Sunday, May 19, 2024

KABAR DARI BUKIT (Edisi 27 Oktober 2019)

KABAR DARI BUKIT (Edisi 27 Oktober 2019)

 

Akhir Pertandingan

 

“To God be glory forever and ever. Amen!” (4:18b)

 

Firman Tuhan hari Minggu ini 2Tim 4:6-8; 16-18 berbicara tentang hidup ini bagaikan sebuah pertandingan. Ketika mulai menjadi dewasa dengan pengakuan iman, kita sebenarnya telah masuk ke dalam arena pertandingan, bagian perjalanan kehidupan, hingga tiba saatnya semua usai yakni kita dipanggil pulang menghadapNya, mempertanggungjawabkan "permainan" yang kita pertunjukkan.

 

Jelas tidak masuk akal bila kita ada di dunia ini hanyalah sebuah kebetulan atau proses alamiah semata. Manusia memiliki jiwa dan kekuatan akal untuk merencanakan dan memilih yang terbaik, yang mampu dikembangkannya sendiri atau bersama. Firman Tuhan memberi mandat budaya kepada manusia untuk meneruskan masa depan ciptaan Allah dan mengelolanya dengan berkhikmat (Kej 1:28). Oleh karena itu setiap orang wajib mengambil bagian di dalamnya dan merumuskan tujuan hidupnya.

 

Merujuk kepada ayat 1-5 sebelumnya, sangat jelas bahwa kita ada dan hadir di dunia ini mengemban misi Allah. Misi tersebut tidak terlepas pada rencana Allah menciptakan bumi dan segala isinya yakni agar ciptaanNya itu tetap sempurna dan semua baik (Kej 1:31). Allah menciptakan Taman Eden bagi Adam dan Hawa untuk hidup tenteram sejahtera seturut rencanaNya. Kehadiran iblis dalam seekor ular membuyarkan rencana tersebut sehingga rencana lain dijalankan dan manusia perlu bersusah payah serta harus menderita dalam menjalani kehidupan di bumi ini (Kej 3:16-19). Tetapi maksud Allah tetap, yakni menghadirkan kerajaan sorga di bumi ini dengan seluruh mosaik keindahannya.

 

Hidup adalah pertandingan dan yang ingin dicapai adalah kemenangan. Kemenangan tidak selalu harus dengan menyakiti. "Lawan" bisa berupa diri sendiri seperti disiplin dalam sebuah permainan golf. Diri sendiri juga perlu dikalahkan yang berbentuk ego, ambisi, keinginan daging dan tawaran keduniaan atau kesombongan meninggikan diri. Lawan dapat berupa pihak lain dengan berbagai siasat dan kekuatan. Iblis adalah komandan semuanya. Tetapi bagi seorang pemenang, yang dasarnya kuat dalam iman, ia tentu dapat mengendalikan semua itu, tetap bertumbuh secara rohani. Tujuan akhirnya yakni menjadi pemenang, penerima mahkota kebenaran (ayat 8).

 

Masalah selalu ada. Lawan bisa saja lebih kuat untuk sesaat. Kita kadang ditinggalkan kawan dan merasa sendiri, nelongso (ayat 18). Tetapi seperti Rasul Paulus tekankan dalam akhir pasal nas ini, tidak usah terlalu dikuatirkan. Allah selalu setia mendampingi dan menguatkan (ayat 17). Fokuslah dalam panggilan sorgawi yakni menjadikan hidup ini adalah persembahan dan kesaksian, berbuah dan tetap teguh. Kematian sebagai akhir pertandingan bagi orang percaya, menjadi sebuah kelepasan dari tugas-tugas di dunia dan masuk ke dalam kehidupan sukacita abadi yang indah, yakni Kerajaan-Nya di sorga yang baka. Kini pertanyaannya: sudahkah aku ikut ambil bagian dalam pertandingan itu? Sesal di akhir jelas tidak berguna. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati, amin.

 

(Pdt. Em. Ramles M Silalahi)

 

Khotbah lainnya bagian leksionari hari Minggu ini Barangsiapa Meninggikan Diri, Ia Akan Direndahkan (Luk 18:9-14) silahkan mengklik web www.kabardaribukit.org.

Khotbah Minggu 27 Oktober 2019 - Minggu XX Setelah Pentakosta

Khotbah Minggu 27 Oktober 2019 - Minggu XX Setelah Pentakosta

 

BARANGSIAPA MENINGGIKAN DIRI, IA AKAN DIRENDAHKAN

(Luk 18:9-14)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yo 2:23-32 atau Yer 14:7-10, 19-22; Mzm 65 atau Mzm 84:1-7; 2Tim 4:6-8, 16-18

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

 

Pendahuluan

 

Minggu ini kita diberikan pengajaran tentang bagaimana sikap kita ketika datang menghadap Allah untuk berdoa. Hakekat berdoa tentulah pengakuan campur tangan dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari, dan sikap itu mencerminkan permohonan belas kasihan akan pembenaran Allah tentang apa yang kita lakukan dan kita minta. Melalui perbandingan dua orang yakni seorang Farisi sebagai tokoh agama orang Yahudi yang berdoa dengan cara yang menurutnya benar, dengan sikap berdoa seorang pemungut cukai yang sudah dicap sebagai pendosa. Tuhan Yesus kemudian membandingkan sikap berdoa kedua orang ini. Melalui perbandingan dalam nats ini, kita diberikan pengajaran berdoa oleh Tuhan Yesus sebagaimana diutarakan berikut.

 

Pertama: perbuatan kebaikan dalam hidup (ayat 9-10)

 

Kalau sebelumnya Tuhan Yesus mengkontraskan seorang janda dengan hakim dalam perumpamaan-Nya, maka kali ini Ia juga mengkontraskan antara seorang Farisi dengan pemungut cukai. Ia memakai pribadi kontras ini untuk membandingkan bagaimana sikap berdoa di hadapan Allah. Pengertian berdoa yang dimaksudkan adalah dalam hal kita berkomunikasi dengan Allah, memanjatkan syukur dan pujian, memohon pengampunan atas dosa dan kesalahan, "melaporkan kegiatan kehidupan kita", memohon pertolongan atas pergumulan kita, dan menaikkan permohonan akan kebutuhan dan pengharapan kita di dunia ini dan di kehidupan nanti. Dengan demikian maka hakekat doa bagi kita orang percaya adalah wujud ekspresi sikap dan keyakinan akan ketergantungan kita kepada Allah.

 

Doa adalah sebuah tahapan awal ketika kita memulai sesuatu. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan hanya dengan berdoa. Oleh karena itu ada slogan atau pameo: Ora et Labora, berdoa dan bekerja. Maka di dalam perbuatan atau bekerja inilah diperlihatkan kesejatian dari keyakinan kita akan rasa syukur dan pengharapan kepada Allah. Manusia diciptakan tidak hanya bisa meminta dan meminta. Manusia diperlengkapi untuk memberi dan memberi dan kita ingat pesan Tuhan yang indah bahwa adalah lebih berbahagia mereka yang memberi dari pada menerima (Kis 20:35). Maka melalui sikap, pemberian dan perbuatan, maka semua itu akan membuktikan apa yang kita yakini dan ucapkan, tidak hanya OMDO (omong doang).

 

Allah memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan baik, bukan saja dalam ketaatan kepada aturan-aturan akan tetapi juga dalam pemberian dan pengorbanan yang kita berikan kepada orang lain. Ketaatan pada aturan tentu saja meliputi dua aspek utama yakni tidak melanggar larangan dan melakukan perintah-Nya. Maka apabila semua itu dapat terjadi, kita akan bersyukur dan bersuka cita karena Allah memampukan kita melakukannya. Kita tidak dapat berbangga apalagi menyombongkan hal yang kita lakukan itu, sebab itu sudah menjadi kewajiban dasar dan tidak ada istimewanya. Apalagi, kemanusiaan kita membuat apa yang kita lakukan itu sebenarnya belum tentu maksimal atau terbaik. Hal inilah yang digambarkan dalam nats yang kita baca, bagaimana kita melihat apa yang sudah kita lakukan itu sesuai dengan sikap dan keyakinan kita akan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Kedua: memuji diri (ayat 11-12)

 

Orang Farisi yang digambarkan dalam bacaan kita ini sedang berdoa kepada Tuhan. Ada beberapa aspek yang perlu kita lihat dalam hal ini, yakni sikap dalam berdoa dan apa yang disampaikan dalam doa tersebut. Hal yang pertama kita lihat adalah, orang Farisi ini sudah menempatkan dirinya “lebih” baik dan lebih tinggi dari pada orang lain. Ia dengan bangga tegak berdiri dengan pengharapan akan dilihat orang. Ini adalah pemujaan terhadap diri sendiri. Tuhan Yesus berkata janganlah berdoa di pinggir jalan tetapi apabila kamu berdoa masuklah ke dalam kamar (mat 6:6). Memang berdoa berdiri tidak dilarang dalam Alkitab (band. Mat 6:5) akan tetapi sikap yang lebih baik adalah kita tunduk dan sudjud menempatkan diri secara rendah di hadapan Tuhan.

 

Hal kedua yakni apa yang disampaikan dalam doanya itu menganggap dirinya benar dan membanggakan diri kepada Allah. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai itu. Alangkah piciknya orang seperti itu apalagi membandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya. Meski doanya diucapkan dalam hati, akan tetapi itu sudah merupakan sikap hatinya terhadap Allah dan orang-orang yang disekelilingnya. Siapakah kita ini yang bisa berbangga diri? Siapakah kita ini yang bisa menyombongkan diri? bukankah seperti yang disampaikan di atas tadi, kita pasti belum maksimal memberikan bagi Tuhan, oleh karena itu mohonkanlah pengampunan bukan kesombongan. 

 

Hal ketiga yakni ia membanggakan apa yang sudah dilakukannya yakni dengan berpuasa dua kali seminggu, memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya Padahal kita tahu bahwa kebiasaan orang Farisi berpuasa adalah dengan memperlihatkan diri sedang berpuasa untuk mendapatkan pujian, sehingga Tuhan Yesus berkata agar apabila berpuasa maka minyakilah rambutmu, sehingga orang lain tidak mengetahui kita sedang berpuasa (Mat 6:17-18). Demikian juga dengan menyombongkan pemberian persepuluhan, kita tahu orang Farisi memeras penduduk dengan mengambil persepuluhan dari semua yang orang miskin miliki termasuk adas dan jinten yang merupakan tanaman obat saja (Mat 23:23). Itu sungguh perbuatan tercela dan tidak layak untuk dibanggakan pada Allah.

 

Ketiga: kerendahan hati (ayat 13)

 

Sebaliknya yang dilakukan oleh pemungut cukai yang juga berdoa di tempat itu. Pemungut cukai adalah lambang orang (paling) berdosa dalam Alkitab, karena mereka ini dianggap mengambil hak orang lain dengan cara paksa yang membuat banyak orang lain menderita. Memang ada beberapa jenis kaum pendosa, yakni mereka yang dengan bangga menyombongkan buah dosanya (seperti kekayaan hasil korupsi) bahkan perbuatan dosanya itu (mempunyai istri lebih dari satu). Demikian juga pendosa ada yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya sungguh tidak berkenan kepada Tuhan, tetapi mereka tidak atau belum mampu untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman dosa itu.

 

Untuk mereka yang pertama, apabila tidak ada pertobatan, maka akhir hidup mereka akan berada di penghakiman. Sementara mereka yang sadar berdosa dan masih berusaha berkutat dalam pergumulan untuk keluar dari jerat itu, Allah kita yang Mahabaik itu akan mendengar keluhan kita. Mereka yang secara jujur datang kepada Tuhan dengan rasa takut dan hormat, serta di dalam pengharapan belas kasihan dari Yesus, maka Tuhan kita itu akan mempertimbangkan dengan adil dan penuh hikmat. Hal itulah yang disadari dan dilakukan oleh pemungut cukai itu. Ia menyadari keberdosaannya dan menyadari ketidakmampuannya lepas dari jerat dosa itu. Ia datang memohon kepada Yesus dengan rasa takut dan hormat serta penuh pengharapan.

 

Pemungut cukai itu memukul-mukul dadanya sebagai ekpresi penyesalan yang dalam (band. Yes 66:2; Yer 31:19). Sikap seperti itu hanya dapat terjadi apabila kita dalam kerendahan hati. Ia tidak menyukai apa yang dilakukannya. Ia menangis dan meratapi perbuatannya yang hina dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Meski ia datang membawa persembahan (dari kata mendamaikan" Yun: hidasthēti yakni mempersembahkan kurban, band. Ibr 2:17), namun ia tidak berani menengadah ke atas ke arah langit dalam pengertian ia merasa malu dan menyesali apa yang sudah dilakukannya. Itu adalah sikap pertobatan sejati, menyesali apa yang sudah terjadi dan memohon pengampunan dan pertolongan Tuhan agar diberikan pengasihan. Sikap sadar bahwa yang kita lakukan adalah salah atau kurang sempurna, atau belum melakukan yang optimal sesuai dengan kehendak Yesus, maka selayaknya kita datang dengan merendahkan diri.

 

 

Keempat: meninggikan diri dan direndahkan (ayat 14)

 

Ketika kita datang kepada Tuhan, kita tidak boleh merasa diri kita benar. Sikap membenarkan dan membesarkan diri sendiri sangat berbahaya dalam ekspresi kita menghadap Allah, dan membuat bahwa apa yang kita lakukan menjadikan seolah-olah semua itu adalah usaha kita sendiri dan prestasi kita. Jangan seperti orang Farisi seolah-oleh menyiratkan sedikit pun ia tidak membutuhkan pengasihan. Sebaliknya kita diajarkan bahwa datang kepada Tuhan haruslah merasa belum memberikan yang terbaik kepada Tuhan dan tidak layak menghadap Allah. Itu bukan berarti bahwa Tuhan menuntut dan menuntut yang lebih besar dan lebih banyak, melainkan bahwa kita yang sadar bahwa yang kita berikan melalui hati, pikiran, perasaan dan perbuatan belumlah sebanding dengan berkat dan penebusan keselamatan yang diberikan kepada kita.

 

Kita tetap memerlukan belas kasihan dan karunia dari Allah. Kita harus meneladani apa yang dilakukan Tuhan Yesus yakni dengan turun dari takhta sorga dan menjadi hamba yang sengsara dan mati di kayu salib, serta merendahkan diri dan taat setia sampai mati (Flp 2:7-8). Itu adalah benchmark atau patokan kita sehingga apa yang kita lakukan belumlah sebanding dengan apa yang Dia lakukan bagi kita. Merendahkan hati dan diri ketika datang ke hadirat-Nya merupakan ekspresi penyembahan yang sejati dan bukan pertobatan yang palsu atau penyembahan dan peninggian diri sendiri. Sikap kita haruslah seperti anak kecil yang tulus dan meminta dengan ekspresi ketergantungan total akan belas kasihan-Nya. Sikap bagaikan anak kecil ini membuat kita akan lebih mudah dibenarkan oleh Allah.

 

Ketika kita berdoa maka tujuan kita adalah dibenarkan oleh Allah sebelum Ia mengabulkan doa kita. Faktor pembenaran ini sangat penting sebab apa yang menjadi pergumulan dan pengharapan kita di dalam doa, itu terlebih dahulu dibenarkan oleh Allah yang kita butuhkan. Akan tetapi ketika kita sudah merasa benar dan apalagi hebat, maka dalam menghadapi seperti itu, sikap merendahkan orang lain dan meninggikan diri diri sendiri jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan bagi Allah. Alkitab mengajarkan justru kita harus meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri (band. 2Kor 11:7; Flp 2:3). Tuhan Yesus dengan tegas memberi pengajaran sebagaimana pada ayat terakhir, bahwa barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (band. Mat 23:12; Yak 4:10).

 

Kesimpulan

 

Adalah merupakan kewajiban kita untuk melaksanakan perintah Tuhan Yesus dalam hidup kita sehari-hari, baik itu dalam perintah larangan maupun perintah ketaatan dalam melakukan perbuatan baik dan berkenan kepada-Nya. Demikian juga kita wajib “melaporkan” segala sikap dan perbuatan kita kepada-Nya melalui doa. Akan tetapi doa bukanlah hal sepele yang hanya berupa laporan saja terlebih membanggakan apa yang sudah kita perbuat. Berdoa untuk datang kehadapan-Nya haruslah dengan sikap rasa penyesalan, yang didasarkan pada kerendahan hati dan pertobatan bahwa kita masih terjerat belenggu dosa dan yang kita perbuat belumlah yang terbaik sesuai dengan apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita.

 

Oleh karena itu, janganlah kita meninggikan diri di hadapan-Nya melainkan tetap dalam kerendahan hati. Sebab seperti kata firman-Nya, siapa yang meninggikan diri pasti akan direndahkan. Tuhan Yesus memberkati.

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 26 guests and no members online

Login Form