Sunday, May 19, 2024

Khotbah Minggu 28 September 2014

Khotbah Minggu 28 September 2014

 

Minggu XVI Setelah Pentakosta

 

MENGANGGAP YANG LAIN LEBIH UTAMA

(Flp 2:1-13)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 17:1-7; atau Yeh 18:1-4, 25-32; Mzm 78:1-4, 12-16 atau Mzm 25:1-9; Mat 21:23-32

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Flp 2:1-13 selengkapnya dengan judul: Bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus

 

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, 2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, 2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; 2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. 2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! 2:12 Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, 2:13 karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.

 

-----------------------------------

 

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari prinsip umum yang mudah diterima bahwa berkawan lebih baik daripada bermusuhan, dan bersama-sama lebih baik daripada sendiri. Keakraban dan kesatuan yang didasarkan latar belakang dan tujuan yang sama, minat yang sama, seharusnya membuat hidup lebih indah dan setiap rintangan dan tantangan menjadi lebih mudah dilampaui. Akan tetapi hal yang seharusnya mudah itu sering menjadi sulit, ternyata banyak orang (termasuk orang percaya) lebih memilih bermusuhan atau memilih terasing dari persekutuan atau kelompok. Tidak dapat disangkal bahwa kecendrungan manusia untuk menonjolkan diri dan mengharapkan pujian, merupakan dorongan kodrati yang melekat dengan ego masing-masing. Pendorong semua itu adalah egoisme dan tidak adanya keinginan merendahkan diri dengan menerima orang atau pandangan lain yang berbeda. Melalui nas bacaan kita minggu ini, firman Tuhan melalui Rasul Paulus menekankan lahirnya sukacita karena melihat saudara seiman hidup dalam kesatuan, kesehatian, sepikir dan satu kasih. Inilah yang dicoba disampaikan Rasul Paulus sebagai pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan (ayat 1-4)

Pada awal suratnya di pasal 1 Rasul Paulus menjelaskan dengan lengkap perihal pentingnya ungkapan dan sikap rasa syukur, doa, pengorbanan dan perjuangan di dalam menjalani kehidupan ini. Tujuan semua itu dikatakannya, "sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus" (Flp 1:10). Filipi adalah kota kosmopolitan. Komposisi anggota jemaat menunjukkan keragaman yang tinggi dengan latar belakang yang berbeda dan juga bidang pekerjaannya. Kis 16 menggambarkan wajah keragaman yang membuat jemaat ini unik di masa itu, yakni di antara jemaat ada Lydia orang Yahudi pengusaha kaya dari Asia (Kis 16:14); seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung, mungkin orang pribumi Yunani (Kis 16:16-17); seorang sipir penjara yang melayani kekaisaran Romawi dan mungkin orang Roma (Kis 16:25-36). Dengan begitu ragamnya latar belakang anggota jemaat tersebut maka potensi perbedaan tinggi, dan mempertahankan kesatuan kadang lebih sulit. Egoisme dan mementingkan diri sendiri kerap yang menjadi sumber pertikaian, terlebih kita tidak mudah mengabaikan jahatnya si Iblis yang membuat perpecahan gampang terjadi.

 

Hal itu mudah sekali tampak. Banyak orang - termasuk orang Kristen, berusaha membuat hidupnya tampil berkesan baik bahkan hebat di mata orang lain, yang tujuannya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari hal sederhana yakni saat ini sedang berkembang yakni kebiasaan selfie (memfoto diri sendiri), bahkan sudah tersedia alat khusus yang intinya bertujuan “menyenangkan dan memuji diri sendiri” tersebut.  Foto-foto ini kemudian diunduh di Facebook atau sebagai profile picture di HP. Semua itu wajar sepanjang tidak berlebihan dan malah menjadi “kerjaan” rutin yang sia-sia. Sikap seperti ini yang disebut narsis tentu mengurangi perhatian bagi orang lain. Oleh karena itu Rasul Paulus menekankan pentingnya kekuatan rohani, meminta jemaat Filipi untuk memberi perhatian dan mengasihi satu sama lain dan menjadi satu dalam Roh. Ia juga meminta agar jemaat sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Ambisi yang egoistis atau kesombongan yang sia-sia tidak akan membuahkan apa-apa dan sangat mudah mengakibatkan perselisihan dan pertentangan. Padahal, ketika kita bekerjasama, sebenarnya kita peduli terhadap persoalan orang lain dan membuat persoalan orang lain menjadi persoalan kita bersama. Oleh karenanya janganlah kita melulu terlalu pusing mengurusi soal kesan baik dan dipuji untuk kemegahan sendiri dan mengabaikan kasih di antara keluarga jemaat Allah (Rm 12:10).

 

Ambisi yang egoistis tidak dikenal dalam kehidupan Kristiani. Egoisme dapat merusak tetapi kerendahan hati yang tulus akan membangun jemaat. Memberi waktu dan perhatian kepada orang lain jelas panggilan utama bagi pengikut Kristus. Setiap orang harus siap berkorban dalam satu Roh untuk bersekutu dan saling mendukung. Alkitab berkata rendah hati mengekresikan prespektif yang benar akan diri kita (Rm 12:3). Rendah hati bukan berarti menempatkan diri kita di bawah dan bukan pula memberi hormat berlebihan kepada orang lain. Kita menempatkan ke belakang kepentingan diri sendiri dan memperlakukan orang lain penuh hormat dengan sopan santun yang lazim. Menganggap kepentingan orang lain lebih utama dari pada diri kita menghubungkan kita dengan Kristus yang telah memberi keteladanan dalam kerendahan hati. Di hadapan Tuhan, kita adalah orang-orang berdosa, diselamatkan oleh anugerah-Nya, yang berarti kita diselamatkan karena kita berharga di dalam Kerajaan Allah. Rasul Paulus mendorong kita semua agar melawan egoisme, prasangka, cemburu yang membawa perselisihan dan perpecahan (Rm 15:5). Memperlihatkan kepentingan orang lain yang tulus adalah langkah positip dalam menjaga kesatuan di antara jemaat. Sikap menganggap yang lain lebih utama menyatukan dan bukan kepentingan sendiri atau puji-pujian bagi diri sendiri yang sia-sia (Gal 5:26). Roh Allah mampu bekerja bagi siapa saja yang bersedia memberikan dirinya sebagai agen pembawa damai sejahtera (Mat 5:9; 2Ko 13:13-dab; Kol 3:12).

 

Kedua: Mengosongkan diri untuk merendahkan diri (ayat 5-8)

Yesus Kristus adalah Pribadi yang rendah hati, bersedia mengorbankan diri-Nya demi untuk mematuhi keinginan Allah Bapa dan melayani manusia (Yoh 17:4). Ia miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor 8:9). Inkarnasi adalah tindakan pre-eksistensi Anak Allah yakni Yesus yang rela menjadi manusia dan memiliki sifat-sifat manusia. Ia telah ada sejak awal (Yoh 1:1; 8:58; Kol 1:15-17). Dia tidak meninggalkan ke-Allahan-Nya dengan menjadi manusia tetapi menyampingkan hak-Nya yang penuh kuasa dan dimuliakan (Ibr 5:8). Untuk menggenapkan tujuan sesuai rencana-Nya, kesetaraan dengan Allah itu tidak dianggap sebagai harga yang harus dipertahankan (dalam ayat 6 dan 7 nas ini dipakai kata morphe untuk menjelaskan rupa yang menunjukkan suatu ungkapan permanen tentang sifat-sifat hakiki, sedangkan dalam ayat 8 dipakai kata schema yang lebih mengacu pada penampilan lahiriah yang bisa berubah-ubah). Hal yang membuat kemanusiaan-Nya unik adalah Ia bebas dari dosa. Di dalam kesejatian-Nya sebagai manusia, Yesus memperlihatkan kepada kita tentang karakter Allah yang dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia (untuk memahami inkarnasi lebih lanjut dapat membaca Yoh 1:1-14; Rm 1:2-5; 2Kor 8:9; 1Tim 3:16; Ibr 2:14; 1Yoh 1:1-3). Yesus sebagai Anak Allah mengosongkan diri-Nya. Mengosongkan diri berarti membuat diri sendiri tidak sama sebagaimana adanya, seperti kita berbicara kepada anak kecil maka untuk lebih efektipnya komunikasi, kita juga harus bersikap seperti anak kecil meski hal itu tidak menghilangkan diri kita sebagai orang dewasa. Dengan pengosongan diri-Nya itulah pengorbanan diberikan dan itu yang membuat terwujudnya keselamatan bagi kita semua orang percaya. Sikap pengosongan diri itu pula yang diminta dari kita untuk lebih mampu mewujudkan kasih kepada orang lain.

 

Pengosongan diri Yesus menghilangkan hak dan keistimewaan juga kerelaan menerima penderitaan, penganiayaan dan kematian yang terkutuk di salib. Mati di kayu salib adalah bentuk hukuman yang dilakukan oleh pemerintahan Romawi bagi penjahat berat. Penyaliban itu sungguh luar biasa menyakitkan dan merendahkan martabat. Seorang tahanan yang dipaku dan diikat di kayu salib biasanya dibiarkan sampai mati. Kadang kala kematian tidak datang cepat, perlu beberapa hari, dan kematian datang ketika berat tubuh yang melemah membuat semakin sulit untuk bernafas. Yesus menerima mati seperti itu sebagai lambing kutukan (Gal 3:13). Sungguh mengherankan yakni manusia yang sempurna harus mati dengan cara yang memalukan agar kita tidak menghadapi penghukuman yang kekal. Yesus dari Nazaret telah menempatkan diri-Nya sesuai dengan tempat, waktu, dan keterbatasan manusiawi lainnya. Sikap kerendahan hati Yesus ini berarti mengabaikan diri sendiri dan membuatnya tidak berarti dan di luar dirinya adalah lebih penting dan utama serta rela untuk berkorban. Kepentingan diri sendiri merupakan hal terakhir. Keteladanan kerendahan hati Yesus ini memberi pelajaran penting bagi kita, sekaligus memberi peringatan bahwa kita adalah manusia berdosa dan tidak layak untuk berbangga, menyadari kelemahan diri, serta selalu berpegang pada Tuhan (Mat 11:29; Luk 18:9-14; Yak 4:6).

 

Memang, acapkali manusia berusaha membenarkan atau memberi pemaafan atas sikap buruk yang dimilikinya, seperti egoisme, kebanggaan, atau kejahatan lainnya, atau dengan mengklaim itu adalah haknya. Mereka berpikir, "Saya bolehlah berbuat curang dalam ujian ini; setelah itu saya kan tidak di kelas ini lagi"; atau, "Saya boleh dong membelanjakan semua uang saya - sebab saya kan sudah bekerja keras untuk itu"; atau, "Saya boleh melakukan aborsi, saya kan berhak mengatur tubuh saya sendiri." Akan tetapi sebagai orang percaya kita harus memiliki perilaku yang berbeda, yang mampu mengenyampingkan kepentingan kita sendiri untuk melayani dan memberi contoh bagi yang lain. Jika kita mengatakan mengikut Kristus, kita juga harus mengatakan kita hidup sama seperti Dia. Pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus ada dalam diri kita. Kita perlu ingat, kitalah yang memilih perilaku kita sendiri. Semua dapat dilihat, dicermati, dievaluasi dan bahkan dirubah. Pilihannya, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan berharap terus dilayani, atau kita mencari kesempatan untuk melayani orang lain. Inilah yang ditegaskan-Nya dengan berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28; Mrk 10:45). Apakah kita bersikap egois dengan terus melekatkan hak-hak kita, atau kita ingin melayani orang lain? Apakah kita mencari puji-pujian yang sia-sia dan melupakan kepentingan orang lain dan terus mengurusi kepentingan diri sendiri. Inilah yang diminta dari kita.

 

Ketiga: Segala yang ada bertekuk lutut dalam nama Yesus (ayat  9-11)

Bagian nas minggu ini kemungkinan berasal dari lagu-lagu pujian di masa awal gereja. Pesannya memiliki hal yang paralel dengan nubuatan dan penderitaan hamba dalam Yes 53. Sebagai lagu pujian, maka pernyataan itu tidak harus berarti menjadi yang lengkap tentang sifat dan pekerjaan Kristus. Beberapa karakteristik kunci Yesus Kristus dipuja dalam pujian ini, yakni Yesus Kristus selalu ada bersama Allah sebab Kristus sama dengan Allah dan Dia adalah Allah (Yoh 1:1-dab; Kol 1:15-19). Ia menjadi manusia mengorbankan hak keilahian dan keistimewaan-Nya untuk menggenapi rencana keselamatan dari Allah bagi seluruh manusia; dan Kristus tidak hanya menampakkan diri sebagai manusia, tetapi Ia menjadi manusia sejati untuk mengidentifikasi tanpa dosa. Semua itu dilakukan-Nya oleh kasih untuk Bapa-Nya dan untuk kita manusia yang mau bertobat dari segala dosa-dosa kita. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus mengalami penderitaan yang demikian hebat dan bahkan sampai meminta agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya dengan memohon, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu! (Mat 26:39, 42). Oleh karena ketaatan-Nya, Allah memuliakan-Nya dengan membangkitkan Yesus dari kubur dan mengembalikan kedudukan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa, dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan digelar sebagai TUHAN, Kurios, nama Allah dalam Perjanjian Lama yang menurut pengertian Ibrani menunjuk kepada kedudukan dan kemuliaan (Kis 2:36; Rm 14:11; band. Yes 45:23). Allah yang mengangkat-Nya ke sorga kemudian menunjuk Yesus berkuasa selamanya dengan menjadi Hakim bagi manusia (Ef 1:21; Ibr 1:4; Kis 10:42; 17:31).

 

Perjanjian lama menggambarkan Musa dan Salomo adalah hakim-hakim yang penuh dengan hikmat, di samping beberapa hakim-hakim pada masa sebelum raja-raja. Ini sama seperti hakim Artidjo Alkostar saat ini di Mahkamah Agung RI yang dianggap hakim "adil" memahami rasa keadilan rakyat dengan menghukum berat para koruptor bila mereka kasasi. Namun mereka ini semua adalah hakim di dunia. Sebagian bukti atau fakta mungkin tersembunyi tidak terungkap sehingga bisa muncul rasa tidak adil. Ini berbeda dengan pengadilan akhir, sebab semua fakta terbuka. Yesus adalah Allah Mahatahu sehingga pertimbangan-Nya pasti adil. Oleh karena itu pada pengadilan akhir zaman semua orang termasuk yang dihukum akan mengaku kekuasaan Yesus dan hak-Nya untuk memutuskan. Bukan hanya orang Kristen yang percaya melainkan juga mereka yang tidak percaya atau menyangkal-Nya. Dengan kedudukan yang demikian diberikan Allah kepada Yesus, maka semua makhluk yang ada di bumi, di langit di atas, dan yang ada di bawah bumi akan bertekuk lutut untuk menyembah Dia (pengertian alam semesta raya pada saat itu terbagi atas tiga wilayah: bumi, langit sebagai atas bumi dan bawah bumi tempat yang gelap - band Kis 5:3,13). Dengan kedudukan yang demikian, Alkitab mengatakan bahwa ibadah agung universal akan dipersembahkan kelak kepada Yesus sebagai Tuhan (Why 5:13; 15:3-4).

 

Bagi kita orang percaya, Yesus Kristus adalah Tuhan merupakan pokok pengakuan iman (Yoh 13:13; Rom 10:9; 1Ko 12:3). Pembangkitan adalah karya unggul dari kuasa Allah dan itu memperlihatkan kuasa-Nya (Rm 1:4-dab). Manusia dapat memilih untuk mengaku Yesus sebagai Tuhan saat ini sebagai langkah komitmen kasih kepada-Nya, atau kita suatu saat nanti dipaksa untuk mengakui Dia adalah Tuhan saat kembali-Nya kelak? Kristus dapat kembali setiap saat. Apakah kita sudah siap untuk bertemu dengan-Nya? Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan tugas misi yang diberikan kepada kita sebagai utusan-Nya di lingkungan kita terdekat? Pengakuan lidah kita yang “mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah” merupakan sikap yang bersedia menjadi milik Tuhan untuk menjadi hamba yang berguna dan berbuah. Kita berbuah demi agar segala lidah mengaku Yesus adalah Tuhan. Kalau kita merasa belum berbuah selama ini atau belum maksimal, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan kepada sesama orang percaya (Mzm 8:5-6; Yoh 15:1-16). Semua yang kita lakukan itupun adalah pekerjaan hamba dan tidak layak kita banggakan, sebab seperti dikatakan, “bagi kemuliaan Allah”. Kalau pun kita bermegah harus bermegah di dalam Allah (Rom 7:18; Gal 6:3; 2Kor 10:17). Inilah dasarnya kita perlu memuji Kristus dan mengaku Ia adalah Tuhan dan menyerahkan hidup kita untuk melayaninya (Kol 2:6).

 

Keempat: Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan (ayat 12-13)

Alkitab mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia dan bukan oleh karena hasil usaha kita sendiri (Ef 2:8). Artinya anugerah keselamatan yang kita terima bukan karena prestasi dan amal usaha kebaikan yang kita lakukan, melainkan karena iman kepada Tuhan Yesus (Rm 10:9-10). Dengan adanya iman tersebut maka kita menjadi milik-Nya. Jadi sederhananya, keselamatan bukan karena perbuatan baik, tapi karena iman, dan iman itu yang mengharuskan adanya perbuatan baik. Perbuatan baik saja tidak cukup sebab dua hal yang penting: pertama, manusia selalu berdosa dan dosa hanya dapat dihilangkan dengan iman dan pengampunan. Kedua, perbuatan baik mendorong manusia untuk bermegah, sementara iman mendorong terus untuk ketergantungan. Kita menerima keselamatan juga bukan hanya di akhir zaman atau di masa pengadilan, melainkan sudah menerima keselamatan itu pada masa lalu ketika kita menerima baptisan kudus dan pengakuan percaya. Kita juga menerima keselamatan itu di masa kini dengan bersikap penuh percaya kepada Tuhan tentang perjalanan hidup kita, dan itulah yang diminta oleh firman Tuhan saat ini untuk kita tetap mengerjakan keselamatan kita dengan bergantung kepada-Nya. Dan terakhir, kita akan menerima kegenapan keselamatan itu nanti pada akhir zaman bersama-sama orang percaya lainnya.

 

Mengerjakan keselamatan itu perlu dilakukan dengan merasa takut dan gentar (Yes 66:2; Ams 3:7; 8:13). Takut dan gentar dalam hal ini maksudnya adalah bersungguh-sungguh. Takut dan gentar yang bersumber dari dua sisi (yakni sisi di luar diri sendiri dan sisi dari dalam diri sendiri) membuat kita malah tidak bersungguh-sungguh dan optimal. Dari luar diri sendiri, ada yang melihat dunia dan kehidupan ini begitu menakutkan, bukan saja oleh sulitnya hidup sebab persaingan dan kelangkaan, tetapi juga oleh meningkatnya kekerasan, penyakit, resiko dan perusakan lingkungan (band. Luk 12:4-5). Dari sisi dalam diri sendiri sering muncul pemikiran bahwa diri kita adalah orang yang tidak mampu, lemah dan tidak bisa meningkatkan diri. Seolah ada bisikan menerima saja apa adanya dengan tidak perlu berusaha keras meningkatkan diri. Sikap ini jelas dari iblis yang merongrong diri kita dengan mengabaikan peran dan kuasa Allah dalam hidup orang percaya. Kemampuan manusia memang terbatas meski manusia sendiri tidak tahu batasnya. Bidang kehidupan manusia demikian luasnya untuk tempat bersekutu dan mengabdi. Kelemahan dalam satu sisi (misalnya, intelegensia) dapat ditutupi dengan kekuatan emosi dan spiritual, demikian juga sebaliknya. Kelemahan fisik juga dapat ditutupi dengan kemauan dan latihan seperti dunia melihat “kehebatan” Stephen Hawking, terlepas dari karya-karyanya yang kontroversial menihilkan peran Allah.

 

Semua itu dapat terjadi bila kita melakukan dengan penuh ketaatan dan sikap hormat kepada Allah (2Kor 7:15; Kol 3:22). Betul, kita selamat bukan oleh ketaatan sebab keselamatan adalah anugerah Allah tanpa syarat. Ketaatan dan keselamatan dalam hal ini berhubungan dengan sikap tunduk dan patuh pada panggilan Tuhan untuk menunaikan tugas dan memelihara hidup kudus. Kita harus memiliki karakter melayani, dengan penuh kasih kepada Allah dan sesama, mengembangkan perilaku rendah hati saat melayani, dan bukan mencari puji-pujian atas usaha yang kita lakukan. Semua itu hanya terjadi sebab Allah yang mengerjakan kemauan maupun kerelaan kehendak-Nya pada setiap orang (Ef 1:5). Jadi, terwujudnya ketaatan yang kita berikan pun bukan hasil perjuangan kekuatan diri kita, melainkan oleh kuasa Roh Allah yang tinggal di dalam hati orang percaya yang memampukan hal itu (Rm. 8:14-17; Ibr 13:21). Tindakan ketaatan kita adalah hasil mengikuti karya Roh di dalam kita yang bekerja mendorong roh di dalam diri kita. Dalam hal ini semua berjalan dengan kesadaran penuh, dari hikmat dan perenungan pribadi, sehingga untuk melakukannya kita tidak memerlukan pengawasan orang lain. Ini juga yang diminta oleh firman Tuhan melalui Rasul Paulus kepada jemaat Filipi sehingga ketika dia tidak bersama dengan mereka jemaat tersebut terus berusaha mengekpresikan kesatuan. Semua orang diminta menjadi "kawan sekerja Allah" (1Kor 3:9) untuk menyempurnakan keselamatan yang kita miliki saat ini dan kelak di sorga.

 

Penutup

Kehidupan persekutuan Kristen semestinya berjalan bagaikan lingkaran spiral yang terus naik ke atas, bergerak menapak jalan yang lebih tinggi dan bukan kemunduran atau pengulangan yang sia-sia. Dalam jemaat yang beraneka ragam keanggotaannya dengan berbagai latar belakang dan motivasi memang tidak mudah untuk menciptakan kesatuan. Demikianlah yang terjadi pada jemaat Filipi pada masa awal-awal gereja. Mereka cenderung untuk menonjolkan egoisme masing-masing dan keinginan mencari puji-pujian yang sia-sia dan ini yang menjadi benih pemecah kesatuan mereka. Padahal sebagai jemaat yang dipanggil dalam pelayanan, kesatuan dalam sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan merupakan hal yang pokok sebagai pondasi pelayanan. Melalui bacaan minggu ini kita diberi pelajaran dan teladan Tuhan Yesus dengan mengosongkan diri untuk merendahkan diri yang adalah kunci untuk bersatu, dan kesatuan itu yang membuat nama Yesus menjulang tinggi di atas segala nama. Dengan meninggikan Yesus seperti itu, maka segala yang ada di alam semesta ini akan bertekuk lutut dalam nama Yesus, sebab Dialah yang menjadi Hakim segala bangsa. Tugas panggilan untuk meninggikan itu juga ada pada kita orang percaya. Melalui iman dan respon setiap orang, Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan di dalam hidup kita bagi kemuliaan nama-Nya. Semangat Kristus adalah melayani dan kita telah dilayani-Nya. Apakah semangat melayani Dia sudah ada dalam hidup kita? Mari kita berdoa agar Roh Kudus bekerja dalam hidup kita dan memampukan kita melakukannya. Kita juga semakin dipersatukan dengan sesama orang percaya agar menjadi berkat bagi segala bangsa.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

 

 

Khotbah Minggu 21 September 2014

Khotbah Minggu 21 September 2014

 

Minggu XV Setelah Pentakosta

 

HIDUP ADALAH KRISTUS DAN MATI ADALAH KEUNTUNGAN

(Flp 1:21-30)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 16:2-15; atau Yun 3:10-4:11; Mzm 105:1-6, 37-45 atau Mzm 145:1-8; Mat 20:1-16

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Flp 1:21-30 selengkapnya dengan judul: Nasihat supaya tetap berjuang

 

1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. 1:22 Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. 1:23 Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus -- itu memang jauh lebih baik; 1:24 tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. 1:25 Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman, 1:26 sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu. 1:27 Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil, 1:28 dengan tiada digentarkan sedikit pun oleh lawanmu. Bagi mereka semuanya itu adalah tanda kebinasaan, tetapi bagi kamu tanda keselamatan, dan itu datangnya dari Allah. 1:29 Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, 1:30 dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.

 

-------------------------------

 

Pendahuluan

Ketika orang mendengar bahwa seseorang dipenjara, maka kesan yang muncul adalah mengerikan. Gambaran penjara sebagai tempat yang terkungkung, kenikmatan makanan yang hilang, penuh dengan kekerasan dan hukuman, maka orang langsung berpikir hidupnya sudah habis dan tanpa arti. Mereka yang dipenjara biasanya melihat hidup dalam keadaan serba gelap dan tanpa pengharapan. Ada masa yang hilang dan memulihkan nama juga tidak gampang. Akan tetapi hal yang dialami oleh Rasul Paulus dalam bacaan ini sungguh berbeda. Ia mendapatkan tekanan tetapi ia melihat dari dua sisi yang berbeda dan keduanya adalah menguntungkan. Melalui bacaan di minggu ini, semangat itulah yang diberikan kepada kita melalui pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (ayat 21-23)

Bagi mereka yang tidak percaya akan adanya Allah pencipta langit dan bumi, kehidupan di dunia ini seperti apa adanya saja, mengalir tanpa arah dan komando, sehingga bagi mereka sangat wajar jika hidup ini harus diisi dengan kesuksesan nilai-nilai dunia saja, seperti uang, kesenangan, dan harga diri. Berbeda bagi Rasul Paulus, hidup ini perlu diisi dan dikembangkan dengan nilai-niai yang abadi khususnya mengabarkan tentang Kristus dan kasih-Nya. Bagi Paulus, Yesus Kristus dapat menolong mereka yang tidak mengenal Allah sebagai Komando untuk mendapatkan dan memahami nilai-nilai hakiki kehidupan, sehingga menjalaninya lebih penuh arti. Kristus merupakan sumber inspirasi. Tujuan hidup Paulus adalah memberitakan dengan penuh keyakinan dan keberanian tentang Kristus dan terus berusaha menjadi serupa dengan Dia. Oleh karena itu, ia berkata bahwa mati adalah keuntungan, sebab kematian bukan sekedar membebaskan kita dari segala persoalan, pergumulan dan penderitaan, melainkan menjadi pintu masuk perjumpaan dengan Kristus muka dengan muka (1Yoh 3:2-3). Dalam 2Kor 5:8 juga dituliskan kerinduan ini, "... dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan." Kerinduan ini juga dinyatakan Pemazmur bahwa “lebih baik satu hari di pelataran Tuhan dari pada seribu hari di tempat lain (Mzm 84:10). Tapi ini bukan berarti pembenaran terhadap mati bunuh diri atau keputusasaan. Ia tidak mengungkapkan keletihan hidup dengan nada yang getir. Bukan. Inti pesannya, jika kita belum siap untuk kematian, maka sebetulnya kita tidak siap untuk hidup.

 

Rasul Paulus ketika menulis surat ini di penjara Flipi tidak mengetahui situasi pasti masa depan dirinya. Gambaran di dalam benaknya adalah: ia dibebaskan; atau ia dihukum mati. Akan tetapi dalam menanti keputusan itu ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa Kristus bekerja dalam hidupnya untuk kebaikannya. Hal yang perlu ia lakukan dan persiapkan hanyalah ketika berdiri di depan sidang pengadilan Romawi, ia harus berbicara dengan berani untuk kebenaran Kristus tanpa ada rasa takut atau malu. Apakah ia harus mati atau hidup, baginya tidak persoalan, ia hanya ingin meninggikan Kristus. Untuk itu ia terus bersiap diri menghadapinya, dengan berdoa dan menjadi berkat dengan menulis surat kepada jemaat-jemaat yang dikenalnya. Prinsip hidupnya, ketika Tuhan memberinya kehidupan, maka ia harus mengisinya dengan memberi buah. Tidak ada alasan untuk pesimis, putus asa, berleha-leha, atau menunda seolah-olah belum waktunya melayani. Memang pada kenyataannya, ia dibebaskan sebentar setelah menulis surat ini, namun kemudian ditangkap dan dipenjara kembali selama dua sampai tiga tahun karena terus menerus mengajarkan Kekristenan kepada semua orang. Inilah yang perlu kita lihat dan teladani. Setiap kesempatan kita perlu isi hidup ini dengan pelayanan, baik melalui jalan terlibat langsung maupun tidak langsung melalui dukungan doa, moril, waktu dan dana.

 

Semangat melayani itu hanya bisa terjadi jika kita memahami bahwa ada Allah pencipta seiisi bumi dan terus mengendalikannya. Setiap orang lahir ke dunia bukanlah kebetulan melainkan dengan tujuan, yakni tujuan dari Allah; bukan untuk diri sendiri.  Oleh karena itu dengan kesadaran itu bisa kita rumuskan dan nyatakan tujuan akhir hidup ini, apakah perlu diisi dengan melayani Tuhan, mempersembahkan hidup bagi-Nya yang dinyatakan tanpa ada rasa takut akan kematian. Hidup bukan lagi semata-mata kekosongan, tanpa arah dan makna. Kita berjalan dengan iman dan bukan dengan pikiran. Yang terutama, ketika badai kehidupan datang keras melanda, yang kita tidak tahu sebab musababnya, kita tahu bahwa itu adalah bagian dari rencana Tuhan. Ini situasi yang dihadapi Rasul Paulus, seolah-olah ia didesak dari dua sisi kenyataan, perjuangan dan penderitaan atau menanti pergi saat-saat kematian tiba (ia memakai istilah analyo merupakan eufemisme yang artinya "meninggalkan” seperti kapal yang mengangkat jangkar atau tentara yang mengendorkan tali kemah). Hanya oleh iman yang teguh kepada Kristus yang membuat Rasul Paulus kuat menahan penderitaan tersebut dan tetap tegar dalam pelayanannya. Kita pun menjadi kuat dan teguh dalam menghadapi segala situasi kehidupan ketika kita memiliki tujuan di dalam Kristus. Memiliki tujuan hidup akan membangun hidup itu sendiri dengan hidupnya tujuan itu. Bagi orang percaya, tujuan akhir kita jelas, yakni kita masuk sorga, dan itu hanya bisa bersama dengan Kristus. Inilah yang kita rindukan, Allah memberi prinsip hidup yang sama dalam diri kita seperti Rasul Paulus.

 

Kedua: Makin maju dan bersukacita dalam iman (ayat 24-26)

Rasul Paulus telah memutuskan memiliki tujuan hidup yakni memberitakan Kristus bagi jemaat di Filipi dan di seluruh dunia. Pikiran-pikiran yang mengganggu yakni tantangan, penderitaan, masa lalunya yang penuh dosa ingin membunuh tidak dipikirkannya lagi. Ia mengerti sepenuhnya bahwa hidupnya telah ditebus dan diberi kasih anugerah, sehingga ia berhutang nyawa bagi Yesus dan untuk itu ia merasa wajib membayarnya. Pikiran ini yang disampaikannya kepada jemaat di Galatia, yakni dengan mengatakan: "Aku hidup, tetapi bukan lagi aku jang hidup, melainkan Kristuslah jang hidup didalam aku" (Gal 2:20; band. Rom 14:8; Kol 3:3). Ia merasakan kebaikan Allah dan ia juga mengetahui karunia rohani yang dimilikinya, sehingga dengan menetapkan tujuan hidupnya, maka ia tahu bahwa hidupnya sangat berguna bagi jemaat di Filipi dan ingin tinggal dan akan bersama-sama dengan mereka (band. Kis 20:1-6). Ada persekutuan yang erat antara mereka. Oleh karenanya ia kemudian mengatakan, “tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.” Memang dalam hidup setiap orang, termasuk Paulus, begitu ada dorongan dan pengharapan hidup kita berbuah bagi orang lain, maka kita akan memiliki semangat dan roh yang kuat untuk menjalani hidup dengan optimisme. Semua ini akan lebih dahsyat ketika Roh Allah bekerja di dalam hati kita. Kisah seorang ayah atau ibu yang berjuang keras bahkan hidup mati demi anak-anaknya, merupakan kisah yang sering kita dengar dalam kehidupan ini.

 

Rasul Paulus merasakan adanya ketakutan pada jemaat di Filipi akan penderitaan yang akan mereka alami akibat penindasan dari serdadu dan pemerintahan Romawi (dan juga dari orang-orang Yahudi fanatik), sehingga Paulus perlu meyakinkan mereka untuk tidak perlu takut bahkan bila resikonya adalah kematian. Ia juga melihat ketakutan itu terjadi karena pemahaman mereka akan firman Tuhan belum mencapai kedewasaan rohani sehingga pertimbangan keduniawian masih menjadi faktor yang lebih dominan. Kedewasaan dan cara melihat penderitaan itu terkait dengan iman, yakni dalam pengertian iman yang bertumbuh semakin besar berupa ketergantungan dan penyerahan hidup dalam tangan pimpinan Tuhan. Ketika iman lemah atau baru bertumbuh biasanya menciutkan mental saat tantangan berat datang melanda, akan tetapi ketika iman semakin besar dan kuat, maka tantangan apa pun yang datang, hidup sudah seluruhnya diserahkan kepada Dia yang mengendalikan hidup kita. Inilah yang dilihat Rasul Paulus sehingga berpikir lebih utama ia berbuah dan mengatakan dalam nas ini, “supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman.” Pengertian maju dan bersukacita hanya ada dalam kaitannya dengan iman kepada Yesus Kristus yang mengendalikan hidup mereka.

 

Rasul Paulus melihat semua itu bukan untuk membanggakan bahwa ia membuat sebuah prestasi, memegahkan dirinya, melainkan semuanya adalah untuk kemegahan Kristus. Kristus ditinggikan, diagungkan, dan dimuliakan adalah tujuan akhir hidupnya. Ia sudah tahu bahwa dirinya pasti selamat dan ia tidak perlu ragu akan hal itu. Ia hanya menyelaraskan tujuan hidupnya agar sesuai dengan rencana Allah dalam hidupnya. Itu hanya bisa tersinkronisasi tatkala kita memiliki hubungan yang dekat dengan Dia. Dengan kedekatan dan keakraban yang terjalin, tujuan hidup kita tidak hanya memuaskan keinginan daging dan tubuh, sebab kita tahu Yesus telah menderita bagi kita. Dialah yang kita layani sebab Ia telah melayani kita. Kini, pertanyaannya: kini, kepada siapa kita melayani? Apa yang menjadi tujuan hidupmu? Apakah yang kita lakukan saat ini sepenuhnya bagi kemegahan kita saja, kemegahan keluarga, atau kita menempatkan kemegahan Kristus lebih utama dalam semua tujuan yang kita lakukan? Apakah kita pernah membangun iman teman sesama gereja tatkala mereka punya pergumulan iman? Kristus memanggil kita untuk menggunakan berkat dan karunia rohani dalam membangun kemegahan Kristus bukan saja di lingkungan gereja kita sendiri tetapi juga di dalam kehidupan keseharian kita dalam bermasyarakat. Itulah yang dilakukan Rasul Paulus dan perlu kita lakukan.

 

Ketiga: Hidup berpadanan dengan Injil Kristus (ayat 27-28a)

Untuk bisa memiliki iman yang teguh dan berbuah, persyaratan utama adalah perlunya pengenalan, pemahaman dan penerapan Injil Kristus. Dalam Injil Kristus yang diberikan bagi kita, di dalamnya ada kisah keteladanan Pribadi Yesus sebagai gambar dan rupa Allah yang sempurna di dalam wujud manusia. Dengan memandang dan mengenal Pribadi Yesus melalui kesaksian Injil, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengatakan, bahwa manusia tidak dapat melakukan hal seperti yang dilakukan-Nya. Memang kadang orang berkata untuk mencari alasan dengan mengatakan: "Ah, Yesus kan, Tuhan. Jadi Dia bisa seperti itu". Akan tetapi terlepas dari kuasa membuat mukjizat, setiap manusia ditantang untuk menjadi serupa dengan Dia, sehingga kita menjadi buku dan kesaksian teladan bagi orang lain, sehingga nama Kristus ditinggikan. Dalam melakukan mukjizat pun kita tidak boleh berkata "tidak mungkin". Tuhan Yesus sendiri berkata, "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (Mrk 9:23). Oleh karena itu kita terus berusaha agar pengenalan, pemahaman dan penerapan Injil Kristus itu hadir dan berpadanan dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana dikatakan Rasul Paulus dalam nas minggu ini. Berpadanan berarti tingkah laku kita layak disebut sebagai pengikut Kristus.

 

Salah satu yang ditekankan dalam Injil adalah pentingnya saling mendukung dalam persekutuan jemaat. Rasul Paulus mendorong orang percaya untuk bersatu, berdiri kokoh dalam satu Roh dan berjuang sebagai satu kesatuan untuk membangun iman (band. Ef 4:1-3). Prinsip bersatu teguh dan bercerai runtuh serta bergabung seperti sapu lidi tetap berlaku dalam membangun kekuatan iman. Adanya anggota-anggota gereja yang melenceng dan hidup sekehendak hatinya yang tidak sesuai dengan perintah Injil, akan mematahkan semangat dan kebersamaan. Gangguan ini tidak boleh ada dan harus diredam dengan bijak. Rasul Paulus juga menekankan agar jemaat Filipi bersatu dengan keinginan dari diri mereka sendiri, tidak tergantung kepada dirinya, sehingga kehadirannya di Filipi tidak mempengaruhi semangat mereka dalam menghadapi semua persoalan yang ada. Kebersamaan dan kesatuan yang demikian akan murni dan langgeng sementara kalau kesatuan akibat pengaruh pemimpin yang otoriter biasanya akan cepat retak dan pecah. Kita dapat melihat dalam berbagai pemerintahan di dunia, pemerintahan yang otoriter biasanya tidak langgeng dan selalu jatuh dengan konsekuensi yang menyakitkan.

 

Demikian juga dalam menghadapi musuh, kesatuan iman jemaat Filipi diminta untuk mendahsyatkan kekuatan bersama (band. 1Kor 16:13). Meratapi kekurangan apalagi memperlihatkan kelemahan kepada musuh malah membuat rasa gentar di dalam diri mereka sendiri. Padahal yang dibutuhkan adalah membuat musuh gentar dengan kesatuan yang ada. Kita bisa baca dalam peristiwa Yerikho, ketika pasukan bersatu mengelilingi dengan tiupan sangkakala, tembok yang kokoh itu runtuh. "....Maka runtuhlah tembok itu, lalu mereka memanjat masuk ke dalam kota, masing-masing langsung ke depan, dan merebut kota itu" (Yos 6:1-27). Allah bekerja di dalam kesatuan hati dan bukan di dalam perpecahan. Sebab sungguh sangat menyedihkan melihat begitu besar energi dan potensi yang terbuang sia-sia apabila orang percaya saling menyerang dan bukan bersatu melawan musuh bersama yang nyata. Musuh bersama saat ini masih banyak berupa kemiskinan dan penginjilan ke berbagai wilayah. Setiap gereja dan denominasi membutuhkan sikap yang lebih berani dalam mempersatukan dan membangun tujuan bersama demi dan untuk melayani Kristus. Egoisme masing-masing yang merupakan pekerjaan iblis harus dihilangkan.

 

Keempat: Tidak gentar dan siap menderita (ayat 28b-30)

Rasul Paulus memiliki kayakinan yang kuat akan hidupnya di dalam Kristus dan itu yang membuat dirinya tidak memiliki kekuatiran sedikit pun tentang segala ancaman dan resiko yang timbul dari pelayanannya. Dengan cara pandang seperti itu, resiko penderitaan yang datang tidak dilihat sebagai "kesalahan" atau "hukuman", melainkan sebuah ujian untuk meningkatkan iman. Ketika kita menderita karena iman kepada Kristus, hal itu bukan berarti karena kita melakukan suatu hal yang salah. Sebaliknya, kenyataan yang benar, melalui penderitaan ingin dibuktikan kita adalah orang yang setia. Maka pergunakanlah penderitaan yang kita hadapi untuk membangun karakter kita. Jangan menyangkal, meremehkan apalagi malah membuat kita jatuh. Seorang Kristen sejati tidak pernah gentar menyerah namun tegar berdiri. Dengan sikap seperti itu, maka siapapun yang melihat diri kita, sebagai orang yang teguh dalam pelayanan, tetap bertahan, tegar dalam tantangan dan penderitaan, maka musuh akan gentar. Itu yang dikatakan Rasul Paulus sebagai kebinasaan bagi musuh namun bagi kita adalah tanda dan bukti keselamatan.

 

Berdasarkan itulah Rasul Paulus menganggap sungguh merupakan kehormatan untuk dapat menderita bagi Kristus. Penderitaan di dalam Kristus adalah sebuah kesempatan mengalami persekutuan secara lebih dalam dan indah dengan Kristus (Mat 5:11). Memang kita tidak boleh secara umum menganggap penderitaan sebagai keistimewaan. Penderitaan juga dapat datang karena dosa dan kesalahan. Tapi ketika kita menderita dan itu karena memberitakan Kristus, pesan dan kesan serta teladan yang kita berikan akan mempengaruhi diri kita dan orang lain untuk kebaikan (Kis 5:41). Dalam hal ini, penderitaan memiliki beberapa keuntungan, seperti:

  1. Mengerti dan mengabaikan kesenangan dan kenikmatan dunia.
  2. Menyingkirkan gulma orang-orang percaya yang membuat kedangkalan iman. Ada penglihatan makna baru dalam kehidupan setelah berhasil dalam ujian iman.
  3. Memurnikan iman guna jaminan masuk ke dalam kerajaan-Nya kelak
  4. Menguatkan iman mereka yang dalam penderitaan dan menjadi contoh teladan bagi mereka yang mengikut kita.
  5. Penderitaan juga sekaligus mempererat persatuan.

 

Rasul Paulus sepanjang hidupnya menderita oleh karena pemberitaan Injil. Ia pernah diseret dan dicambuk dihadapan jemaat Filipi (Kis 16:19; 1Tes 2:2; Ibr 10:32), melakukan perjalan tiga kali ke seantero Eropa untuk mengabarkan kasih Allah melalui Kristus. Beberapa kali ia harus dipenjara. Banyak hambatan dan tantangan dialaminya, demikian juga jemaat-jemaatnya. Sama seperti orang Filipi, kita juga berhadapan dengan mereka yang menghambat pemberitaan Kristus, baik melalui aturan-aturan maupun provokasi. Semua orang percaya harus menghadapi hal ini, bersatu menghadapi musuh yang sama untuk kebaikan semua. Rasul Paulus tidak pernah mendesak agar orang Kristen mencari-cari penderitaan, seolah-olah ada kebajikan yang sakit. Kita juga jangan melupakan mereka yang menderita. Kasih Allah harus dinyatakan. Jika kamu orang kaya, memberilah dengan sukacita kepada yang miskin. Jika isi kulkasmu penuh, berbagilah dengan mereka yang kelaparan. Jika kamu ada dalam kekuasaan, bekerjalah dengan adil dan penuh kasih. Ketika hidup kamu menyenangkan, berusahalah untuk mengambil kesakitan orang lain, dan ceritakanlah kepada dunia bahwa Injil itu adalah kebenaran. Mari kita perlihatkan kepada dunia kasih Kristus ini ada dan nyata dalam setiap hati pengikut-Nya, meski kadang kala dunia ini tidak bersahabat pada kita.

 

Penutup

Melalui bacaan di atas kita dapat melihat keteladanan yang diberikan Rasul Paulus. Kehidupannya di penjara tidak menyurutkan semangatnya untuk memberitakan Kristus. Baginya, apapun resikonya, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Itu bukan sikap keputusasaan yang getir, tetapi melihat bukan persoalan hidup atau mati, sebab kedua-duanya dapat dipakai jalan untuk memuliakan Tuhan. Dalam hidup yang dimaknakan di dalam Kristus, berbuah berarti mendorong orang lain untuk semakin maju dan bersukacita dalam iman, sebagaimana yang dilakukannya bagi jemaat Filipi. Untuk itu memang diperlukan hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus, yang memperlihatkan layaknya kita sebagai pengikut Kristus. Kemampuan itu juga sekaligus akan memperlihatkan sikap kita dalam menghadapi tantangan dan musuh, sebab bila kita di dalam Kristus, maka seharusnya kita tegar tidak gentar dan bahkan siap menderita karena itu merupakan kehormatan dapat menderita bagi Dia yang sudah memberikan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Inilah doa kita, agar Tuhan mengokohkan iman kita, meneguhkan pengharapan kita, sehingga kita terus melayani dan bahkan di dalam tantangan dan penderitaan kita tetap tegar berdiri.

 

Tuhan Yesus memberkati

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 30 guests and no members online

Login Form