Sunday, May 19, 2024

2023

Khotbah Minggu Ketujuhbelas setelah Pentakosta - 24 September 2023 (Opsi 1)

Khotbah Minggu XVII setelah Pentakosta - 24 September 2023 (opsi 1)

 

 KEADILAN SORGAWI (Mat. 20:1-16)

 

 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir (Mat. 20:16)

 

 

Firman Tuhan bagi kita dari Mat. 20:1-16, temanya tentang upah di sorga bagi orang percaya. Tuhan Yesus memberi perumpamaan Kerajaan Sorga seperti tuan rumah yang mencari pekerja untuk kebun anggurnya. Ia sepakat dengan orang-orang dan mulai bekerja di pagi hari dengan upah sedinar sehari. Tuan rumah terus mencari pekerja lain hingga siang dan sore hari, dan mereka yang mulai kerja sore juga dibayar sama, yakni sedinar (ayat 1-9).

 

 

 

Tentu yang bekerja dari pagi hari bersungut-sungut, protes kepada tuannya (ayat 10-12). Tetapi tuannya menjawab lugas di ayat 14-15: “Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?”

 

 

 

Ini sebuah paradoks, menjungkalkan logika manusia yang umum, mempertanyakan keadilan upah. Bagaimana mungkin pekerja yang lelah seharian menanggung beban berat dan panas terik matahari, dibayar sama dengan yang bekerja hanya beberapa jam? Sebuah paradoks bisa tampak "aneh", tidak logis; tapi paradoks bukanlah sesuatu yang salah. Paradoks adalah dua pernyataan yang seolah-olah bertentangan, tetapi sebenarnya memiliki kebenaran sendiri-sendiri.

 

 

 

Tuhan yang diumpamakan sebagai tuan rumah dalam nas minggu ini, jelas tidak salah, sebab kesepakatan dengan semua pihak adalah: upah sedinar sehari, dan dalam nas tidak ada ketentuan jumlah jam kerjanya. Analogi yang muncul, seseorang yang dipanggil melayani Tuhan seumur hidupnya, dapat menerima upah yang sama dengan mereka yang baru bertobat seperti seorang penjahat di sebelah Tuhan Yesus saat disalibkan (Luk. 23:40-43). Ini sama juga dengan tafsiran lain nas ini, yang menyebutkan bahwa orang Yahudi akan percaya belakangan kepada Kristus, sehingga ayat 16 merupakan pengulangan Mat. 19:30: “Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”

 

 

 

Tetapi kita tahu ada firman Tuhan lainnya, yakni: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak akan menabur banyak juga” (2Kor. 9:6). Demikian juga dengan perintah Tuhan untuk menyimpan harta di sorga (Mat. 6:19-21; Luk. 12:33). Ada upah yang besar dan penuh (berarti ada upah yang tidak penuh) di sorga (2Yoh. 1:8; Luk. 6:35), dan juga ada lima mahkota yang disediakan oleh Allah.

 

 

 

Pesan nas minggu ini menegaskan keselamatan adalah anugerah. Orang masuk dan memiliki Kerajaan Sorga bukanlah atas hasil usaha kita, jerih payah kehebatan atau prestasi khusus (Ef. 2:8-9). Sebagai anugerah maka itu adalah kasih karunia, pemberian, sama halnya iman adalah pemberian (Flp. 1:29a; 2Pet. 1:1) Kita dipilih dan dipanggil dan diberi iman percaya kepada Kristus dan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, kita bersyukur. Dan itu adalah upah. Suka cita puji Tuhan yang pertama.

 

 

 

Kedua, orang percaya diberi tugas untuk berbuah. Buah dapat dari hasil kita sendiri atau (bersama) orang lain. Maka jika ada buah yang kecil atau matangnya belakangan, kita tetap bersyukur. Jika ada yang ikut diselamatkan dan masuk bersama ke dalam Kerajaan Sorga, kita layak bersyukur. Ini sama seperti Tuhan Yesus mencari satu domba yang hilang dan ketemu. Inilah puji Tuhan kita yang kedua.

 

 

 

Hal ketiga, pengikut Kristus mesti beriman, “aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:20). Dengan demikian kita orang percaya tidak boleh satu pun bermegah, apalagi menuntut, sebab semua adalah karya Kristus yang hidup di dalam diri kita. Syukur haleluya yang ketiga.

 

 

 

Orang Kristen hidup dalam iman, kasih dan pengharapan. Iman mengatakan kita telah diselamatkan melalui penebusan Kristus, dan kegenapannya ada dalam pengharapan yang akan tampak kelak. Saat ini memang semua tampak samar-samar, oleh karena itu kita hanya mengaku dengan rendah hati akan keterbatasan pikiran kita. Bagian kita adalah tetap taat dan menjalani hidup dalam ketekunan yang kudus.

 

 

 

Amsal dari Raja Salomo menyatakan, “mereka yang memberi kepada yang lemah akan memiutangi Tuhan” (Ams. 19:17), dan Tuhan akan mengganti serta ada saatnya menuai (Gal. 6:9-10; 2Tim 4:2; Ef. 6:8; Mat. 16:27; Luk. 6:35). Semua itu adalah pengharapan yang tidak salah, semua dalam iman dan kasih. Tuhan akan membukakan semua kelak bagi kita dan puncak rayanya adalah sukacita besar. Itulah keadilan sorgawi dari Tuhan sebab Ia adalah Allah kita yang Mahaadil dan murah hati.

 

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah Minggu Ketujuhbelas setelah Pentakosta - 24 September 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu XVII setelah Pentakosta - 24 September 2023 (opsi 2)

 

 HIDUP ADALAH KRISTUS DAN MATI ADALAH KEUNTUNGAN (Flp. 1:21-30)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 16:2-15; atau Yun. 3:10-4:11; Mzm. 105:1-6, 37-45 atau Mzm. 145:1-8; Mat. 20:1-16

 

 

 

 

Pendahuluan

 

 

Ketika kita mendengar seseorang dipenjara, kesan yang muncul adalah hal mengerikan. Gambaran penjara sebagai tempat yang terkungkung, kotor, makanan seadanya, penuh dengan kekerasan dan hukuman, maka orang langsung berpikir: hidupnya sudah habis dan tanpa arti. Mereka yang dipenjara biasanya melihat hidup dalam keadaan serba gelap dan tanpa pengharapan. Ada masa indah yang hilang dan memulihkan nama juga tidak gampang. Akan tetapi hal yang dialami oleh Rasul Paulus dalam bacaan ini sungguh berbeda. Ia mendapatkan tekanan tetapi ia melihat dari dua sisi yang berbeda dan keduanya adalah menguntungkan. Melalui bacaan di minggu ini, semangat itulah yang diberikan kepada kita melalui pengajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (ayat 21-23)

 

 

Bagi mereka yang tidak percaya akan adanya Allah pencipta langit dan bumi, kehidupan di dunia ini seperti apa adanya saja, mengalir tanpa arah dan komando, sehingga bagi mereka sangat wajar hidup ini harus diisi dengan kesuksesan nilai-nilai dunia saja, seperti uang, kesenangan, dan harga diri. Berbeda bagi Rasul Paulus, yang berpikir hidup ini perlu diisi dan dikembangkan dengan nilai-nilai yang abadi, khususnya mengabarkan tentang Kristus dan kasih-Nya. Bagi Paulus, Yesus Kristus dapat menolong mereka yang tidak mengenal Allah sebagai Komando untuk mendapatkan dan memahami nilai-nilai hakiki kehidupan, sehingga menjalaninya lebih penuh arti. Kristus merupakan sumber inspirasi. Tujuan hidup Paulus adalah memberitakan dengan penuh keyakinan dan keberanian tentang Kristus, dan terus berusaha menjadi serupa dengan Dia. Oleh karena itu, ia berkata bahwa mati adalah keuntungan; kematian bukan sekedar membebaskan kita dari segala persoalan, pergumulan dan penderitaan, melainkan menjadi pintu masuk perjumpaan dengan Kristus muka dengan muka (Flp. 1:21; Yoh. 3:2-3). Dalam 2Kor. 5:8 juga dituliskan kerinduan ini, “... dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” Kerinduan yang sama dinyatakan Pemazmur: “lebih baik satu hari di pelataran Tuhan dari pada seribu hari di tempat lain (Mzm. 84:10). Tapi ini bukan berarti pembenaran terhadap mati bunuh diri atau keputusasaan. Ia tidak mengungkapkan keletihan hidup dengan nada yang getir. Bukan. Inti pesannya, jika kita belum siap untuk kematian, maka sebetulnya kita tidak siap untuk hidup.

 

 

 

Ketika menulis surat ini di penjara, Rasul Paulus tidak mengetahui situasi pasti masa depannya. Gambaran di dalam benaknya adalah dibebaskan atau dihukum mati. Akan tetapi dalam menanti keputusan itu ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa Kristus bekerja dalam hidupnya untuk kebaikannya. Hal yang perlu dilakukan dan persiapkan hanyalah saat berdiri di depan antar pengadilan Romawi, ia harus berbicara dengan berani untuk kebenaran Kristus tanpa ada rasa takut atau malu. Apakah harus mati atau hidup, baginya tidak persoalan, ia hanya ingin meninggikan Kristus. Untuk itu ia terus antara diri menghadapinya, dengan berdoa dan menjadi berkat dengan menulis surat kepada jemaat-jemaat yang dikenalnya. Prinsip hidupnya, ketika Tuhan memberinya kehidupan, antara harus mengisinya dengan memberi buah. Tidak ada alasan untuk pesimis, putus asa, berleha-leha, atau menunda seolah-olah belum waktunya melayani. Memang pada kenyataannya, ia dibebaskan sebentar setelah menulis surat ini, namun kemudian ditangkap dan dipenjara kembali selama dua sampai tiga tahun karena terus menerus mengajarkan Kekristenan kepada semua orang. Inilah yang perlu kita lihat dan teladani. Setiap kesempatan perlu kita isi hidup ini dengan pelayanan, baik melalui jalan terlibat langsung maupun tidak langsung melalui dukungan doa, moril, waktu dan dana.

 

 

 

Semangat melayani hanya bisa terjadi jika kita memahami bahwa ada Allah pencipta seiisi bumi dan terus mengendalikannya. Setiap orang lahir ke dunia bukanlah kebetulan melainkan dengan tujuan dari Allah; bukan untuk diri sendiri.  Dengan kesadaran itu bisa kita rumuskan dan nyatakan tujuan akhir hidup, yang perlu diisi dengan melayani Tuhan, mempersembahkan hidup bagi-Nya yang dinyatakan tanpa ada rasa takut akan kematian. Hidup bukan lagi semata-mata kekosongan, tanpa arah dan makna. Kita berjalan dengan iman dan bukan dengan pikiran. Yang terutama, ketika badai kehidupan datang keras melanda, yang kita tidak tahu sebab musababnya, kita tahu bahwa itu adalah bagian dari rencana Tuhan. Ini situasi yang dihadapi Rasul Paulus, seolah-olah didesak dari dua sisi kenyataan, perjuangan dan penderitaan atau menanti pergi saat-saat kematian tiba (ia memakai istilah analyo merupakan eufemisme yang artinya “meninggalkan” seperti kapal yang mengangkat jangkar atau antara yang mengendorkan tali kemah). Hanya oleh iman yang teguh kepada Kristus yang membuat Rasul Paulus kuat menahan penderitaan tersebut dan tetap tegar dalam pelayanannya. Kita pun menjadi kuat dan teguh dalam menghadapi segala situasi kehidupan, ketika kita memiliki tujuan di dalam Kristus. Memiliki tujuan hidup akan membangun hidup itu sendiri dengan hidupnya tujuan itu. Bagi orang percaya, tujuan akhir kita jelas, yakni kita masuk sorga, dan itu hanya bisa bersama dengan Kristus. Inilah yang kita rindukan, Allah memberi prinsip hidup yang sama dalam diri kita seperti Rasul Paulus.

 

 

 

Kedua: Makin maju dan bersukacita dalam iman (ayat 24-26)

 

 

Rasul Paulus telah memutuskan memiliki tujuan hidup yakni memberitakan Kristus di seluruh dunia. Pikiran-pikiran yang mengganggunya yakni tantangan, penderitaan, masa lalunya yang penuh dosa ingin membunuh, tidak dipikirkannya lagi. Ia mengerti sepenuhnya bahwa hidupnya telah ditebus dan diberi kasih anugerah, sehingga ia berhutang nyawa bagi Yesus dan untuk itu merasa wajib membayarnya. Pikiran ini yang disampaikannya kepada jemaat di Galatia, yakni dengan mengatakan: "Aku hidup, tetapi bukan lagi aku jang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup didalam aku" (Gal. 2:20; band. Rm. 14:8; Kol. 3:3). Ia merasakan kebaikan Allah dan ia juga mengetahui karunia rohani yang dimilikinya, sehingga dengan menetapkan tujuan hidupnya, ia tahu bahwa hidupnya sangat berguna bagi jemaat di Filipi dan ingin tinggal dan akan bersama-sama dengan mereka (band. Kis. 20:1-6). Ada persekutuan yang erat di antara mereka. Oleh karenanya, meski mati adalah keuntungan, ia kemudian mengatakan, “tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.” Memang dalam hidup setiap orang, termasuk Paulus, begitu ada dorongan dan pengharapan hidup kita berbuah bagi orang lain, maka kita akan memiliki semangat dan roh yang kuat untuk menjalani hidup dengan optimisme. Semua ini akan lebih dahsyat ketika Roh Allah bekerja di dalam hati kita. Kisah seorang ayah atau ibu yang berjuang keras bahkan hidup mati demi anak-anaknya, merupakan kisah yang sering kita dengar dalam kehidupan ini.

 

 

 

Rasul Paulus merasakan adanya ketakutan pada jemaat di Filipi perihal penderitaan yang akan mereka alami akibat penindasan dari serdadu dan pemerintahan Romawi (dan juga dari orang-orang Yahudi fanatik), sehingga Paulus perlu meyakinkan mereka untuk tidak perlu takut bahkan bila risikonya kematian. Ia juga melihat ketakutan itu terjadi karena pemahaman mereka terhadap firman Tuhan belum mencapai kedewasaan rohani, sehingga pertimbangan keduniawian masih menjadi faktor yang dominan. Kedewasaan dan cara melihat penderitaan terkait dengan iman, yakni dalam pengertian iman yang bertumbuh semakin besar ketergantungan dan penyerahan hidup dalam tangan pimpinan Tuhan. Ketika iman lemah atau baru bertumbuh, biasanya menciutkan mental saat tantangan berat datang melanda; akan tetapi ketika iman semakin besar dan kuat, maka tantangan apa pun yang datang, hidup sudah seluruhnya diserahkan kepada Dia yang mengendalikan hidup kita. Inilah yang dilihat Rasul Paulus sehingga mengatakan dalam nas ini, “supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman.” Pengertian maju dan bersukacita hanya ada kaitannya dengan iman kepada Yesus Kristus yang mengendalikan hidup.

 

 

 

Rasul Paulus melihat semua itu bukan untuk membanggakan dan memegahkan dirinya telah membuat sebuah prestasi, melainkan semuanya adalah untuk kemegahan Kristus. Kristus ditinggikan, diagungkan, dan dimuliakan adalah tujuan akhir hidupnya. Ia sudah tahu bahwa dirinya pasti selamat dan ia tidak perlu ragu akan hal itu. Ia hanya menyelaraskan tujuan hidupnya agar sesuai dengan rencana Allah dalam hidupnya. Itu hanya bisa tersinkronisasi tatkala kita memiliki hubungan yang dekat dengan Dia. Dengan kedekatan dan keakraban yang terjalin, kita tahu tujuan hidup tidak hanya memuaskan keinginan daging dan tubuh, sebab Yesus telah menderita bagi kita. Dialah yang kita layani sebab Ia telah melayani kita. Kini, pertanyaannya bagi kita: Apa yang menjadi tujuan hidupmu? kepada siapa kita melayani? Apakah yang kita lakukan saat ini sepenuhnya bagi kemegahan kita saja, kemegahan keluarga, atau kita menempatkan kemegahan Kristus lebih utama dalam semua tujuan yang kita lakukan? Apakah kita pernah membangun iman teman sesama gereja tatkala mereka dalam pergumulan iman? Kristus memanggil kita untuk menggunakan berkat dan karunia rohani untuk membangun kemegahan Kristus, bukan saja di lingkungan gereja kita sendiri tetapi juga di dalam kehidupan keseharian dalam bermasyarakat. Itulah yang dilakukan Rasul Paulus dan perlu kita lakukan.

 

 

 

Ketiga: Hidup berpadanan dengan Injil Kristus (ayat 27-28a)

 

 

Untuk bisa memiliki iman yang teguh dan berbuah, persyaratan utama adalah perlunya pengenalan, pemahaman dan penerapan Injil Kristus. Dalam Injil Kristus yang diberikan bagi kita, di dalamnya ada kisah keteladanan Pribadi Yesus sebagai gambar dan rupa Allah yang sempurna di dalam wujud manusia. Dengan memandang dan mengenal Pribadi Yesus melalui kesaksian Injil, tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengatakan bahwa manusia tidak dapat melakukan hal seperti yang dilakukan-Nya. Memang kadang orang berkata untuk mencari alasan dengan mengatakan: “Ah, Yesus kan, Tuhan. Jadi Dia bisa seperti itu”. Akan tetapi terlepas dari kuasa membuat mukjizat, setiap manusia ditantang untuk menjadi serupa dengan Dia, sehingga kita menjadi buku dan kesaksian teladan bagi orang lain. Dalam melakukan mukjizat pun kita tidak boleh berkata “tidak mungkin”. Tuhan Yesus sendiri berkata, “Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Mrk. 9:23). Oleh karena itu kita terus berusaha agar pengenalan, pemahaman dan penerapan Injil Kristus itu hadir dan berpadanan dalam kehidupan kita sehari-hari. Berpadanan berarti tingkah laku kita layak disebut sebagai pengikut Kristus.

 

 

 

Salah satu yang ditekankan dalam Injil adalah pentingnya saling mendukung dalam is abacan jemaat. Rasul Paulus mendorong orang percaya untuk bersatu, berdiri kokoh dalam satu Roh dan berjuang sebagai satu kesatuan untuk membangun iman (band. Ef. 4:1-3). Prinsip bersatu teguh dan bercerai runtuh serta bergabung seperti sapu lidi tetap berlaku dalam membangun kekuatan iman. Adanya anggota-anggota gereja yang melenceng dan hidup sekehendak hatinya yang tidak sesuai dengan perintah Injil, akan mematahkan semangat dan kebersamaan. Gangguan seperti ini tidak boleh ada dan harus diredam dengan bijak. Rasul Paulus juga menekankan agar jemaat Filipi bersatu dengan keinginan dari diri mereka sendiri, tidak tergantung kepada Paulus, sehingga kehadirannya di Filipi tidak mempengaruhi semangat mereka dalam menghadapi semua persoalan yang ada. Kebersamaan dan kesatuan yang demikian akan murni dan langgeng, sementara kalau kesatuan akibat pengaruh pemimpin yang otoriter biasanya akan cepat retak dan pecah. Kita dapat melihat dalam berbagai pemerintahan di dunia, pemerintahan yang otoriter biasanya tidak langgeng dan selalu jatuh dengan konsekuensi yang menyakitkan.

 

 

 

Demikian juga dalam menghadapi musuh, kesatuan iman jemaat Filipi diminta untuk mendahsyatkan kekuatan bersama (band. 1Kor. 16:13). Meratapi kekurangan apalagi memperlihatkan kelemahan kepada musuh malah membuat rasa gentar di dalam diri mereka sendiri. Padahal yang dibutuhkan justru membuat musuh gentar dengan kesatuan yang ada. Kita is abaca dalam peristiwa Yerikho, ketika pasukan bersatu mengelilingi dengan tiupan sangkakala, tembok yang kokoh itu runtuh. “...Maka runtuhlah tembok itu, lalu mereka memanjat masuk ke dalam kota, masing-masing langsung ke depan, dan merebut kota itu” (Yos. 6:1-27). Allah bekerja di dalam kesatuan hati dan bukan di dalam perpecahan. Sebab sungguh sangat menyedihkan melihat begitu besar energi dan potensi yang terbuang sia-sia apabila orang percaya saling menyerang dan bukan bersatu melawan musuh bersama yang nyata. Musuh bersama saat ini masih banyak berupa kemiskinan dan penginjilan ke berbagai wilayah. Setiap gereja dan denominasi membutuhkan sikap yang lebih berani dalam mempersatukan dan membangun tujuan bersama demi dan untuk melayani Kristus. Egoisme masing-masing yang merupakan pekerjaan iblis harus dihilangkan.

 

 

 

Keempat: Tidak gentar dan siap menderita (ayat 28b-30)

 

 

Rasul Paulus memiliki keyakinan yang kuat tentang hidupnya di dalam Kristus dan itu membuat dirinya tidak khawatir sedikit pun tentang segala ancaman dan risiko yang timbul dari pelayanannya. Dengan cara pandang seperti itu, risiko penderitaan yang datang tidak dilihat sebagai "kesalahan" atau "hukuman", melainkan sebuah ujian untuk meningkatkan iman. Ketika kita menderita karena iman kepada Kristus, hal itu bukan berarti karena kita melakukan suatu hal yang salah. Sebaliknya, kenyataan yang benar, melalui penderitaan ingin dibuktikan kita adalah orang yang setia. Maka pergunakanlah penderitaan yang kita hadapi untuk membangun karakter kita. Jangan menyangkal, meremehkan apalagi malah membuat kita jatuh. Seorang Kristen sejati tidak pernah gentar menyerah namun tegar berdiri. Dengan sikap seperti itu, siapapun yang melihat diri kita sebagai orang yang teguh dalam pelayanan, tetap bertahan, tegar dalam tantangan dan penderitaan, musuh pasti gentar. Rasul Paulus mengatakan ini sebagai kebinasaan bagi musuh, namun bagi kita adalah tanda dan bukti keselamatan. Ia menganggap sungguh merupakan kehormatan untuk dapat menderita bagi Kristus. Penderitaan di dalam Kristus adalah sebuah kesempatan mengalami persekutuan secara lebih dalam dan indah dengan Kristus (Mat. 5:11). Memang kita tidak boleh secara umum menganggap penderitaan sebagai keistimewaan. Penderitaan juga dapat datang karena dosa dan kesalahan. Tapi ketika kita menderita oleh karena memberitakan Kristus, pesan dan kesan serta teladan yang kita berikan akan mempengaruhi diri kita dan orang lain untuk kebaikan (Kis. 5:41). Dalam hal ini, penderitaan memiliki beberapa manfaat, seperti:

 

1.       Mengerti dan mengabaikan kesenangan dan kenikmatan dunia.

 

2.      Menyingkirkan gulma orang-orang percaya yang membuat kedangkalan iman. Ada penglihatan makna baru dalam kehidupan setelah berhasil dalam ujian iman.

 

3.      Memurnikan iman guna jaminan masuk ke dalam kerajaan-Nya kelak

 

4.      Menguatkan iman mereka yang dalam penderitaan dan menjadi contoh teladan bagi mereka yang mengikut kita.

 

5.      Penderitaan dapat mempererat persatuan.

 

 

 

Rasul Paulus sepanjang hidupnya telah menderita oleh karena pemberitaan Injil. Ia pernah diseret dan dicambuk di hadapan jemaat Filipi (Kis. 16:19; 1Tes. 2:2; Ibr. 10:32), melakukan perjalanan tiga kali ke seantero Eropa untuk mengabarkan kasih Allah melalui Kristus. Beberapa kali dipenjara. Banyak hambatan dan tantangan dialaminya, demikian juga jemaat-jemaatnya. Sama seperti orang Filipi, kita juga saat ini berhadapan dengan yang ingin menghambat pemberitaan Kristus, baik melalui aturan-aturan maupun provokasi. Semua orang percaya harus menghadapinya, bersatu menghadapi “musuh” yang sama untuk kebaikan semua. Rasul Paulus tidak pernah mendesak agar orang Kristen mencari-cari penderitaan, apalagi menguji Tuhan. Kita juga jangan melupakan mereka yang menderita. Kasih Allah harus dinyatakan. Jika kamu orang kaya, memberilah dengan sukacita kepada yang miskin. Jika isi kulkasmu penuh, berbagilah dengan mereka yang kelaparan. Jika kamu ada dalam kekuasaan, bekerjalah dengan adil dan penuh kasih. Ketika hidup kamu menyenangkan, berusahalah untuk mengambil kesakitan orang lain, dan ceritakanlah kepada dunia bahwa Injil itu adalah kebenaran. Mari kita perlihatkan kepada dunia kasih Kristus ada dan nyata dalam setiap hati pengikut-Nya, meski kadang kala dunia ini tidak bersahabat pada kita.

 

 

 

Penutup

 

 

Melalui bacaan di atas kita dapat melihat keteladanan yang diberikan Rasul Paulus. Kehidupannya di penjara tidak menyurutkan semangatnya untuk memberitakan Kristus. Baginya, apapun risikonya, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Itu bukan sikap keputusasaan yang getir, tetapi melihat bukan persoalan hidup atau mati, sebab kedua-duanya dapat dipakai jalan untuk memuliakan Tuhan. Dalam hidup yang dimaknakan di dalam Kristus, berbuah berarti mendorong orang lain untuk semakin maju dan bersukacita dalam iman, sebagaimana yang dilakukannya bagi jemaat Filipi. Untuk itu memang diperlukan hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus, yang memperlihatkan layaknya kita sebagai pengikut Kristus. Kemampuan itu juga sekaligus memperlihatkan sikap kita dalam menghadapi tantangan dan musuh. Bila kita di dalam Kristus, kita tegar tidak akan gentar dan bahkan siap menderita karena itu merupakan kehormatan dapat menderita bagi Dia yang sudah memberikan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Inilah doa kita, agar Tuhan mengokohkan iman kita, meneguhkan pengharapan kita, sehingga kita terus melayani dan bahkan di dalam tantangan dan penderitaan yang mungkin dialami.

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah 1 Minggu Keenambelas setelah Pentakosta - 17 September 2023

Khotbah 1 Minggu XVI setelah Pentakosta - 17 September 2023

 

JANGAN MENGHAKIMI SEBAB KAMU AKAN DIHAKIMI (Rm. 14:1-12)

 

Bacaan lainnya: Kel. 14:19-31 atau Kel. 15:1b-11, 20-21 atau Kej. 50:15-21; Mzm. 114 atau Mzm. 103:1-7, 8-13; Mat. 18:21-35

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Pada masa surat ini ditulis pengkut-pengikut Kristus di Roma, masih banyak yang baru percaya dan mereka belum dapat membedakan kehidupan orang percaya dengan kehidupan dalam agama Yahudi. Bagi mereka, hal yang dipercayai dan dijalani menurut Taurat seolah-olah masih berlaku dan ini jelas menjadi sumber perdebatan. Tetapi itu tidak mencerminkan mereka kurang percaya dan dapat dituduh beriman lemah. Mereka yang sudah hidup di dalam kebebasan Kristus atau yang beriman kuat langsung kadang menghakimi dan merendahkan yang lainnya. Ini sangat mengganggu kesatuan jemaat dan suasana damai sejahtera yang menjadi inti kehidupan orang Kristen. Setiap orang tidak dipanggil untuk menjadi hakim bagi orang lain, apalagi yang diperdebatkan seringkali tidak hal mendasar dan bukan pokok keimanan kita. Untuk semua itu ada Hakim yang lebih benar dan adil bagi semua orang. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajarannya sebagai berikut:

 

 

 

Pertama: Terimalah kelemahan dan perbedaan orang lain (ayat 1-3)

 

Ayat ini memberikan gambaran terjadinya perbedaan pendapat dalam jemaat di Roma tentang hal-hal yang dianggap belum terlalu jelas. Mereka senang berdebat dan berbeda dalam pandangan tentang sikap yang benar di tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan saat itu, yang dianggap menyimpang dari kehidupan orang Kristen. Mereka berdebat soal makanan yakni sayuran, daging dan darah, tentang memakan daging bekas persembahan pagan, atau soal merayakan hari-hari kebesaran pagan yang dijadikan hari kebesaran umat Kristiani. Mereka melihat cara memotong hewan yang dianggap masih menyisakan darah, dianggap tidak halal. Perbedaan soal makanan berangkat dari permasalahan keinginan bebas serta batasan-batasannya, pemahaman dan makna kebebasan dalam Kekristenan yang terbatas. Akhirnya mereka yang tidak mau makan daging atau sisa penyembahan berhala, dianggap imannya lemah.

 

 

 

Akan tetapi bagaimana bisa terjadi orang Kristen sampai ikut memakan bekas makanan berhala saat itu? Seperti diketahui, sistem ritual zaman dahulu termasuk ibadah Yahudi, peranan korban persembahan sangat penting dan menjadi pusat ibadah, sosial dan kehidupan keseharian orang-orang di Roma. Prosesinya, setelah korban dipersembahkan kepada allah di kuil pagan, hanya sebagian daging korban yang dibakar. Sebagian lagi dagingnya umumnya sering dijual di pasar, dan harganya jauh lebih murah. Maka ada orang Kristen yang tidak peduli atau tidak tahu asal usulnya, membeli daging tersebut dan memakannya di rumah atau dengan teman-temannya. Sebagian lagi berpendapat orang percaya perlu bertanya asal usul daging tersebut sebelum membelinya; ini perlu untuk menghindari rasa bersalah (1Kor. 10:14-33). Persoalan moril rasa bersalah ini menjadi berat bagi mereka yang pernah menyembah allah pagan dan ikut dalam ritual seperti itu. Bagi mereka, hal yang mengingatkan mereka akan allah pagan sebelumnya, akan membuat iman mereka yang baru menjadi lemah. Tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa daging yang sudah dipersembahkan tidak masalah untuk dimakan, sebab mereka mempersembahkan kepada allah pagan yang tidak punya arti alias palsu. Rasul Paulus juga menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1Kor. 8).

 

 

 

Firman Tuhan dalam nas ini mengingatkan secara tidak langsung agar mereka jangan terjebak kaku pada pendapat masing-masing. Perbedaan pendapat juga tidak perlu ditakuti dan dihindari, tetapi diterima dan ditanggapi dengan kasih. Mereka jangan berharap juga setiap orang di dalam suatu jemaat selalu memiliki pendapat yang sama tentang segala hal. Justru melalui kekayaan perbedaan pendapat yang berkembang, mereka akan lebih memahami tentang hal yang diajarkan oleh Kitab Suci. Terima, dengarkan, dan hormati pendapat orang lain, itu yang penting. Kedewasaan iman membutuhkan proses yang panjang dan pembinaan. Perbedaan adalah wajar tetapi tidak perlu menjadi perdebatan panjang yang tidak akan membangun kesatuan jemaat, apalagi sampai membuat perpecahan dan pengelompokan. Perbedaan justru sebagai sumber pembelajaran dan kekayaan dalam hubungan di antara jemaat. Misalnya, apabila seseorang menganggap orang lain berdosa atas perilakunya; akan tetapi orang yang "dihakimi" mengatakan bahwa yang menghakimi adalah mereka berpikiran sempit dan tidak punya pengharapan. Dalam situasi tersebut, siapa yang benar? Tentu kita sadari, beberapa pokok permasalahan dapat berubah dan dilihat berbeda sesuai latar belakang budaya, pendidikan, dan kepercayaan masing-masing. Rasul Paulus menyampaikan tetap ada suatu kebenaran yang dapat diterapkan bagi siapa saja. Ia tidak berusaha hidup di dalam kehidupan intelektual yang terasing di dalam menara gading. Ia menerapkan teologi ke dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, melakukan sesuai dengan yang dikhotbahkannya. Satu kata dengan perbuatan.

 

 

 

Kedua: Semua yang dilakukan adalah untuk Tuhan (ayat 4-6)

 

Apa yang menjadi perdebatan umat Kristen saat ini sehingga orang percaya saling menghakimi? Apakah soal makanan? Soal cara beribadah dan bernyanyi? Soal perayaan natal yang megah atau paskah? Makan daging yang dicampur dengan darah? Soal tradisi budaya leluhur atau kain/barang tradisional yang dianggap sinkritisme? Minum anggur atau minuman beralkohol? Pertanyaannya: bagaimana sikap kita dengan mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Menurut Rasul Paulus, mereka yang lemah adalah orang yang baru di dalam iman dan sebagai orang percaya baru membutuhkan banyak aturan dan ketentuan. Rasul Paulus menasihatkan kepada mereka yang lemah dan juga yang kuat tentang perbedaan budaya dan kebiasaan, melihat soal makan atau tidak memakan makanan tertentu itu lebih kepada pilihan, bukan persoalan moral. Namun, pandangan dan sikap soal makanan bisa menjadi masalah moral ketika mereka menghakimi orang lain dengan tidak bijak dan benar. Demikian juga soal peringatan hari-hari penting, agar mereka tetap mendasarkan kepada penyembahan kepada Yesus Kristus, Tuhan kita semua.

 

 

 

Apa yang disebut dengan iman yang lemah? Rasul Paulus berbicara tentang iman yang belum dewasa bagaikan tubuh yang otot-ototnya belum dikembangkan dan siap menerima tekanan-tekanan dari luar. Misalnya, jika seseorang yang tadinya penyembah pagan dan menjadi Kristen, dia sangat mengerti dengan jelas bahwa Kristus telah menebus dan menyelamatkannya melalui iman dan allah pagan tidak memiliki kuasa itu. Begitu juga dengan latar belakang kehidupan pagan, dia mungkin akan merasa tergoncang berat jika dia tahu memakan makanan bekas atau sisa penyembahan berhala adalah sesuatu yang salah (band. 1Kor. 8:9-12; 9:22). Jika seseorang Yahudi yang terbiasa mengikuti aturan-aturan hari besar dan suci bagi agama Yahudi, seperti Sabat beristirahat harus di hari Sabtu (Kej. 2:2-3; Kel. 20:11; Yes. 58:13-14; band. Kis. 20:7; 1Kor. 16:2; Gal. 4:10), hari berpuasa, dan kemudian menjadi seorang Kristen, dia sangat tahu bahwa ia diselamatkan karena iman dan bukan karena ketaatannya pada aturan-aturan ritual hari raya tersebut. Demikian juga ketika hari raya lainnya tiba, dia dapat merasa hampa tidak berarti jika dia tidak melakukan sesuatu pada hari raya itu kepada Tuhan.

 

 

 

Hal yang perlu kita lihat, Rasul Paulus merespon kepada mereka yang imannya yang lemah dan kuat dengan penuh kasih. Kedua kelompok itu sebenarnya bertindak sesuai dengan kesadaran dan hati nuraninya, akan tetapi keberatan atau keragu-raguan mereka yang jujur tidak perlu dijadikan sebagai aturan baru di dalam jemaat. Kalau mereka yang ingin makan sesuatu yang menurut orang lain najis, maka tetap saja makan dengan cara yang tidak perlu "bangga" atau pamer apalagi harus berdebat dan berselisih. Lakukanlah semuanya dalam ucapan syukur (1Kor. 10:30, 31; 1Tim. 4:3, 4). Bagi mereka yang mengutamakan aturan, Rasul Paulus berkata: orang percaya yang imannya kuat sebaiknya menekankan untuk tidak membuat banyak aturan dan ketentuan (Kol. 2:16-23). Mungkin beberapa hal pokok penting bagi iman mereka perlu didiskusikan, akan tetapi akhirnya kebanyakan lebih kepada perbedaan pendapat pribadi dan hal itu tidak perlu dikukuhkan menjadi aturan baku jemaat. Prinsip orang percaya dalam bersekutu dan berjemaat haruslah: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dalam segala hal, kasih. Yang penting, mereka melakukan semuanya dengan keyakinan yang penuh, dan berpegang pada prinsip mereka berdiri karena Allah berkuasa atas diri mereka.

 

 

 

Ketiga: Hidup bukan untuk diri sendiri (ayat 7-9)

 

Siapa yang lemah dan siapa yang kuat? Kita umumnya lemah di satu bidang dan kuat di bidang lainnya. Iman kita dapat disebut kuat ketika kita hidup bersama-sama di sebuah kumpulan orang-orang berdosa dan kita tidak terpengaruh ikut ke dalamnya. Kita adalah orang yang lemah ketika kita menghindar dari sebuah kegiatan, tempat, atau pergaulan dengan orang lain demi untuk menjaga kehidupan rohani kita. Memang sangat penting mengenali setiap kelemahan dan kekuatan kita dalam karunia rohani. Bagi iman yang lemah, kita perlu hati-hati dan waspada dan jangan mencobai Allah. Apabila kita ragu, kita boleh bertanya: apakah saya cukup kuat melakukan hal itu tanpa nanti berdosa? Apakah saya mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk lebih baik, atau malah saya yang akan terpengaruh oleh mereka? Tapi apabila iman kita lemah dan kita "ingin menonjolkan diri", maka sebenarnya kita adalah orang yang benar-benar bodoh. Sebaliknya, bagi imannya yang kuat, kita tidak perlu takut akan rusak oleh dunia; dan kita lebih baik ikut bergabung melayani Tuhan. Justru apabila kita sebenarnya kuat namun kita menyembunyikan dan mengabaikannya, maka kita sebenarnya tidak melakukan yang diperintahkan Kristus dilakukan di dunia ini.

 

 

 

Kita hidup di dunia ini bukan sebagai kebetulan, apalagi mengganggap sebuah "kecelakaan". Allah melalui Yesus memiliki rencana bagi setiap individu di tengah-tengah seluruh ciptaan-Nya. Memang seringkali manusia mengabaikan hal itu sehingga melihat hidup itu hanya kebetulan, sambil lewat, "dijalani saja", tanpa berusaha untuk mencari dan memahami rencana terbaik Tuhan dalam dirinya. Setiap orang dalam dirinya ada potensi berkat yang bukan hanya untuk dia sendiri, tetapi juga untuk orang lain meski kadang dengan keterbatasan (band. Yoh. 9:3 dab tentang anak yang lahir buta). Apalagi bagi mereka yang sehat fisik dan jasmani terutama yang diberi karunia rohani khusus termasuk kecerdasan, maka hidupnya pasti penuh dengan potensi berkat yang siap dibagikan kepada orang lain, sesuai dengan rencana Tuhan. Kita sangat mudah memahami bahwa kita hidup bukan untuk diri sendiri saja. Segala "kelebihan" yang kita miliki pasti dipersiapkan dan diperuntukkan untuk menutup "kekurangan" orang lain (2Kor. 8:13-15). Sama halnya, kekurangan diri kita pasti bisa ditutup oleh kelebihan orang lain, sepanjang kita mengakui dan bersedia untuk kerjasama bersinergi.

 

 

 

Dengan demikian, kita dapat sebutkan bahwa penebusan dan penyelamatan ke dalam kerajaan-Nya adalah dalam rencana untuk kemuliaan Tuhan semata. Dengan ditebus dan diselamatkan maka sebenarnya kita sudah menjadi milik Tuhan sebagai Penebus. Kita ditebus dan dibebaskan dari budak dosa dan tuan kita yang lama yakni iblis dan kita masuk dalam kerajaan baru yang damai sejahtera dan penuh kemuliaan. Dengan ditebus maka kita juga diangkat menjadi anak-anak-Nya yang akan ikut mewarisi bagian dari Kerajaan Allah (Yoh. 1:12). Memang dalam hal ini, kita diuji, apakah kasih penyelamatan itu kita sia-siakan dan hidup kita kembali kepada kehidupan yang lama, atau siap dipakai memenuhi panggilan dan rencana Tuhan masuk ke dalam pelayanan? Ini bisa terbagi tiga denga gradasinya, sebagian orang mungkin akan kembali terjerat godaan Iblis, sebagian lagi tetap berusaha setia tetapi tidak terpanggil untuk masuk dalam pelayanan, dan sebagian tetap setia dan masuk dalam pelayanan. Semua itu kelak kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan setelah kita mati, sebab diri kita telah menjadi milik-Nya, maka hidup dan mati kita adalah menjadi milik-Nya.

 

 

 

Keempat: Janganlah menghakimi dan menghina saudaramu (ayat 10-12)

 

Firman Tuhan bertanya ke dalam lubuk hati kita terdalam: mengapa kita (perlu) menghakimi? Mengapa kita sampai menghina mereka yang imannya kita anggap lemah? Apa tujuan semua itu? Memang firman Tuhan memberi peluang "penghakiman" dalam gereja, akan tetapi mesti sesuai dengan prinsip Alkitab (Mat. 18:15-20). Tuhan Yesus mengatakan apabila seorang jemaat kita anggap melakukan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka ada tahapan-tahapan "penghakiman" yang dilakukan, yakni tahapan:

 

  1. Berbicara empat mata;
  2. Berbicara dengan membawa orang lain sebagai saksi;
  3. Membawa kepada sidang jemaat;
  4. Mengeluarkan dari keanggotaan dan dianggap tidak mengenal Allah di dalam Tuhan Yesus (sebaiknya melalui proses panjang didahului dengan mendoakan dan mengingatkan dampak bila tetap berbeda pendapat).

 

 

 

Dengan demikian motivasi dan tujuan kita melakukan penilaian dan memberi nasihat (istilah yang lunak dari penghakiman) adalah bertujuan baik untuk kebaikan orang tersebut, bukan untuk memperlihatkan kehebatan dan kelebihan kerohanian kita. Dalam hal ini tidak ada peluang sedikitpun dari Alkitab untuk kita boleh menghina dan merendahkan (Luk. 18:9).

 

 

 

Kita tidak perlu takut dan menghindar dari proses yang dinyatakan dalam Alkitab, apabila ada "tindakan" seseorang yang menjadi pergunjingan dan perdebatan. Kita juga tidak perlu tenggang rasa sebab itu adalah kasih yang berpura-pura dan malah menjerumuskan. Meski kita masuk dalam penilaian dan "penghakiman" gerejawi, kita bisa lolos dan beradu argumen dan keahlian, namun kita tetap akan menghadapi pengadilan Allah. Tak seorang pun akan bisa menghindar dari proses itu dan semua orang bertekuk lutut. Allah mencatat, mengingat, menimbang, memperhatikan, menetapkan dan memutuskan segalanya dengan adil dan benar. Tidak perlu ada saksi-saksi sebab Allah adalah Maha Kuasa. Allah tidak membutuhkan pandangan dan penilaian manusia yang subjektif serta sering terkotori oleh dosa. Setiap orang bertanggungjawab pada Kristus secara langsung, bukan kepada orang lain atau kepada gereja. Ketika kita berdiri di hadapan Yesus dalam pengadilan akhir zaman, kita juga tidak diperlukan mengurusi atau memberitahukan hal yang dilakukan oleh orang lain, semuanya hanya tentang diri kita sendiri (2Kor. 5:10).

 

 

 

Akan tetapi gereja tetap perlu bersikap tidak kompromistis terhadap kelakuan yang jelas-jelas dituliskan dalam Alkitab, seperti perzinahan, homoseksual, pembunuhan, pencurian dan lainnya; terhadap hal-hal yang tidak prinsip gereja tidak perlu membuat aturan atau ketentuan baru di dalam jemaat. Hal yang perlu dihindari dan diajarkan terus menerus yakni agar orang Kristen jangan melakukan penghakiman moral berdasarkan pendapat pribadi, suka atau tidak suka, standar budaya yang bias dan bukan berdasarkan firman Tuhan (Mat. 7:1). Mereka tidak perlu mencari kemenangan atas pendapat dan keunggulan rohani untuk dipuji dan bercongkak, sebab mengutamakan menang dan kalah dalam kehidupan jemaat tidak sesuai dengan sifat kasih. Ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka justru memperlihatkan iman yang lemah sebab tidak menyadari bahwa Allah berkuasa dan siap sedia membimbing semua anak-anak-Nya. Kita saling menerima apa adanya. Setiap orang perlu menjaga hubungan yang baik dan penuh kasih dengan tetap berprinsip hanya ada satu Hakim yang adil dan benar dan memberikan ganjaran yakni Tuhan Yesus Kristus. Dia-lah satu-satunya yang memiliki hak dan kewenangan menghakimi manusia.

 

 

 

Penutup

Dari bacaan dan uraian di atas kita mengetahui bahwa Allah memberikan dan membiarkan perbedaan dalam kehidupan orang percaya sebagai sumber kekayaan hikmat dari Allah. Kita yang merasa kuat dan berdiri teguh, harus dapat menerima perbedaan terhadap yang kita anggap lemah. Semua hal yang kita terima dan berikan dalam kehidupan ini, bagaimanapun juga, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan semata untuk kemuliaan-Nya. Kita ditebus dan diselamatkan dari kematian kekal oleh Tuhan Yesus, berarti kita telah menjadi milik-Nya. Kita hidup bagi Tuhan dan kita mati pun bagi Tuhan. Hidup dan mati kita dipersembahkan kepada Tuhan. Kita tidak dapat hidup untuk diri sendiri, sebab pemberian berkat dan karunia rohani dari Allah itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Oleh karenanya, jangan menghakimi apalagi menghina sesama saudara sebab kita juga akan dihakimi. Perintah nas ini adalah agar kita menerima perbedaan dengan prinsip dasar Kekristenan, yaitu dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dan dalam segala hal, kasih.

Selamat beribadah dan melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 24 September 2023

Kabar dari Bukit

 

 

PERTOLONGAN TUHAN (Kel. 14:15-31)

 

 

”Mengapakah engkau berseru-seru demikian kepada-Ku?” (Kel. 14:15)

 

 

 

Pertolongan Tuhan salah satu sisi penting dalam kehidupan orang percaya. Manusia sebagai umat-Nya, pasti tidak lepas dari masalah, yang kadang di luar kemampuannya. Ketidakpastian akan datangnya pertolongan, tentunya menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan. Dan Tuhan memahaminya. Untuk itu kedekatan hubungan dan doa adalah akar dan pondasi dari semua pengharapan yang ada.

 

 

 

Nabi Musa telah dipanggil untuk membawa keluar menyelamatkan umat Israel yang teraniaya di Mesir. Ia dibekali berbagai kuasa mukjizat untuk meyakinkan Firaun, bahwa hal itu adalah atas perintah Tuhan. Firaun setelah melihat kebesaran kuasa yang diimani Musa, akhirnya menyetujuinya. Namun tak lama kemudian menyesalinya, dan memerintahkan untuk menangkap kembali umat yang sedang lari keluar (ay. 6).

 

 

 

Kisah pengejaran dan pelepasan itulah yang menjadi nas bagi kita di hari minggu ini, dari firman Tuhan Kel. 14:15-31. Kita tahu Tuhan pasti memenuhi janji-Nya yang diberikan melalui Musa (3:8). Untuk itu dalam upaya lari keluar, mereka dilindungi dengan tiang api dan tiang awan (ay. 20). Tuhan kemudian menolong dengan membuat roda kereta para serdadu berjalan miring dan maju dengan berat (ay. 25).

 

 

 

Namun umat Israel tetap ketakutan sebab Laut Teberau ada di depan. Mereka bahkan mencerca Musa (ay.  11-12). Namun dengan pertolongan kuasa Tuhan, air laut menjadi terbelah; jalan terbuka. Tapi serdadu Firaun masih terus mengejar. Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Ulurkanlah tanganmu ke atas laut, supaya air berbalik meliputi orang Mesir, meliputi kereta mereka dan orang mereka yang berkuda." Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, maka menjelang pagi berbaliklah air laut ke tempatnya, sedang orang Mesir lari menuju air itu; demikianlah TUHAN mencampakkan orang Mesir ke tengah-tengah laut. ... seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka” (ay. 26-28).

 

 

 

Hal yang dapat kita pelajari dari nas minggu ini bahwa pertolongan Tuhan itu nyata, terbukti. Untuk itu jangan pernah ragu apalagi mempertanyakan kuasa dan penyertaan-Nya. "TUHAN Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita...." (Zef. 3:17).

 

 

 

Kini apa permasalahan dan pergumulan kita? Apa pengharapan kita dalam hidup ini? Apakah kita merasa ditinggalkan atau putus asa sebab doa belum dikabulkan? Tuhan pasti memiliki rencana dan waktu tersendiri. Bagian kita adalah tetap beriman dan mengandalkan Dia dalam semua sisi kehidupan kita. Janji-Nya kita pegang, "Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu.... Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau" (Yes. 41:13).

 

 

 

Oleh karena itu bagi kita yang berpengharapan memerlukan pertolongan Tuhan, jangan juga hanya berdoa dan berhenti, tetapi segera bertindak sebagaimana perintah-Nya kepada Musa. "Mengapakah engkau berseru-seru demikian kepada-Ku? (ay. 15). Mari menuliskan masalah yang ada dan lihat bagian yang dapat kita lakukan dalam mendukung iman dengan upaya. Kita buka pintu untuk kuasa dan kebesaran-Nya bekerja.

 

 

 

Ya, kadang perjalanan hidup begitu sulit dan terasa lambat. Ini seperti Firaun yang menghalangi dengan mengeraskan hatinya sehingga ada saja cara yang diperbuatnya. Sebagaimana firman Tuhan kepada umat Israel yang dalam pelarian, demikian juga kepada kita: "Aku akan menyatakan kemuliaan-Ku" (ay. 17-18). Tuhan selalu hadir dan menyertai setiap langkah yang kita lakukan. Tetaplah setia, menanti, berbuat, dan percaya Tuhan akan bertindak. Tuhan memang kadang menguji kita, namun semua pasti indah pada waktunya.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah 2 Minggu Keenambelas setelah Pentakosta - 17 September 2023

Khotbah 2 Minggu XVI setelah Pentakosta - 17 September 2023

 

 MENGAMPUNI 70X7 (Mat. 18:21-35)

 

 "Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu" (Mat. 18:35).

 

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita dari Mat. 18:21-35, berbicara tentang pengampunan. Kisahnya tentang pertanyaan Rasul Petrus, “berapa kali harus mengampuni saudara” (yang berbuat dosa)? Yesus menjawab dengan perumpamaan tentang raja yang membuat perhitungan kepada hamba-hambanya. Ternyata ada hamba yang berhutang 10.000 talenta. Atas permohonannya, raja berbelas kasihan dan mengampuninya, tidak tega sampai hamba itu harus menjual anak istrinya untuk pelunasan.

 

 

 

Tetapi ketika hamba itu mendapati ada orang lain yang berhutang 100 dinar kepadanya dan belum bisa membayar, ia justru mencekik orang itu dan memasukkannya ke penjara. Maka marahlah raja tadi yang sudah mengampuni. Ia memanggil hamba tersebut untuk diserahkan kepada algojo-algojo dipukuli sampai ia melunasinya.

 

 

 

Ada tiga pesan dalam nas ini bagi kita. Pertama, para Rabi Yahudi sesuai kitab Perjanjian Lama mengajarkan pengampunan hanya diberikan tiga kali. “Karena tiga perbuatan jahat Damsyik, bahkan empat... (Amos 1:3, 6, 9 dst; Ayb. 33:29-30). Artinya jika orang lain berdosa, sampai tiga kali boleh diampuni, tetapi keempatnya jangan dibiarkan saja. Tetapi Yesus Kristus berkata kepada kita, orang Kristen mengampuni hingga tujuh puluh kali tujuh kali. Itu identik dengan tidak terbatas! Kesabaran yang panjang, tidak ada ujungnya. Dan, itulah (istimewanya) Kekristenan!!!

 

 

 

Hal kedua, to forgive (mengampuni) itu bisalah, tetapi bagaimana dengan to forget (melupakan)? Ya, memang, susah melupakan. Tim Lahaye dalam bukunya Anger is a Choice jelas-jelas mengatakan, “adalah kebohongan bila seseorang mudah melupakan rasa sakit yang dialaminya atas perbuatan orang lain.” Tetapi ia kemudian menjelaskan berdasarkan Yer. 31:34, mengampuni dan melupakan bukan berarti hilang dari ingatan Tuhan. Pesan pentingnya, agar kita tidak melakukan pembalasan atas perbuatan jahat orang lain. Jika kita melakukannya, maka kita sebenarnya jauh lebih jahat! “Pembalasan itu adalah hak-Ku,” kata firman Tuhan (Rm. 12:19).

 

 

 

Tim Lahaye kemudian mengatakan, itulah pengorbanan Kristiani, harga yang harus ditebus oleh orang percaya. Kita harus mampu mengendalikan pikiran (sisi otak), kemauan (sisi tindakan) dan emosi (sisi perasaaan). Jelas, sebuah perjuangan yang tidak mudah. Perumpamaan yang diberikan Tuhan Yesus sangat kontras, yakni pengampunan hutang 1.000 talenta kepada raja berbanding 100 dinar, atau 1:500.000 menurut William Barclay. Ini sama dengan pengampunan yang diberikan kepada kita atas bebas dari hukuman di neraka dan memperoleh keselamatan kekal, dibanding dengan rasa puas membalaskan kejahatan orang lain kepada kita. Tidak seimbang.

 

 

 

Hal ketiga, kita perlu memahami perbedaan antara hukum gereja dan hukum negara. Masalah pencurian berat, penganiayaan, perceraian, dan lainnya memiliki sisi dan wilayah masing-masing. Ini perlu berhikmat membedakannya, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hak kaisar dan hak Tuhan jelas berbeda (Kis. 25:8; band. Mat. 22:21). Pembelajaran untuk keadilan dan ketertiban kadang diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sama seperti adanya disiplin gereja, yang penting tujuannya adalah pertobatan dan menjaga "kekudusan jemaat", dengan tetap semangat megampuni; bukan untuk menjatuhkan, atau senang melihat orang lain susah.

 

 

 

Tentu kisah ini juga mengajarkan sisi lain, agar kita jangan ceroboh berulang kali memberi peluang orang lain berbuat kesalahan dan berdosa. “Berbahagialah orang yang murah hatinya”, kata Yesus (Mat. 5:7). Itu betul. Tetapi pepatah juga mengatakan, “hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama.” Jadi jangan lalai. Tetapi jika itu terjadi, tetaplah mengampuni. Seperti kata William Arthur Ward, kita akan sama seperti binatang ketika menyakiti atau membunuh, kita sama seperti manusia lainnya ketika menghakimi, tetapi kita akan sama seperti Tuhan ketika mengampuni. Semoga Roh Kudus terus menguasai hati dan pikiran kita untuk mudah mengampuni dalam kasih.

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 28 guests and no members online

Login Form