Tuesday, May 07, 2024

PERJAMUAN KUDUS: MAKNA DAN PERSIAPANNYA

PERJAMUAN KUDUS: MAKNA DAN PERSIAPANNYA

Seseorang pernah bertanya: “Apa sih beda Marthin Luther, Johanes Calvin, dan Zwingli? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengingat dengan jelas bahwa ada banyak persamaan di antara ketiganya. Persamaan-persamaan tersebut, antara lain: pembenaran hanya oleh iman (sola fide), keselamatan hanya oleh anugerah (sola gratia), Alkitab sebagai sumber kebenaran, predestinasi, menolak apokrifa (sola scriptura), pemahaman bahwa roti dan anggur bukanlah merupakan tubuh dan darah Kristus sebagai korban dalam perjamuan kudus, dan sebagainya. 

Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan perbedaan ketiga Bapak Reformasi tersebut dalam hal perjamuan kudus dan juga tentang persiapannya yang biasanya dikenal dengan istilah censura morum. Perbedaan pandangan mereka tentang perjamuan kudus berhubungan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah roti yang kita makan itu mengandung tubuh Kristus dan anggur yang diminum mengandung darah Kristus? Dan kedua, bagaimana sebenarnya kehadiran Allah dalam roti dan anggur itu?

Sejak awal, Gereja sudah masuk dalam perdebatan ini. Inti persoalannya: ketika imam atau pendeta sudah melaksanakan doa syukur dan berkat atas roti dan anggur tersebut, apakah roti dan anggur kemudian benar-benar berubah unsur-unsurnya menjadi daging dan darah Kristus, atau roti dan anggur itu hanya sebagai simbol? Pandangan Gereja (Barat) yang kuat pada waktu itu memang mengakui terjadi perubahan unsur dan hakikat dari roti dan anggur tersebut. Roti berubah menjadi tubuh Kristus dan anggur menjadi darah Kristus. Pendapat ini disahkan dalam Konsili (Gereja Katolik) di Lateran tahun 1225. Konsep perubahan wujud roti dan anggur ini yang kemudian disebut dengan transsubstansiasi, dalam arti terjadi penyatuan dan perubahan (trans) substansinya.

Pandangan ini menekankan bahwa meski sifat-sifat roti dan anggur terlihat (accidentia), tetapi itu menjadi kenyataan yang semu, sebab sudah terjadi perubahan. Pandangan ini juga yang – salah satunya – membuat Gereja Katolik hanya mengizinkan umat memakan roti pada saat perjamuan kudus, sementara hanya imam yang boleh meminum anggur. Mereka khawatir kalau “darah Kristus” itu tertumpah. Demikian juga pernah ada pandangan bahwa sebelum makan roti, umat tidak boleh makan sesuatu dahulu agar roti “tubuh Kristus” itu tidak tercampur dengan makanan harian umat.

 

Pandangan Reformasi 

Perlu kita sadari bahwa Marthin Luther sebagai penggagas awal Reformasi (1517), masih dipengaruhi oleh pandangan Gereja Katolik pada masa itu. Ia hidup di Jerman dan bahkan tetap sebagai Katolik sampai akhir hidupnya. Oleh karena itu, menurut pandangan Luther, dalam perjamuan kudus, Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam unsur roti dan anggur tersebut, meski unsur-unsur roti dan anggur itu tidak berubah. Pandangan ini kemudian dikenal dengan istilah consubstansiasi (yang berasal dari kata con dan berarti “di dalam, bersama, dan di bawah”), yang sedikit berbeda dengan pandangan transsubstansiasi. Jadi Luther berpegang pada kesungguhan kehadiran tubuh dan darah Kristus meski tanpa perubahan dalam unsur-unsur roti dan anggur.

Zwingli, yang hidup di Swiss (1484-1531) dan dipengaruhi oleh pandangan Agustinus dan Bapak-bapak Gereja Timur, mencoba berpikir lain. Zwingli menyatakan bahwa roti dan anggur hanyalah simbol dari tubuh dan darah Kristus. Tidak ada perubahan substansi: roti tetap roti dan anggur tetap anggur. Unsur-unsur itu hanya simbolis saja. Dalam pandangan Zwingli, Kristus tidak mungkin hadir secara fisik dalam perjamuan Tuhan itu, sebab tubuh Kristus hanya ada di dalam tubuh jasmani-Nya (ketika Ia dahulu di dunia), kemudian tubuh yang dibangkitkan, dan tubuh mistik-Nya saat ini yakni Gereja. Untuk itu, ia mengutip Yohanes 6:63, “daging sama sekali tidak berguna”.  Pandangan Zwingli ini kemudian dikenal sebagai “simbolis” atau peringatan saja.

Pertentangan pandangan ini menjadi cukup hebat dan konsili pertama Gereja Protestan kala itu berakhir tanpa kesepakatan. Perpecahan tidak dapat dihindari lagi. Dalam perbedaan tersebut muncullah Yohanes Calvin (1509-1564) yang memang lebih muda 26 tahun dari Luther (1483-1546). Ia kemudian mencuatkan sebuah “jalan tengah” di antara keduanya dengan mengatakan bahwa kehadiran Kristus dalam roti dan anggur adalah “kehadiran rohani”. Ia tidak setuju dengan perubahan substansi dan juga tidak setuju dengan simbolisme saja. Bagi Calvin, Kristus tidak hadir secara harfiah dalam wujud tubuh dan darah-Nya, tetapi roti serta anggur itu juga bukan sekadar simbol melainkan mengandung realitas rohani. Dengan kehadiran-Nya secara rohani itu di dalam roti dan anggur, kita diberi makanan dan minuman rohani (bnd. 1Kor. 10: 3-4). Proses makan roti dan minum anggur itu kemudian memateraikan dan meneguhkan janji Kristus yang diberikan-Nya kepada kita. Dalam pengertian ini, maka Calvin benar-benar berbeda dengan Luther dan Zwingli. Pandangan ini yang diikuti oleh Gereja-Gereja Calvinis saat ini.

Pertanyaan yang kemudian mengusik adalah: bagaimana kehadiran secara rohani itu terjadi? Calvin menjawab bahwa kehadiran secara rohani berarti Roh Kudus yang berperan di dalam peristiwa itu. Kristus di dalam Roh Kudus sungguh-sungguh hadir pada perjamuan itu, yakni Allah kita yang hidup, tetapi tidak lagi menurut ukuran manusia (bnd. 2Kor. 5: 6-7; 3: 17). Dalam memahami kehadiran itu, sangat penting peranan IMAN, sebab tanpa iman maka realitas rohani kehadiran Kristus dalam perjamuan roti dan anggur itu tidak terjadi. Bagi yang memiliki iman, peristiwa perjamuan itu merupakan anugerah sebagai tanda penebusan dan keselamatan yang diberikan Tuhan melalui penyalibanNya di bukit Golgota. Dengan demikian, peristiwa kehadiran Kristus di dalam perjamuan Tuhan ini merupakan persekutuan rohani dengan tubuh dan darah Kritus. Calvin menggambarkan peristiwa itu dengan menyatakan, ”Saya lebih mengalaminya daripada memahaminya.

Gereja Calvinis juga meyakini bahwa perjamuan kudus yang suci itu merupakan undangan Tuhan kepada kita untuk menghayati kembali dan merayakan keselamatan yang sudah diperjuangkan dan dihasilkan Kristus, serta untuk memperbarui dan memperkuat persekutuan kita dengan Allah dan sesama anggota gereja lainnya.

 

Censura Morum: Latar Belakang dan Tujuannya

Setiap kali menjelang perjamuan kudus, biasanya gereja-gereja Calvin selama 3 x hari minggu dibacakan formulir liturgis tentang pemeriksaan diri sebelum mengikuti perjamuan undangan Tuhan itu. Dalam tradisi beberapa gereja, peristiwa yang bersifat serimonial ini disebut dengan ”Censura Morum”. Istilah ini berasal dari kata bahasa Latin yang berarti ”pemeriksaan diri”. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal istilah ”sensor” yang dekat pengertiannya dengan ”censura”. Selanjutnya, kata ”morum” tampaknya berhubungan dekat dengan kata ”moral”.  Jadi, censura morum dapat diartikan sebagai pemeriksaan moral, pemeriksaan tingkah laku, atau dalam bahasa Inggris lazimnya diartikan sebagai censure of one’s conduct or life.

Tradisi censura morum berlangsung di Gereja Calvinisme sebagaimana dianjurkan Calvin. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa ritual ini pada awalnya tidak berhubungan dengan perjamuan kudus. Praktik ini lebih kepada pemeriksaan tingkah laku para pelayan Firman, penatua, dan diaken, yang dilaksanakan sekali dalam 3 bulan atau 4 kali dalam setahun. Dalam pertemuan para pelayan tersebut, dilakukan pemeriksaan dengan ditanya satu per satu, apakah mereka dalam tingkah lakunya telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman Tuhan dan layak melayani, termasuk apabila ada keraguan dalam iman dan pengajaran. Oleh karena itu, censura morum pada awalnya mengandung konotasi negatif dalam arti kata seolah-olah “menghakimi atau memeriksa” orang lain atas perbuatannya. Namun, kemudian praktik ini dilakukan dengan kasih dan pengabdian diri (1Pet. 5: 2), sekaligus untuk mendorong dan meneguhkan atas apa yang telah dilakukannya itu adalah baik untuk jemaat.

Pentingnya dilaksanakan pemeriksaan diri para pengerja Gereja ini karena dianggap sebagai representasi Gereja dan diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan khusus satu per satu. Tujuannya, sebagaimana tertulis dalam situs www.prca.org /standard_bearer/ volume74, “ministers of the Word, elders and deacons shall exercise Christian censure among themselves before the celebration of the Lord's Supper and inquire into doctrine as well as into life."

Praktik ini kemudian diterapkan juga kepada seluruh anggota jemaat, sebagai bagian persiapan sebelum Perjamuan Kudus. Akan tetapi berbeda dengan para pengerja, pemeriksaan kepada anggota jemaat hanya dilakukan dengan meminta mengisi formulir dan hal ini dianggap cukup efektif, dan tidak perlu ditanya langsung satu-per-satu. Semua ini bertujuan untuk menjamin bahwa perjamuan kudus yang akan dilakukan itu diikuti oleh orang-orang yang layak dalam persekutuan dengan “tubuh dan darah Kristus”.

Pelaksanaan pemeriksaan diri memiliki dasar dalam Alkitab, yakni pentingnya kehidupan yang suci dan berkenan kepada Tuhan. Kehidupan jemaat yang bertentangan dengan firman Tuhan tentu dapat mengancam keselamatan mereka (Mat.7: 21-23; 1Kor. 6: 9b-10; 1Tes. 2: 11-12). Penilik jemaat dan diaken pada jemaat mula-mula memiliki tugas tersebut dan mereka harus memenuhi persyaratan yang ketat untuk itu (1Tim 3: 1-13; Tit. 1: 7). Oleh karena itu, para penilik jemaat dan diaken pada saat itu perlu melakukan pengawasan disiplin gerejawi terhadap anggota jemaat. Apabila diketahui mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman Tuhan, maka tugas Gereja melalui para pengerjanya memberikan nasihat atau teguran.

Calvin menegaskan bahwa Gereja memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam Kisah Para Rasul 20: 28 disebutkan, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” Dan kalau pelanggaran itu membahayakan kehidupan jemaat secara keseluruhan dengan tidak adanya tanda-tanda penyesalan dan pertobatan, maka Gereja dapat mengucilkannya (Mat. 18: 15-18; 1Kor. 5: 1-8).

Dalam praktik censura morum di beberapa gereja, pemimpin ibadah (biasanya Pendeta) memberikan pertanyaan kepada para Penatua dan Pengerja gereja yang hadir: “Apakah siap dilayani dan melayani?” Pengertian ini, tentu bernada evaluatif, artinya apakah kita sudah membereskan segala sesuatu dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Apakah kita sudah mengasihi semua orang, mengampuni semua orang yang menurut kita melakukan kesalahan terhadap kita, mengasihi orang yang lemah dan tidak memperbincangkannya. Dan secara umum, apakah kita mempunyai masalah dengan yang kita imani dan pengajaran yang diterima dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, baik pengerja maupun anggota jemaat, perlu memahami makna perjamuan kudus itu dan merenungkan serta melakukan pemeriksaan diri sebelum kita mengikuti perjamuan Tuhan itu. Kalau masih ada masalah, mari kita bereskan. Datang kepada-Nya, mohon ampun dan memohon kekuatan untuk diperbarui terus-menerus. Datang kepada Tuhan biasanya mudah dilakukan. Namun untuk persoalan dengan sesama manusia, ini biasanya lebih sulit. Kita juga harus berani merendahkan diri dan memohon maaf apabila ada perbuatan kita yang kurang pantas, atau di lain pihak melupakan dan mengampuni perbuatan orang lain kepada kita yang menurut kita tidak pantas juga. Dengan jalan itulah kita layak masuk dalam perjamuan suci yang menguatkan meneguhkan iman kita itu. Tidak ada satu pun di dunia ini yang lebih berharga dari kasih Allah untuk menerima anugerah-Nya yang sangat berharga itu dan dilayakkan hadir dalam persekutuan dengan-Nya. Tuhan memberkati. 

(Pdt. (Em) Ir. Ramles M. Silalahi, D.Min – Gereja Kristen Setia Indonesia)

 

 

Ibadah Paskah Bersama

PERAYAAN PASKAH BERSAMA GKSI - BPW JABODETABEKBAN

Pada hari Kamis tanggal 17 Mei 2012 bertempat di Ruang Seminar Fakultas Ekonomi UKI Cawang Jakarta, telah diselenggarakan Ibadah Perayaan Paskah Bersama Jemaat GKSI Se-Jabodetabek-Bandung, mulai pukul 15.00 – 18.00. Ibadah ini juga sekalian perayaan Hari Kenaikan Tuhan Yesus Kristus.

Ibadah berlangsung dengan meriah yang dihadiri hampir 200 warga gereja GKSI yang merupakan wakil-wakil dari jemaat-jemaat yang ada di wilayah Jobodetabek-Bandung ini. Khotbah dibawakan oleh Pdt. Nuh Ruku dengan tema Kemenangan Total Dalam Kristus (Kis 1: 1-12). Turut hadir Ketua Umum Badan Pengurus Sinode (BPS) GKSI Bapak Pdt. Matheus Mangentang dan Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Pdt. Iwan Tangka dan keduanya memberi sambutan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Panitia Pelaksana Pdt. Andy Silalahi, ibadah bersama warga GKSI ini sudah lama menjadi kerinduan setelah sekian lama tidak pernah lagi melakukan ibadah bersama di Jabodetabek. Setelah selesai ibadah dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan bersama.

Semoga kegiatan seperti ini dapat berlanjut di masa yang akan datang. Tuhan memberkati.

(RMS)

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 25 guests and no members online

Login Form