khotbah Minggu 19 Oktober 2025 - Minggu XIX Setelah Pentakosta

 

 BERDOA DENGAN TIDAK JEMU-JEMU (Luk. 18:1-8)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2Tim. 3:14-4:5; Yer. 31:27-34 atau Kej. 32:22-31; Mzm. 119:97-104 atau Mzm. 121

 

 

 

Pendahuluan

 

Bacaan kita minggu ini tentang ketekunan dalam berdoa. Gambaran yang diberikan tentang melalui kisah seorang janda yang meminta-minta pertolongan kepada seorang hakim yang lalim dan tidak takut kepada siapapun termasuk kepada Allah, namun karena hakim itu tidak mau diganggu maka ia mengabulkan permintaaan janda itu. Dalam kisah ini dikaitkan juga hubungan ketekunan berdoa dengan akhir zaman. Melalui nats ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: janda dan hakim serta peran doa (ayat 2-3)

 

Ada dua gambaran yang diberikan nats ini sebagai lambang kondisi masyarakat waktu itu. Janda adalah lambang orang miskin yang tidak berdaya, membutuhkan banyak pertolongan, kaum kaum yang memerlukan perhatian sama seperti posisi anak-anak yatim-piatu di dalam Alkitab (Kel. 22:22-24; Yes. 1:17; 1Tim. 5:3; Yak. 1:27). Gambaran kedua adalah hakim sebagai lambang orang yang penuh kecukupan, berkuasa dengan segala wewenangnya, mandiri dan tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Hakim yang digambarkan dalam di sini adalah hakim Romawi dan bukan hakim dalam sistim orang Yahudi, sebab dalam agama Yahudi yang dikenal adalah tua-tua.

 

 

 

Janda itu dalam keadaan terjepit. Ia tidak meminta orang lain agar dihukum berat, hanya ia merasa diperlakukan tidak adil sebab itu membutuhkan perlindungan, sehingga ia berkata kepada hakim itu, "belalah hakku terhadap lawanku".  Memang dalam sistim hukum saat itu, hakim juga biasa mempraktekkan korupsi, koneksi dan nepotisme (KKN). Janda miskin itu tidak bisa membayar, sehingga beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Akan tetapi janda itu tidak putus asa, ia sadar memiliki senjata yang ampuh yakni ketekunan dan semangat juang. Sementara gambaran hakim ini adalah orang yang sibuk sehingga ia tidak suka gangguan. Maka ketika janda itu datang berulang-ulang untuk memohon kepadanya, ia tidak direpotkan dan akhirnya menyetujui permohonan janda itu. Ia membenarkan apa yang diminta janda itu.

 

 

 

Firman yang kita baca mengajarkan kepada kita bahwa hakim yang lalim itu saja dapat membenarkan permintaan seseorang karena keteguhan dan semangat untuk meminta. Maka apalagi Allah kita yang Mahabaik,  tentu akan lebih mendengar apa permintaan anak-anak-Nya. Memang dalam hal ini kita tidak menyamakan hakim itu dengan Allah yang Mahaadil itu. Hanya yang perlu kita lihat adalah, semangat dan ketekunan dalam meminta akan menghasilkan sesuatu. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata, janganlah jemu-jemu untuk berdoa, teruslah meminta sampai sesuatu jawaban diberikan. Pray until something happen (PUSH), adalah pesan yang disampaikan kepada kita melalui kisah ini.

 

 

 

Kedua: meminta dan mengulur waktu (ayat 4-5b, 6-7b)

 

Allah kita itu baik dan Pengasih, mengetahui yang terbaik untuk kita. Ia akan memberikan sesuai dengan kebutuhan kita. Namun itu tidak berarti bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa permohonan yang kita sampaikan. Allah dapat menolaknya apabila itu tidak baik untuk kita. Allah mengabulkan atau menolak doa kita hanya dengan pertimbangan bahwa Ia tidak menginginkan hal itu membuat kita semakin jauh dan meninggalkan Dia. Doa yang dikabulkan memang mau tidak mau akan menguatkan iman percaya kita akan kuasa dan kebaikan-Nya.

 

 

 

Allah juga kadang dapat mengulur pengabulan doa kita. Untuk itu Ia mempunyai pandangan dan pertimbangan yang sangat sempurna atas hal itu. Allah ingin melihat sejauh mana memang kita membutuhkan yang kita minta dan sejauh mana kesabaran kita menanti akan keputusan terbaik-Nya. Hal itu juga sekaligus melihat sejauh mana kita siap dengan apa yang kita mohonkan. Allah tidak menginginkan pengabulan doa menjadikan kita pribadi yang berubah dan berbeda. Melalui penguluran waktu, menunda pengabulan doa, Allah sebenarnya ingin mengembangkan katakter dan sifat-sifat positip dalam diri kita.

 

 

 

Bahkan ada kalanya Allah telah menetapkan sesuatu bagi kita. Kisah yang terjadi pada Raja Hizkia yang telah ditetapkan untuk mati sebagaimana pesan yang disampaikan oleh nabi Yesaya. Namun raja itu memohon sambil terus menangis ke dinding, sebagai gambaran betapa seriusnya ia memohon kepada Allah. Akhirnya Allah mendengar doanya, dan ia diberi perpanjangan usia 15 tahun. Doanya dikabulkan bahkan raja itu meminta tanda melalui nabi Yesaya (2Raj. 20:11). Kisah itu memberikan makna bahwa pikiran Allah dapat berubah karena doa manusia. Maka demikian jugalah pesan-Nya melalui kisah ini, permohonan yang tekun dan tidak jemu-jemu, meski dengan penguluran waktu, akan menghasilkan sesuatu bagi kita.

 

 

 

Ketiga: membenarkan dan doa yang dikabulkan (ayat 5a, 7a)

 

Hal ketiga dalam nats ini yang menjadi pengajaran buat kita adalah pengertian "tidak jemu-jemu berdoa dan mudah menyerah" bukan berarti bahwa kita diminta doa berpanjang-panjang, bahkan doa yang bertele-tele, menyiksa diri bahkan memaksa. Doa tetap fokus pada pokok permasalahan dan meminta dengan kerendahan hati dan ketulusan. Dengan tetap kita berdoa maka sebenarnya itu juga menempatkan permohonan kita di hadapan Allah secara konsisten, sebagai pengakuan kekuasaan Allah atas diri kita dan kita hidup dengan Dia hari lepas hari, dan tetap percaya dan berpengharapan Ia akan memberikan jawaban.

 

 

 

Doa yang terus menerus dinaikkan juga bukanlah tanda kurangnya iman, tetapi itu justru memperlihatkan kegigihan orang beriman dan ciri orang percaya. Hal yang sebaliknya tidak dikehendaki oleh Allah adalah ketika jawaban doa kita terasa lama dan sementara permasalahan yang ada dalam hidup sehari-hari seolah-olah terasa semakin menekan, maka kita berhenti berdoa. Penghentian doa permohonan kepada Allah berarti meragukan penghentian limpahan kebaikan dan campur tangan pemeliharaan Allah dalam hidup kita sehari-hari yang penuh berkat.

 

 

 

Keempat: ketekunan dan iman sampai akhir (ayat 1, 8)

 

Hal terakhir yang ingin diajarkan Tuhan Yesus kepada kita adalah tentang ketekunan dan keteguhan iman hingga sampai akhir. Terkabulnya doa atau tidak jangan membuat itu sebagai ukuran kesetiaan kita kepada-Nya. Permohonan adalah aspek duniawi, kedagingan dan kebutuhan kita yang sifatnya sesaat, bahkan mungkin egoistis. Itu tidak dapat membuat kita menjadi jauh apalagi lari dari iman apabila doa kita tidak dikabulkan. Justru iman kita diuji ketika kita tidak jemu-jemu berdoa hingga kedatangan-Nya kelak.

 

 

 

Dalam setiap doa permohonan yang kita naikkan, kita harus berprinsip bahwa kehendak Tuhanlah yang terjadi dan bukan kehendak kita. Bisa saja kita meminta jabatan atau keinginan lainnya (tahta, harta dan wanita) untuk kesenangan dan kemegahan kita, sehingga kita merasa itu yang terbaik untuk memuliakan Tuhan, padahal sebenarnya itu salah dan bisa menghancurkan kita. Demikian juga tekanan hidup kadang kita anggap sudah demikian berat, padahal sebenarnya kita tidak mau untuk menurunkan standar ego, sebab firman-Nya berkata, "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya" (1Kor. 10:13).

 

 

 

Tuhan Yesus menguji kesetiaan dan keteguhan iman serta terus  mengandalkan dan berakar pada Dia hingga kedatangan-Nya kelak (Rm. 12:12; Ef. 6:18; Kol. 4:2). Kesiapan diri dalam iman hingga akhir hidup kita dan wujud percaya bahwa Ia akan datang kembali untuk menjemput kita anak-anak-Nya tercermin dari doa yang terus kita panjatkan. Kegigihan kita seperti kegigihan janda itu bukan hanya kita maksudkan untuk memaksa Tuhan mengabulkan permintaan kita, tetapi lebih merupakan ekspresi ketidakmampuan kita melakukannya sendiri. Kita harus tetap sadar bahwa iblis yang jahat itu dapat menggunakan tipu muslihatnya untuk menggiring kita menuruti kehendaknya sehingga jauh dari Tuhan (1Tim. 4:1). Doa adalah benteng kita menghadapi iblis dan si jahat (Mat. 6:13), dan kalau kita bertekun dalam doa, maka kita akan dibenarkan.

 

 

 

Kesimpulan

 

Melalui gambaran janda yang tekun meminta dan memohon kepada hakim dalam nats yang kita baca, kita diajarkan tentang pentingnya berdoa dan tidak jemu-jemu. Doa kita dikabulkan atau tidak itu semata-mata merupakan kehendak-Nya dan pasti yang terbaik sebagai jawab-Nya. Dikabulkan jangan membuat kita bermegah dan tidak dikabulkan jangan membuat kita berhenti berdoa atau malah lari dari iman kepada-Nya. Tidak jemu-jemu juga bukan berarti doa kita harus berpanjang-panjang atau menyiksa diri, tetapi tetap berpengharapan bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Dia Allah kita yang Mahakasih. Bagi kita yang utama adalah memperlihatkan ketekunan itu sebagai pengakuan hidup kita adalah di tangan-Nya serta kesetiaan kita hingga Tuhan memanggil kita atau akhir zaman tiba.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles M. Silalahi, D.Min.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 95 guests and no members online

Statistik Pengunjung

13086393
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
283
7058
19365
13041721
116248
136103
13086393

IP Anda: 216.73.216.51
2025-11-28 01:53

Login Form