Sunday, May 19, 2024

2023

Khotbah Minggu XXII setelah Pentakosta - 29 Oktober 2023 (Opsi 1)

Khotbah Minggu Keduapuluh Dua setelah Pentakosta - 29 Oktober 2023 (Opsi 1)

 

 HUKUM KASIH (Mat. 22: 34-46)

 

 "Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab-Nya, dan sejak hari itu tidak ada seorangpun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya” (Mat. 22:45)

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 22: 34-46 berbicara dua bagian. Bagian pertama, tentang hukum yang terutama dalam Alkitab, baik PL maupun PB. Barangkali kita pun semua tahu, yakni mengasihi Allah dan manusia. Selengkapnya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 37-39). Dan kemudian ditambahkan, “pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (ayat 40).

 

 

 

Keduanya adalah hukum kasih. Hukum adalah aturan yang tujuannya untuk ketertiban dan keadilan. Yang menyimpang akan kena sanksi supaya kembali tertib. Keadilan berlaku bagi semua, tidak pandang bulu. Semua sama di depan hukum dan di hadapan Tuhan.

 

 

 

Alkitab membuat hubungan ini lebih jelas. "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya” (2Yoh. 1: 6a). Artinya, jika mengasihi Allah maka turutilah perintah-Nya. Sederhana. Kasih untuk sesama, menurut Alkitab adalah tindakan, “bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3: 18).

 

 

 

Bagian kedua nas minggu ini berbicara tentang hubungan antara Yesus dan Daud. Tentu ada alasan, mengapa para ahli teologi menjadikan dua nas ini dalam satu bagian di leksionari. Mengasihi Tuhan akan terjadi, jika kita mengenal Dia dengan benar. Ada pengakuan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang diutus Bapa sebagai jalan keselamatan umat manusia, dan harus menjalani sengsara dan penderitaan. Jika ini kita akui dan hayati, maka tidak sulit untuk mengasihi-Nya.

 

 

 

Kasih terhadap sesama dijabarkan Alkitab dengan enam belas ciri, mulai dari kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan lainnya (selengkapnya di 1Kor. 13). Dalam Matius pasal 22, Tuhan Yesus diperlihatkan sabar menghadapi orang Farisi, Saduki maupun Herodian. Itu teladan yang perlu kita ikuti.

 

 

 

Mari kita terus mengasihi Tuhan dengan lebih mengenal Dia, melalui doa dan pembacaan serta mendengar firman-Nya. Mari kita kejar untuk mendapatkannya (1Kor. 14:1). Dan dengan mengenal Dia, maka tidak sulit untuk kita lebih mengasihi sesama, yang bukan omongan kosong, seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1Kor. 13:1-3). Kasih yang nyata dan berdampak. Itulah kehendak-Nya.

 

 

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu XXII setelah Pentakosta - 29 Oktober 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu Keduapuluh Dua setelah Pentakosta - 29 Oktober 2023 (Opsi 2)

 

 BERBICARA BUKAN UNTUK MENYUKAKAN MANUSIA (1Tes. 2:1-8)

 

 Bacaan lainnya: Ul. 34:1-12; atau Im. 19:1-2, 15-18  atau Mzm. 90:1-6, 13-17 atau Mzm.. 1; Mat 22:34-46

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Bagaimana kita seharusnya melayani Tuhan? Rasul Paulus telah memberikan gambaran dan keteladanan melalui perjalanan hidupnya. Melayani membutuhkan persiapan terutama kesadaran paling pokok yakni kita wajib melayani sebab Allah telah memberikan yang terbaik bagi kita dan melayakkan kita untuk melayani-Nya. Pelayanan tidak hanya membutuhkan keahlian (teknis praktis), tetapi juga keteguhan, keberanian dan motivasi yang baik dan benar sehingga yang kita lakukan bukan untuk menyenangkan manusia (diri sendiri, keluarga atau pihak tertentu). Kesalahan dalam motivasi dapat membuat semua pelayanan hampa tidak berarti dan bahkan gereja dapat dirugikan. Melalui bacaan nas minggu ini kita diberikan pengajaran tentang keteladanan pelayanan Rasul Paulus dengan pokok-pokok sebagai berikut:

 

 

 

Pertama: Nasihat yang murni dan bukan tipu daya (ayat 1-2)

 

Perjalanan penginjilan Rasul Paulus merupakan mukjizat jalan yang Tuhan berikan sehingga Kekristenan dapat meluas hingga ke seluruh pelosok bumi saat ini. Tidak ada yang membantah bahwa penginjilan oleh Rasul Paulus (dan juga para rasul dan penginjil lainnya sebelum dan sesudahnya) kepada umat yang bukan Yahudi, merupakan berkat anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua. Kita bisa belajar bagaimana Rasul Paulus memulai penginjilannya ke benua Eropa pada perjalanan penginjilan keduanya (Kis. 16:36-18:22), setelah Allah menuntun-Nya melalui suara panggilan untuk menuju ke Makadonia. Dalam semua perjalanan penginjilannya hingga terakhir sebagai tawanan ke Roma, banyak rintangan dan halangan yang diterima Rasul Paulus. Jemaat mengetahui pengalamannya dihina dan dianiaya di Filipi sebelum ia berkunjung ke Tesalonika (Kis. 16:11-17:1). Namun dengan semangat siap berkorban dan tidak mengenal menyerah, disertai pertolongan dan kekuatan Roh Kudus, seluruh penderitaan yang dialaminya tidak menyurutkan hati Paulus untuk terus mengabarkan Injil. Upaya itulah yang membuat kekristenan semakin meluas di seluruh Eropa dan kemudian melebar ke seluruh dunia.

 

 

 

Demikian juga dengan kita. Apabila Tuhan menginginkan kita untuk melakukan sesuatu, maka Ia akan memberi kita kekuatan dan keperluan, termasuk keberanian dalam mengabarkan kabar baik dengan keteguhan, meski kita tahu akan ada tantangan dan rintangan yang muncul (band. Yer. 1:6-9; Flp. 1:30). Keteguhan tidak diartikan sebagai respon impulsif yang sembrono; Keteguhan memerlukan keberanian untuk menekan ketakutan dan melakukan yang baik dan benar. Kini pertanyaannya: Bagaimana caranya agar kita lebih teguh dan berani? Sebagaimana Rasul Paulus, kita harus lebih banyak menerima kuasa Roh Kudus, lebih banyak memberi kesempatan mengenal Tuhan Yesus, dan terjun langsung memulai tindakan dalam kesempatan yang lebih kecil dan mudah dahulu. Tiada perjalanan yang jauh dan panjang yang tidak dimulai langkah pertama. Semua memiliki tahapan dan latihan, seperti bersekolah harus lewat SD sebelum sampai ke puncak S3. Melangkah pertama masuk dalam pelayanan yang nyata akan mendorong kita untuk terus memberikan yang terbaik, sepanjang kita menyerahkan semua pelayanan itu bagi kemuliaan Tuhan semata.

 

 

 

Dengan kita melakukan semua di dalam Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, khususnya dalam memberitakan Tuhan Yesus baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui pemberitaan firman atau perbuatan kasih dalam nama Tuhan Yesus, maka yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia. Kuncinya agar setiap tindakan harus dilakukan dengan keyakinan yang teguh, keberanian yang didasarkan pada semangat untuk belajar dan melayani lebih baik, dan motivasi yang benar tentang tujuan pelayanan. Pelayanan kita bukan melihat kebesaran dan hebatnya hal yang kita lakukan, melainkan didasari kesadaran bahwa Tuhan telah memberikan yang lebih banyak dan lebih baik kepada kita sebelumnya. Dengan kesadaran itu, maka niscaya pelayanan kita amat berharga di hadapan Tuhan.

 

 

 

Kedua: Berbicara bukan untuk menyukakan manusia (ayat 3-4a)

 

Rasul Paulus perlu menegaskan ulang tentang pengajaran dan nasihat yang pernah diberikannya, sebab waktunya di Tesalonika sangat singkat. Hal yang diajarkannya bukanlah tentang kesesatan, sebagai respon atas tuduhan para pemimpin Yahudi yang menghasut banyak orang, menyebut motifnya tidak benar sehingga ajaran yang disampaikan juga tidak benar (Kis. 17:5; 1Kor. 9:1-2). Tujuan pemimpin Yahudi adalah agar mereka meragukan Paulus dan menjadi goyah. Memang pada masa itu ada filsuf yang bertualang dari satu kota ke kota lain dengan mengajar, seolah-olah guru yang hebat tapi motivasinya untuk mendapatkan penghasilan dan keuntungan. Mereka hidup dari pemberian orang setelah mengajar. Tapi tujuan Rasul Paulus jelas tidak untuk mencari uang dan kekayaan, atau ketenaran dengan membagikan Injil. Dia memperlihatkan ketulusan motif dengan menunjukkan dia bersama Silas telah cukup menderita untuk mengabarkan Injil di Filipi. Mereka juga bekerja keras mencari nafkah karena tidak ingin menggantungkan hidup pada orang lain (hal ini akan dibahas di nas lain minggu depan). Ini merupakan bukti bahwa mereka juga siap berkorban demi berbagi keselamatan melalui kabar baik di dalam Injil.

 

 

 

Banyak orang terlibat dalam pelayanan dengan alasan yang berbeda dan bermacam-macam, meski kita akui tidak semua alasan yang tulus dan murni. Ketika motif buruk mereka terlihat, maka pekerjaan Kristus menjadi tercoreng dan gereja menjadi korban. Memang kalau dilihat, tidak seorang pun layak untuk memberitakan firman, sebab kita adalah orang berdosa. Akan tetapi melalui kasih karunianya, kita kemudian dilayakkan untuk menjadi hamba pelayan-Nya. Dalam suratnya ke jemaat Filipi, disebutkan tentang motivasi orang yang berbagai ragam dalam memberitakan Injil termasuk karena dengki dan perselisihan, atau memberitakan untuk maksud kepentingan sendiri yang tidak ikhlas. Tetapi banyak juga maksud baik seperti membagikan kasih. Rasul Paulus menutup dengan mengatakan, “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita” (Flp. 1:15-18). Inilah yang menjadi alasan mengapa semua harus bersukacita sepanjang firman diberitakan.

 

 

 

Memang ketika kita dilayakkan, kita perlu menjaga agar kelayakan tersebut jangan dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan Tuhan yang menugaskan dan melayakkan. Kelayakan kita membutuhkan ujian sebagaimana Rasul Paulus mengalaminya. Ini juga mungkin yang akan kita hadapi. Ujian bisa datang dari diri sendiri atau godaan iblis. Namun Allah tidak pernah mencobai manusia (Yak. 1:13). Ia mengetahui kesetiaan seseorang meski orang tersebut pernah jatuh seperti yang terjadi pada Petrus. Kini pertanyaannya kembali kepada kita: ketika kita terlibat dalam pelayanan, apa motivasi kita dalam melayani? Seberapa besar tingkat keberanian kita dalam menghadapi risiko penderitaan yang mungkin timbul karena pelayanan itu? Keteguhan dan keberanian tidak hanya dalam sisi materi, tetapi juga dalam kesiapan untuk menderita baik dalam segi jasmani maupun kejiwaan, dalam arti dihina dan dicela. Iblis tidak akan membiarkan kita untuk melakukan pelayanan yang terbaik dan ia akan gencar menggoda dan menjerat kita, meski semua itu ada dalam sepengetahuan dan kendali Allah. Apakah kita akan tunduk pada iblis atau taat pada Allah?

 

 

 

Ketiga: Tidak mencari loba dan pujian (ayat 4b-6)

 

Di dalam upaya kita untuk mempengaruhi orang lain, kita mungkin diuji atau digoda untuk mengganti posisi kita atau mengubah pesan yang ingin disampaikan; atau menggunakan sanjungan atau pujian yang berlebihan. Rasul Paulus tidak pernah mengubah pesan yang disampaikan agar hal itu lebih dapat diterima, tetapi ia menyesuaikan metodenya kepada para pendengar atau pembacanya. Jadi dalam hal ini pesannya sama, hanya kadang cara penyampaiannya bisa berbeda. Meskipun penyampaian kita harus diubah supaya sesuai dengan situasi tertentu, kebenaran Injil tidak dapat dikompromikan. Apalagi, akan sangat menjijikkan mendengar seseorang menyanjung berlebihan bahkan "menjilat" orang lainnya demi mencapai tujuannya. Sanjungan itu bisa palsu, dan kepalsuan seseorang itu pasti menutupi maksud sebenarnya. Orang Kristen tidak boleh menjadi penjilat. Kita yang memproklamasikan kebenaran Allah memiliki tanggungjawab khusus untuk selalu jujur. Pertanyaannya: apakah kita jujur dan bersikap terbuka terus terang dalam kata-kata atau perbuatan? Atau, apakah kita menceritakan pada orang lain tentang apa yang mereka hanya ingin dengarkan agar kita mendapatkan sesuatu atau pujian?

 

 

 

Ketika Rasul Paulus masih bersama mereka di Tesalonika, ia tidak mau memuji-muji mereka, tidak berharap akan penghargaan, bahkan tidak menjadi beban (ekonomi) bagi mereka (Kis. 20:33; 2Tes. 3:8; 2Kor. 11:9). Meski sebagai penginjil mereka berhak atas hal itu, tetapi mereka tidak memanfaatkannya (band. Gal. 6:6). Rasul Paulus dan Silas benar-benar dengan dorongan yang murni untuk pelayanan dan tidak ada maksud tersembunyi, seperti para filsuf yang sering berkelana mencari penghasilan. Mereka memusatkan perhatiannya pada usaha memperluas pekabaran Injil dan keselamatan kepada jemaat di Tesalonika (Gal. 2:7; 1Tim. 1:11). Ini yang sangat penting. Mereka tidak memilih yang enak didengar saja dan di balik itu ada maksud tersembunyi, udang di balik batu (2Kor. 2:17; 4:2). Memang kadang sulit bagi manusia untuk mengetahui semuanya, sebab manusia juga memiliki kemampuan untuk bermuka ganda bahkan topeng yang berlainan. Namun, Allah mengetahui dan mengujinya sehingga semua dibukakan pada saatnya nanti (1Kor. 4:4).

 

 

 

Orang percaya di Tesalonika hidupnya berubah oleh kuasa Allah, bukan oleh kuasa Rasul Paulus; semua itu dari pesan Kristus yang mereka percayai dan bukan pesan Paulus. Ketika kita menjadi saksi bagi Kristus, fokus kita bukan pada pesan dari diri kita, melainkan pada Pribadi Kristus dan pesan atas hal yang sudah dilakukan-Nya bagi kita orang berdosa. Sebagai orang Kristen dalam pelayanan sejati, kita harus mengarahkan semua kepada Tuhan Yesus dan bukan pada diri sendiri untuk mendapatkan hormat dan pujian atau menyombongkan diri (Yoh. 5:41, 44). Untuk itu pertanyaannya: Apakah kita melakukannya sekedar untuk menyukakan manusia sehingga mengorbankan kebenaran yang hakiki? Rasul Paulus telah memberikan teladan bagi kita sebagai hamba yang dipakai Tuhan, yakni menyadari kasih anugerah yang diterimanya. Ia juga tidak membanggakan diri atas hal yang dilakukannya, melainkan meletakkannya semua bagi kemuliaan Tuhan. Inilah panggilan dan sekaligus tantangan bagi kita, dan mari kita lakukan semua itu bukan untuk menyukakan manusia, tetapi menyukakan Allah sebab kita mengasihi Kristus dan jemaat-Nya (Gal. 1:10).

 

 

 

Keempat: Berkorban dengan membagi hidup (ayat 7-8)

 

Bagaimana Injil disebarluaskan? Apakah dengan kekerasan dan paksaan? Perjalanan Kekristenan memperlihatkan bagaimana semua dilakukan dengan kasih dan pengampunan. Hal yang dialami para rasul dan penginjil berupa penghinaan dan penganiayaan di awal abad gereja mula-mula dan termasuk orang percaya, tidak dibalaskan dengan kekerasan. Kita tidak pernah mendengar atau membaca perluasan Kerajaan Kristus dilakukan dengan peperangan. Justru yang terjadi adalah banyaknya martir-martir iman sehingga Kekristenan semakin terbukti sebagai agama kasih. Memang dunia lebih banyak memberi apresiasi terhadap kuasa dan ketegasan, meski tidak seorang pun mau untuk dilecehkan. Kelemahlembutan sering kali dipandang sebagai ciri atau sifat pribadi di dalam masyarakat dan bukan sebagai sikap. Kelemahlembutan sebenarnya adalah kasih dalam tindakan – dengan kepedulian, memenuhi kebutuhan orang lain, menyediakan waktu bagi orang lain untuk berbicara, memenuhi kebutuhan rohani, dan kesediaan untuk belajar. Itu sangat penting menjadi ciri dan sikap bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan.

 

 

 

Seorang yang mengasihi orang lain dan mengharapkan keselamatan kekal hanya dapat dilakukan dengan berbagi Tuhan Yesus dan Injil dengannya. Kasih yang mementingkan kebaikan dan penyelamatan sementara dari peristiwa khusus itu bagus, tetapi tidak sebanding artinya bila kita dapat memberikan keselamatan kekal pada orang lain melalui iman kepada Tuhan Yesus. Seorang yang berbagi kasih dan Injil pada dasarnya adalah seorang penginjil. Bagian akhir nas ini mengatakan bahwa Rasul Paulus mengasihi mereka dengan cara yang nyata, yakni berbagi hidupnya dengan jemaat. Rasul Paulus memberikan gambaran pelayanan seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. Seorang ibu jelas merawat dan mengasuh dengan kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah bagian dari buah-buah Roh dan penyangkalan diri. Sebagaimana dijelaskan di atas dalam memberi kasih dan kelemahlembutan, tidak ada cara lain yang lebih efektif selain memberi hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Seorang ibu yang merawat bayinya pastilah dengan sepenuh hati dan bila perlu rela untuk meninggalkan pekerjaan atau kariernya. Untuk itu, peliharalah sikap lemah lembut dalam berhubungan dengan orang lain.

 

 

 

Penutup

 

Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran tentang pelayanan Rasul Paulus di jemaat Tesalonika yang sangat singkat. Ia tidak lama tinggal sebab ada perlawanan dari pemimpin Yahudi. Namun ia memelihara hubungan yang baik dengan jemaat dan hatinya terus terpaut pada mereka. Ia menegaskan posisinya sebagai Rasul dan juga sebagai seorang ibu yang merawat bayinya. Hal yang dituduhkan pemimpin Yahudi hanyalah tipuan agar iman mereka goyah. Nasihat yang diberikan Rasul Paulus sungguh murni dari Tuhan dan tidak ada maksud untuk tipu daya, apalagi untuk kepentingan keuntungan. Ia perlu berbicara dengan tegas sebab ia tidak bersedia mengkompromikan kebenaran Tuhan, dan ia tahu tugasnya bukan untuk menyukakan manusia tetapi menyukakan hati Allah. Hinaan dan penganiayaan yang diterimanya di Filipi adalah bukti keteguhan dan keberanian yang diperlihatkannya dan tidak menyurutkan motivasinya untuk berbagi keselamatan melalui Yesus dan Injil. Tuhan telah melayakkan dirinya untuk menjadi penginjil karena kasih karunia pengampunan yang diberikan atas semua dosa-dosa yang dilakukannya. Untuk itu, setiap orang perlu berkorban membagi hidup dengan orang lain, memberi perhatian, berbagi waktu dan kepedulian, sambil terus belajar. Hal terakhir yang ditekankannya adalah perlunya kelemahlembutan dalam penginjilan sebab Allah memberi kasih, dan kasih itu kita juga berikan dengan kelemahlembutan.

 

 

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu Keduapuluh Satu setelah Pentakosta - 22 Oktober 2023 (Opsi 1)

Khotbah Minggu ke-XXI setelah Pentakosta - 22 Oktober 2023 (Opsi 1)

 

 INJIL DENGAN KEKUATAN ROH DAN KEPASTIAN YANG KOKOH (1Tes. 1:1-10)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 33:12-23 atau Yes. 45:1-7; Mzm. 99 atau Mzm. 96:1-9, 10-13; Mat. 22:15-22

 

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Tesalonika merupakan ibukota Provinsi Makadonia dan sekaligus kota terbesar dengan penduduk 200.000 di bawah pemerintahan Romawi. Kota ini salah satu pintu awal Injil masuk ke wilayah Eropa, setelah Rasul Paulus mendengar tentang pilihan ke Makadonia dibandingkan dengan pilihan ke arah Arabia di selatan (Kis. 16:9). Pada saat surat ini ditulis - perkiraannya sekitar tahun 50 M, jemaat Tesalonika merupakan jemaat baru yang belum terlalu dewasa. Rasul Paulus beserta pelayan Tuhan lainnya tidak dapat tinggal lama di sana karena adanya penolakan yang hebat, sehingga pengajaran tentang Tuhan Yesus belum banyak yang disampaikannya. Oleh karena hatinya terus terpaut di kota itu, ia kemudian mengutus Timotius untuk kembali melihat perkembangan jemaat. Dalam perjalanannya ke Korintus, Rasul Paulus menuliskan surat ini sebagai bagian dari pengajaran Kristiani kepada jemaat dan juga bagi kita semua. 

 

 

 

Pertama: Pentingnya keakraban para hamba Tuhan (ayat 1-3)

 

Setelah minggu lalu kita membaca firman Tuhan tentang perselisihan yang terjadi di antara dua pelayan Tuhan di jemaat Filipi, sebaliknya yang terjadi di jemaat Tesalonika. Hubungan para pelayan Tuhan sangat dekat dan akrab dan ini bisa dilihat dari cara mereka menyapa dalam surat ini. Rasul Paulus juga tidak perlu menonjolkan kerasulannya sendiri. Ia menyadari bahwa hubungan di antara para pelayan Tuhan sangat penting, sangat menentukan dalam membangun iman jemaat. Prinsip kasih yang sering diajarkan dan dikhotbahkan para pelayan seyogianya itu juga tampak dalam kehidupan sehari-hari, sebab kalau tidak, jemaat akan mengatakan OMDO atau NATO (omong doang dan No Action Talk Only). Sebaliknya apabila jemaat melihat itu nyata, maka itu akan menjadi kesaksian hidup dan rasa syukur bagi sesama orang percaya dan dapat menarik perhatian bagi yang belum mengenal Tuhan Yesus untuk menjadi pengikut-Nya. Hal kedua yang diperlihatkan oleh Rasul Paulus (dan rekan-rekan sekerjanya – lihat Kis. 15:22, 39-40, 16:1-3; 17:1-10) adalah perhatian yang penuh bagi jemaat yang dipimpinnya. Mereka menyapa dengan dengan berkat dari Allah yaitu kasih karunia dan damai sejahtera (band. Rm. 1:7-10; Ef. 5:20). Keselamatan yang dianugerahkan membuat sesama jemaat dan hamba Tuhan masuk ke dalam persekutuan bersama, dan ini membangun keakraban. Buah keakraban adalah penyertaan dan anugerah kasih Tuhan dialami dengan damai sejahtera.

 

 

 

Sikap yang menempatkan jemaat sebagai yang utama dan menyebutnya mahkota sangat kental dalam ungkapan ini (band. 1Tes. 2:19; 3:9). Setelah memberi berkat, Rasul Paulus kemudian mengungkapkan rasa syukur atas keberadaan mereka yang menjadi bagian orang percaya di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Rasa syukur atas kebersamaan mereka juga ditambahkan dengan selalu membawa jemaatnya ke dalam doa-doa mereka. Doa syafaat bagi mereka yang kita kasihi, tentu akan memberikan dampak perhatian Allah pada mereka yang disebut, terlebih lagi dinaikkan oleh hamba-Nya yang kerap dianggap lebih memiliki kuasa sebab para pelayan adalah mereka-mereka yang seharusnya orang benar (Yak. 5:16b). Adalah tanggungjawab hamba Tuhan untuk terus membawa jemaat dan orang-orang yang di sekitarnya untuk didoakan (Yak. 5:16a). Dalam hal ini Rasul Paulus memperlihatkan teladan seorang hamba Tuhan yang mengasihi jemaat Tuhan. Apabila ini lalai dilakukan para hamba Tuhan, maka ia perlu merenungkan panggilannya untuk melayani Tuhan dengan melayani sesama. Di lain pihak, jemaat juga perlu mendoakan para pelayannya, agar segala yang menjadi tanggungjawab pelayan dapat dijalankan dengan baik oleh pertolongan Allah (2Kor. 1:11; 2Tes. 3:1).

 

 

 

Hal lain yang dilihat oleh Paulus pada jemaat adalah tentang iman, kasih dan pengharapan mereka. Sebagaimana dikatakan dalam 1Kor. 13:13, di atas segala berkat dan karunia yang diberikan kepada jemaat untuk bertumbuh, yang tinggal adalah ketiga hal, yaitu: iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Oleh karena itu Rasul Paulus mengamati ketiga hal itu yang terjadi pada jemaat, melalui Timotius. Rasul Paulus menemukan bahwa jemaat tersebut melakukan pekerjaan imannya dengan baik sesuai dengan keadaan sulit yang mereka hadapi (band. 2Tes. 1:11; Yak. 2:14), demikian juga dengan usaha kasih mereka, dan terakhir adalah ketekunan pengharapan mereka kepada Tuhan Yesus Kristus (band. . 5:2-5). Sungguh jemaat yang layak diteladani. Pujian Rasul Paulus sangat penting untuk meningkatkan rasa hormat dan kebanggaan mereka yang sekaligus merupakan kemuliaan bagi Allah Bapa yang mengasuh mereka. Hamba Tuhan yang lebih menonjolkan kelemahan atau kekurangan jemaat pasti tidak membangun.  Bahkan, mengutarakan kelemahan dan kekurangan dengan cara yang salah, malah akan menurunkan semangat jemaat. Pujian juga secara otomatis akan mendorong jemaat mengerahkan potensi yang lebih besar untuk memberikan yang terbaik, sementara kritik malah membunuh potensi yang ada. Bagaimanapun, pasti tidak ada jemaat yang sempurna dan ada kekurangan, sebab kesempurnaan hanya terjadi setelah semua digenapi pada kedatangan-Nya, ketika semua umat-Nya dikuduskan secara total.

 

 

 

Kedua: Injil dengan kekuatan Roh dan kepastian yang kokoh (ayat 4-5)

 

 

 

Rasul Paulus juga mengingatkan status jemaat Tesalonika sebagai umat pilihan Allah. Dipilih berarti dikasihi Allah (Ef. 1:4). Hal-hal lain yang membuat kebimbangan dan bahkan perdebatan (nanti dalam pasal berikutnya diuraikan tentang kematian dan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), semua menjadi tidak penting dan berada jauh dari keutamaan sebagai pilihan Allah. Memang sedikit sulit memahami hubungan kedaulatan Allah dalam memilih diri kita, dan tanggungjawab kemanusiaan kita untuk mengikuti Dia. Tetapi meskipun kita tidak memahami sepenuhnya kedua kebenaran itu berjalan bersamaan, kita dapat mengatakannya sebagai hubungan kausal, yakni: Menjadi umat terpilih datang dari hati Allah (bukan dari pikiran kita) yang merupakan anugerah untuk menjalankan misi-Nya dan menyenangkan hati-Nya (bukan mengabaikan-Nya). Itu melahirkan rasa syukur (bukan keluhan). Sementara tanggungjawab kemanusiaan kita secara aktif terus mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Pelindung, fokus dalam kehidupan untuk menyenangkan hati-Nya, dan berbagi kasih dan Injil kepada orang lain. Pilihan Allah kepada kita juga sekaligus memberi tantangan untuk menjalani kehidupan ini untuk dibuat berharga bagi kita sendiri dan bagi-Nya.

 

 

 

Ketika Allah memilih kita, Ia memberi kekuatan untuk mengikuti dan mendukung-Nya. Kuasa itu datang dari Roh Kudus dan Injil; kita tidak perlu tahu proses yang mana yang terjadi lebih dahulu. Yang jelas, Injil datang dengan kuasa dan membawa kekuatan pengaruh bagi setiap pribadi, keluarga, termasuk jemaat Tesalonika. Roh Kudus juga membuat seseorang mengerti Injil. Pengurapan Roh Kudus membuat Injil diterima dengan kepastian yang kokoh sebagai firman Allah. Ketika firman disampaikan dan direnungkan, hidup pasti menjadi berubah (Luk. 4:32-37; Kis. 1:8; Rm. 1:16; Gal. 3:22). Pengalaman selama 2000 tahun lebih, Injil dan kekristenan bukan sekedar kumpulan kejadian atau cerita yang menarik; tetapi merupakan kuasa Roh Allah bagi siapa saja yang mempercayainya (band. Yoh. 14:23-26; 15:26-27; 1Kor. 2:4). Kita tidak perlu mengkaji teoritis perbedaan logos dan rhema, yang tertulis dengan tidak tertulis, kata-kata atau makna, sebab bagaimanapun, Allah bekerja dengan cara yang tidak bisa dipahami manusia yang kemampuannya terbatas. Kita juga tidak dapat memahami keajaiban cara, jalan dan maksud pikiran Allah. Iman datang dari pendengaran, itu betul, tetapi jelas bukan “kebenaran” esklusif dalam arti menutup kebenaran lain bahwa iman dapat datang dari membaca firman dan melihat, atau orang tuli juga bisa beriman. Sebuah ayat jelas tidak bisa mengungkapkan seluruh kebenaran Allah, oleh karena itu selalu diminta melihat keseluruhan Injil.

 

 

 

Rasul Paulus menekankan hal yang dia alami dan lakukan di Tesalonika dengan menuliskan, "Memang kamu tahu, bagaimana kami bekerja di antara kamu oleh karena kamu". Jemaat telah melihat hal yang dikhotbahkan Rasul Paulus, Silas dan Timotius selama mereka di Tesalonika, dan menjadi bukti bagi mereka dengan melihat ketiga hamba-hamba Tuhan ini hidup di dalam kuasa-Nya dan dapat menjadi teladan. Ketiga hamba Tuhan ini melakukannya karena memiliki keyakinan yang kokoh tentang iman yang dipilih Allah dan Injil yang diberikan. Jadi, ketika kita mengaku bahwa iman adalah anugerah dan bukan merupakan buah dari pikiran, maka secara otomatis kita sebenarnya mengaku kalau kita adalah orang yang dipilih. Ketika kemudian firman atau Injil itu semakin kita dengarkan, renungkan dan lakukan, maka iman kita semakin bertumbuh dan kemudian berbuah dalam pelayanan. Inilah yang diperlihatkan para Rasul dalam keseharian mereka. Keyakinan bertiga ini yang membuat mereka berbuah dalam mengabarkan Injil. Kini, bagaimana dengan kita? Apakah perbuatan kita meneguhkan yang kita imani atau malah kontradiksi? Setelah kita mengakui Allah telah memilih kita, bagaimana respon kita tentang hal tersebut? Mari kita renungkan, semua yang sudah Allah lakukan dengan kuasanya setelah kita pertama beriman kepada Tuhan Yesus? Apakah kita cukup berbuah? Apakah kita berbuah lebat? (Yoh. 15:5).

 

 

 

Ketiga: Menjadi teladan dalam menghadapi penindasan (ayat 6-8)

 

Meski pesan keselamatan dibawa dalam sukacita kepada setiap orang percaya di Tesalonika (dan orang percaya umumnya), tetapi juga membawa jemaat itu pada penderitaan yang hebat karena penolakan dan penganiayaan dari orang Yahudi dan juga orang Romawi (Kis. 17:5; 1Tes. 3:1-4). Mereka membenci pengikut Yesus. Memang, hal yang dilaporkan oleh Timotius sangat menyenangkan hati Tuhan melalui Rasul Paulus. Sebagai jemaat yang baru bertumbuh, Rasul Paulus mendengar jemaat menerima dengan keteguhan meski penindasan datang. Paulus memujinya dan meminta agar yang mereka lakukan itu semua didasari oleh iman terhadap Allah yang benar di dalam Tuhan Yesus. Mereka juga tetap diminta bekerja dan berkarya oleh dasar kasih, ketabahan dan keteguhan yang didasarkan pada pengharapan akan datangnya Tuhan Yesus kembali. Semua ini merupakan tanda-tanda karakter efektif orang Kristen di segala abad. Untuk itu, Rasul Paulus meminta jemaat agar teguh pada perintah Tuhan dan mengikuti teladan para hamba-Nya menjadi pelaku yang setia (1Kor. 4:16). Semuanya dikerjakan dengan sukacita sejati dari Roh Kudus sebagai respon terhadap firman kebenaran dan keselamatan yang telah mereka terima (Yoh. 16:33; 2Kor. 6:10; Gal. 5:22; Ibr. 12:2; 1Ptr. 2:19-21).

 

 

 

Banyak orang percaya saat ini berpikir bahwa penderitaan bukanlah bagian dari kehidupan orang Kristen. Mereka berpikir kehidupan kekristenan hanya penuh dengan berkat-berkat dalam arti yang sempit, yakni kesenangan dan sukacita. Ketika datang penderitaan, mereka bertanya: Mengapa aku? Mereka merasa seolah-olah Allah telah meninggalkan mereka; bahkan menuduh-Nya tidak lagi menjadi pelindung bagi anak-anak-Nya. Tetapi semua orang percaya harus menyadari kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan dosa, karena itu orang percaya menderita. Allah mengetahui sebagian orang percaya perlu sebagai martir iman dan mengalami penderitaan. Maka daripada kita bertanya "Mengapa aku?", lebih baik bertanya "Mengapa bukan aku?" Iman kita dan nilai-nilai dalam dunia ini memang cenderung bertabrakan. Oleh karena itu perlu ada pengorbanan, teladan, perlu ada martir yang dapat memperlihatkan iman, kasih dan pengharapan dan tentunya dari kita orang percaya. Kisah martir dan keteguhan seseorang pasti menyebar meluas, dan keteladanan itu memberikan motivasi bagi orang lain untuk ikut berkorban bagi kemuliaan Kristus Yesus. Kekristenan tidak dapat menjadi seluas sekarang ini tanpa adanya penderitaan panjang yang dialami umat percaya selama ratusan tahun. Demikian halnya kabar jemaat Tesalonika sebagai teladan, bergema keluar Makedonia dan Akhaya hingga ke seluruh wilayah Mediterania.

 

 

 

Salah satu cara menjadi lebih siap dalam menghadapi segala kemungkinan dalam melayani Tuhan adalah menyadari bahwa penderitaan itu akan datang. Seorang PNS yang setia pada Tuhan dan berperilaku jujur pasti akan dicemoh orang sekelilingnya. Olok-olok sok suci pasti diterimanya. Seseorang yang menginjil bisa saja kemudian menjadi target kekerasan atau bulan-bulanan oleh mereka dari kelompok keras. Jika kita sudah mengetahui adanya kemungkinan penderitaan datang, maka kita tidak menjadi terkejut atau shock ketika hal itu terjadi. Yang kedua, kita lebih siap sebab kita tahu Yesus juga menderita dan menderita bagi kita. Apa yang dialami oleh Tuhan Yesus dan juga para rasul menjadi inspirasi dan sumber kekuatan bagi kita dalam melayani. Yesus memahami ketakutan kita, kelemahan dan bahkan jika timbul kekecewaan kita (Ibr. 2:17-18; 4:14-16). Yang ketiga, kita seharusnya tetap merasa aman sebab Ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita (Mat. 28:18-20), dan Dia berdoa bagi kita sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara (Ibr. 7:24-25). Di dalam rasa sakit, penganiayaan, atau penderitaan, tetaplah teguh percaya kepada-Nya. Mari kita terus bersaksi dan memberikan teladan, meski kita harus berkorban untuk itu, agar kerajaan Allah semakin diperluas di sekeliling kita.

 

 

 

Keempat: Berbalik dan melayani Allah (ayat 9-10)

 

Seharusnya semua orang percaya memberi respon yang sama terhadap Injil dan keselamatan yang disampaikan, sebagaimana jemaat Tesalonika perlihatkan: berpaling pada Allah dan melayani Allah. Kehidupan masa lalu jemaat Tesalonika penuh dengan berhala-berhala dengan segala kuasanya, dan terbelenggu pada dosa-dosa kehidupan terbuka di wilayah yang sudah maju saat itu. Kini, itu semua harus ditinggalkan. Mereka telah bertobat dan hal inilah yang dipuji Rasul Paulus. Injil dan kuasa Roh telah membuat mereka menjadi manusia baru. Demikian juga dengan kita saat ini, kehidupan yang bertentangan dengan kehendak Allah sebaiknya kita tinggalkan. Kehidupan berupa dosa-dosa mengandalkan hidup pada berhala-berhala modern, seperti uang dan kekayaan, jabatan, prestise dan kehormatan, perlu dijauhkan apalagi sampai kita melanggar firman Tuhan untuk mendapatkan atau mempertahankannya. Perubahan hidup baru dengan berbalik kepada Allah harus diisi dengan melayani-Nya yang didasari iman, kasih dan pengharapan, sebagai buah nyata dari pilihan Allah terhadap kita yang dikasihi-Nya. Kita dikasihi Allah maka kita wajib mengasihi Allah (1Yoh. 4:10).

 

 

 

Yesus berjanji akan datang kembali untuk menjemput orang-orang percaya yang dikasihi-Nya. Apapun yang kita alami saat ini sebagai konsekuensi penerimaan kita terhadap Tuhan Yesus, termasuk apabila kita menderita, pertahankanlah itu. Ia adalah Allah yang hidup dan yang benar. Semua yang terjadi dalam hidup kita berada dalam pengendalian-Nya dan kuasa-Nya. Tetaplah setia menunggu kedatangan-Nya turun kembali dari sorga. Dalam penantian itu kita lebih sungguh-sungguh dalam mengenal Dia dan berusaha lebih melayani-Nya, sebab kita hanya memiliki waktu yang sedikit sebelum Yesus kembali. Kita harus siaga dan siap-siap sebab kita tidak tahu kapan Yesus akan kembali. Yesus telah dibangkitkan dan kuasa itu ada pada-Nya untuk membangkitkan semua orang percaya kelak untuk bersama-sama menerima kemuliaan dari Bapa. Melayani Allah hanya dapat dilakukan dengan sepenuhnya berserah dan tunduk kepada-Nya. Penantian yang tekun dengan hidup melayani bagi Allah merupakan awal yang diperlukan sebelum kemuliaan dari sorga itu dinyatakan.

 

 

 

Siap sedia untuk waktu juga berarti kesungguhan dalam pertobatan, berbalik arah dan orientasi (1Kor. 12:2; Gal. 4:8-9). Berbalik arah juga bukan berarti mereka diam menanti kedatangan tanpa bekerja melakukan sesuatu. Adanya perselisihan-perselisihan (selanjutnya hal ini diulas dalam pasal 4:9 dan 5:13) agar dapat dibereskan sebelum Tuhan Yesus kembali. Yesus datang bukan saja untuk menjemput dan mengangkat orang percaya yang dikasihi-Nya, tetapi juga menghakimi semua umat manusia. Bagi mereka yang hidupnya bertentangan dengan firman Tuhan dan mengutamakan dirinya sendiri, murka Tuhan akan datang padanya. Rasul Paulus menekankan murka Allah dalam masa kesengsaraan besar yang kelak akan datang (band. Kis. 17:31; 1Tes. 2:16; Rm. 3:5), namun murka Allah hanya bagi orang-orang yang tidak taat dan bangsa-bangsa yang tidak percaya (Yoh. 3:18; Mat. 25:30). Namun bagi orang percaya, kita tidak perlu takut sebab iman telah menyelamatkan kita yang menjadi milik-Nya dan bebas dari segala bentuk murka yang ada, termasuk melalui masa kesengsaraan besar yang mungkin terjadi (Rm. 5:9; Why. 3:10). Tuhan Yesus telah membebaskan kita dari semua beban dosa dan ketika Ia datang, kita telah sempurna dikuduskan-Nya dan siap untuk dimuliakan-Nya.

 

 

 

Penutup

 

Kita diajar tentang banyak hal dari nas yang kita baca dan renungkan minggu ini. Hal pertama adalah pentingnya kesatuan hati di antara pelayan Tuhan dan hubungan yang akrab dengan jemaatnya. Ketiga hamba Tuhan dalam nas ini memberikan contoh keteladanan. Mereka melihat jemaat sebagai mahkota yang harus dikasihi dan dipedulikan. Meski ada penolakan dan penganiayaan yang dialami jemaat, hati mereka tetap terpaut pada  keyakinan akan Injil dengan kekuatan Roh dan kepastian yang kokoh akan keselamatan yang diberikan melalui Tuhan Yesus. Mereka diingatkan sebagai pilihan Allah dan memuji yang telah dilakukan jemaat Tesalonika tentang perbuatan iman, kasih dan pengharapan, meski di tengah-tengah penderitaan. Ini menjadi teladan dan kesaksian yang hidup bukan saja di wilayah dekat, tetapi sampai ke luar hingga ke Mediterania. Untuk itu mereka tetap melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, berbalik dari hal-hal berhala dan perselisihan dan fokus melayani. Allah telah mengasihi mereka sehingga mereka seyogianya terus mengasihi Allah dengan terus berharap pada kedatangan Yesus kedua kalinya. Dengan demikian mereka dan kita juga akan jauh dari penghukuman dan murka Allah.

 

 

 

Selamat beribadah dan melayani bagi para hamba-Nya.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 22 Oktober 2023

Kabar dari Bukit Minggu 22 Oktober 2023

 

 KERAGUAN YANG MENUMBUHKAN IMAN

 

 ”Lalu Ia berfirman: "Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu" (Kel. 33:14)

 

 

 

Merasa ragu hal manusiawi. Namun, jangan diam terus dengannya yang membuat kita tidak bergerak: takut salah, gagal, malu dan lainnya. “Yakinlah dalam keyakinanmu, dan ragukanlah keraguanmu”. Itu semboyan yang bagus, agar hidup dapat lebih berbuah dan penuh dinamika.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini adalah Kel. 33:12-23. Nas ini kejanjutan pasal sebelumnya, yakni tentang amarah Tuhan kepada bangsa Israel. Mereka tidak sabar menunggu Musa yang naik ke gunung bertemu Tuhan, dan langsung membuat patung lembu emas menjadi sembahannya, dan berharap patung yang selanjutnya menuntun mereka.

 

 

 

Tuhan pun marah, ingin membinasakan mereka. Kita tahu Tuhan itu pencemburu dan tidak mau diduakan. Musa yang memimpin perjalanan, ikut merasa ragu tentang kasih penyertaan-Nya, sebab kini hanya malaikat yang diutus (ay. 2). Ia menjelaskan tidak tahu sifat-sifat bangsa itu tegar tengkuk, dan Tuhan juga tidak memberi arahan siapa saja yang boleh ikut keluar dari Mesir (ay. 5, 12).

 

 

 

Di tengah rasa putus asa, Musa memohon kepada Tuhan: “... beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau, supaya aku tetap mendapat kasih karunia di hadapan-Mu” (ay. 13). Permintaan kedua, Musa ingin bertemu muka dengan Tuhan dan berkata, “Perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku” (ay. 18).

 

 

 

Jelas, hubungan yang dekat membuat Musa lebih mudah meminta dan mengekspresikan diri. Dan TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (ay. 11a). Amarah Tuhan pun sirna setelah Musa memohon dengan alasan yang kuat. Tuhan penuh kasih. Ia memahami situasi bangsa Israel dan terutama kepada Musa yang telah dipilih-Nya. Permohonan pertama Musa dikabulkan. "... engkau telah mendapat kasih karunia di hadapan-Ku dan Aku mengenal engkau" (ay. 17).

 

 

 

Permohonan kedua Musa, tidak dikabulkan. Tuhan berkata: "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup" (ay. 20). Namun Tuhan memberi sinyal, tanda-tanda kehadiran dan penyertaan-Nya, melalui malaikat dan tiang awan (ay. 2, 10), dan juga kesempatan Musa akan melihat belakang-Nya, tetapi wajah-Nya tidak akan kelihatan" (ay. 23).

 

 

 

Menjalani kehidupan, selain memiliki tujuan, perlu nilai-nilai dasar sebagai pegangan, yakni kebenaran dasar yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku dalam berbagai kehidupan. Nilai-nilai ini sangat penting, sebab kita tidak hidup seorang diri; ada keluarga dan masyarakat yang berinteraksi dan memberi dampak pada kehidupan kita pribadi. Bila nilai-nilai dasar itu tidak jelas dan tidak dipegang teguh, maka godaan dunia, kedagingan dan iblis akan lebih menguasai.

 

 

 

Kini bagi kita semua. Mungkin kita melakukan kesalahan yang membuat Tuhan marah. Namun dengan menjalin hubungan yang dekat dengan-Nya, kita dapat menaikkan permintaan kepada-Nya tentang pengharapan maupun pergumulan kita. Percaya hanya kepada Allah dalam Yesus, salah satu nilai dasar yang perlu kita pegang. Juga nilai-nilai lainnya, seperti mencintai keluarga, tidak menyakiti orang lain, jujur, dan lainnya. Jika kita memegangnya dengan kuat, maka tantangan apapun yang datang, kita akan teguh dan menang.

 

 

 

Sebuah nasihat mengatakan, “If you don’t stand for something, you fall for everything”. Jika Anda tidak berpegang pada sesuatu, Anda akan (mudah) jatuh pada segalanya. Jika kita ragu akan kasih setia Tuhan, jalinlah terlebih dahulu hubungan dengan rajin bersekutu dengan-Nya. Mohonkan belas kasihan atas sikap yang ragu-ragu (Yud. 1:22). Katakan, "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (Mrk. 9:24). Ubah keraguan menjadi iman. Maka kita akan mendapatkan bimbingan dan ketenteraman hidup dari-Nya (ay. 14).

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu Keduapuluh Satu setelah Pentakosta - 22 Oktober 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu ke-XXI setelah Pentakosta - 22 Oktober 2023 (Opsi 2)

 

 

DUA KEWARGAAN (Mat. 22:15-22)

 

 

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21b)

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 22:15-22, berbicara tentang membayar pajak kepada Kaisar. Umat Yahudi berpikiran bahwa mereka hanya mempunyai kewajiban memberi kepada Allah saja. Bila kepada Kaisar apalagi pihak asing yang menjajah mereka, itu dianggap tidak benar.

 

 

 

Menurut William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius, umat Yahudi saat itu mempunyai tiga kewajiban pajak kepada pemerintah Romawi: pajak bumi (10-20% dari hasil bumi), pajak penghasilan lain (1%), dan pajak kepala (pribadi) yakni sebesar satu dinar bagi pria/wanita dewasa. Ini di luar persepuluhan dan persembahan lain yang dibawa jemaat ke Bait Allah.

 

 

 

Dalam nas ini dituliskan, kaum Farisi bersama orang Herodian pendukung Herodes berkomplot, ingin mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan jebakan di ayat 17b: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Ini buah simalakama. Bila jawaban membela umat Yahudi akan menyudutkan Yesus di hadapan kekaisaran; dan jawaban membela Kaisar akan dianggap rendah oleh umat Yahudi.

 

 

 

Tetapi Tuhan Yesus menjawab dengan hikmat dan meminta seseorang menyerahkan mata uang satu dinar kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (ayat 20-21).

 

 

 

Bagi kita orang percaya dan dunia modern, setelah pengalaman panjang yang kurang baik dengan teokrasi, telah disepakati pemisahan urusan kenegaraan dan gereja. Kita mengakui dwi-kewargaan kita, yakni sebagai WNI dan warga Kerajaan Sorgawi (Flp. 3:20). Maka kita pun memiliki dua kewajiban.

 

 

 

Sebagai warga negara yang layak membayar pajak (baik PBB, PPh dan lainnya), mungkin kita telah patuh, sebagai bagian pengabdian kita bagi bangsa dan negara. Perhitungannya diatur oleh pemerintah. Berbeda dalam kehidupan bergereja, semua diatur berlandaskan Alkitab dan disebut persembahan. Beberapa gereja menerjemahkan persembahan dengan berbagai jenis, termasuk persepuluhan dan membuatnya sebagai hal wajib. Sepanjang itu diterima oleh imannya, tidak masalah. Tetapi ketika persembahan dipakai oleh gembala untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, ini yang menjadi masalah. Oleh karena itu orang percaya perlu berhikmat dalam memberi, agar gerejanya dan hamba Tuhan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, dan melupakan pelayanan keluar gereja sesuai hakikatnya.

 

 

 

Pendapat Bill Bright dalam bukunya How You can Experience the Adventure of Giving dapat sebagai pegangan kita warga gereja dalam memberi persembahan, yakni:

 

 

 

Pertama, mengakui semua yang kita miliki sebenarnya adalah milik Tuhan, dan kita hanya mengelolanya (stewardship);

 

Kedua, menyadari bahwa memberi lebih diberkati daripada menerima (Kis. 20:35);

 

Ketiga, memberi dengan iman;

 

Keempat, menyadari bahwa apa yang kita tabur, maka itu juga yang akan kita tuai;

 

Kelima, memberi kepada Tuhan adalah untuk memuliakan Dia;

 

Keenam, memberi dari hati, sikap sukacita, mengasihi dan untuk menyenangkan Allah.

 

 

 

Ketaatan pada peraturan itu bagus, tetapi perlu berhikmat meresponnya, seperti Tuhan Yesus memberi jawaban dalam nas ini. Ukuran manusia berbeda dengan ukuran Tuhan. Manusia lebih sering memandang muka dan berharap penghargaan, tetapi Tuhan memandang hati. Ukuran persembahan yang benar kalau kita merasakan sakitnya dalam memberi. Dan memberi persembahan tanpa parameter dan "suka-suka", jelas bukan warga sorga yang bertanggung jawab. Prinsip dasar adalah berilah yang terbaik: dengan menjaga kekudusan tubuh kita, tenaga dan pikiran, hati dan mulut, juga dengan harta kita.

 

 

 

Sudahkan yang terbaik kuberikan kepada Allahku?

 

 

 

Selamat beribadah dan melayani bagi para hamba-Nya.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 14 guests and no members online

Login Form