Sunday, May 19, 2024

2022

Khotbah Minggu 2 Oktober 2022

 Minggu Ketujuh Belas Setelah Pentakosta

HAMBA-HAMBA YANG TIDAK BERGUNA (Luk. 17:5-10)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Rat. 1:1-6 atau Rat. 3:19-26 atau Hab. 1:1-4, 2:1-4; Mzm. 37:1-9 atau Mzm. 137; 2Tim. 1:1-14

 

Pendahuluan

Mungkin kita pernah diperlakukan oleh orang lain tidak sepantasnya atau bahkan menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka melalui nats yang kita baca minggu ini kita belajar tentang hubungan iman dengan pengampunan dosa. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kita tersesat oleh karena tergoda untuk melakukan pembalasan. Ajaran perjanjian lama mengatakan bahwa mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Cara berpikir seperti ini memang ada pada orang Yahudi (Mat. 5:38-44). Akan tetapi apakah untuk memberikan pengampunan diperlukan iman yang besar? Dan bagaimana iman tersebut menghasilkan sesuatu yang besar, serta hubungannya dengan penggunaannya yang tidak membuat kita sombong rohani. Maka melalui bacaan minggu ini, kita diajarkan oleh Tuhan Yesus beberapa hal sebagai berikut.

 

Pertama: Menambah iman (ayat 5)

Pada ayat 1-4 sebelumnya Tuhan Yesus mengingatkan pentingnya pengampunan dosa bagi sesama, agar jangan sampai ada orang percaya yang jatuh ke dalam dosa karena menyimpan beban sakit hati atau dendam. Namun untuk bisa memberi pengampunan dosa, menurut para murid waktu itu, dibutuhkan iman yang besar sehingga kekuatiran tidak terjadi sebaliknya, malah iman yang memberi pengampunan justru yang tergerus menghilang. Oleh karena itu, para murid kemudian meminta kepada Tuhan Yesus: "Tambahkanlah iman kami". Mereka berpikir polos dan sederhana, pertambahan iman itulah yang dibutuhkan dalam memberi pengampunan.

 

 Menjawab hal ini Tuhan Yesus menjelaskan bahwa yang diperlukan dan utama dalam memberi pengampunan bukanlah ukuran besar-kecilnya iman, akan tetapi bagaimana iman itu diyakini dan dilaksanakan. Oleh karena itu Tuhan Yesus memberi kiasan iman itu seperti biji sesawi. Biji sesawi sangat kecil (bayangkan sebesar gula pasir) sehingga melalui yang dikatakan-Nya, iman yang kecil pun sebenarnya memiliki kuasa untuk memberi pengampunan dan tidak memerlukan iman yang besar. Justru melalui pemberian pengampunan itu, iman orang percaya berkarya dan bertumbuh semakin besar serta dikuatkan. Jadi, bukan sebaliknya yang terjadi, yakni perlu iman besar untuk pengampunan melainkan dengan iman kecil kita memberi pengampunan dan menghasilkan pertumbuhan iman yang semakin besar.

 

Maka kesusahan atau penderitaan sebesar apa pun yang kita alami karena perlakuan orang lain, baik oleh pihak yang kita tidak kenal maupun oleh orang yang kita kenal, maka semua itu tidak perlu kita balaskan secara langsung (apalagi bila itu terjadi bukan karena kesengajaan). Penderitaan yang kita tanggung karena perbuatan orang lain itu sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, agar kita mampu untuk mengatasinya dan melewatinya, tanpa ada dampak dan efek lanjutannya yang merugikan diri sendiri. Justru dengan iman kecil yang kuat kepada Tuhan, dengan penderitaan itu iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan. Penderitaan dan tantangan sebesar apa pun pada prinsipnya bisa kita lalui selama kita berjalan bersama Tuhan dalam mengatasi dan melewatinya (Flp. 4:13).

 

Kedua: Iman yang memindahkan pohon (ayat 6)

Sebagaimana biji sesawi, iman (yang dalam bahasa Yunani disebut dengan pistis) memang merupakan kata benda. Akan tetapi meski kata benda, iman adalah hidup dan sesuatu yang bisa bertumbuh serta berbuah sebagaimana biji sesawi yang asalnya juga sangat kecil. Dalam hal ini sebagaimana biji, maka iman yang bertumbuh haruslah berakar pada sesuatu, yakni dalam hal ini berakar pada Tuhan. Jadi inti dari iman adalah ketergantungan total pada Allah dan menempatkan-Nya sebagai sumber pertumbuhan yang diperkuat dengan keinginan untuk melakukan kehendak-Nya sebagai buah. Maka dalam hal ini ukuran besarnya iman tidaklah menjadi penting sebab yang diperlukan adalah dasar dan sikap ketergantungan tadi kepada Allah.

 

Kalau iman diberi kiasan sebagai biji sesawi, maka sama halnya dengan perpindahan pohon ara yang terbantun dan tertanam di dalam lautan, itu juga hanya kiasan. Jelas terbantunnya itu sebuah peristiwa “besar dan ajaib”, tidak masuk akal. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Yesus adalah melalui iman kita bisa melakukan hal yang besar dan ajaib dan tidak masuk akal pikiran manusia. Jadi iman membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini yang dikatakan-Nya bahwa jika orang percaya memiliki iman, maka “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk. 9:3; Mat. 9:23). Inilah yang yang ditekankan-Nya bahwa iman tidak mengenal hal yang mustahil.

 

Sebagaimana biji sesawi maka biji itu bertumbuh terus dan kemudian berbuah. Iman yang bertumbuh akan menghasilkan buah dan buahnya semakin lebat, yang tadinya impossible menjadi possible. Semua itu terjadi bukan karena kehebatan manusia, akan tetapi karena pertolongan dan kuasa Allah yang tidak terbatas. Biji sesawi yang kecil itu awalnya juga kecil dan tidak tampak, akan tetapi melalui pertumbuhan dengan buah-buah yang kelihatan, maka iman itu semakin kelihatan dan kuat teruji. Jadi kita tidak membutuhkan iman yang besar melainkan iman yang sehat dan kuat dan siap untuk bertumbuh. Semua itu hanya mungkin apabila iman itu berdasar dan kokoh ketergantungannya kepada Tuhan Yesus.

 

Ketiga: Kedudukan hamba di hadapan Tuan (ayat 7-9)

Pada awalnya sangat sulit bagi kita untuk memahami mengapa ayat tentang iman yang dapat memindahkan pohon ini dikaitkan dengan kedudukan hamba. Akan tetapi hubungan itu menjadi jelas, sebab umumnya para hamba Tuhan memiliki iman yang lebih besar dibandingkan dengan orang percaya lainnya. Melalui iman mereka, karya Allah diwujud-nyatakan kepada anggota jemaat dalam pendampingan maupun keteladanan diri mereka mengarungi permasalahan kehidupan sehari-hari. Para hamba Tuhan ini diminta memperlihatkan bahwa dengan iman yang kecil dan kuat, semua permasalahan kehidupan apapun akan dapat dilewati dengan kemenangan, sebab dengan iman kita tidak berjalan sendirian melainkan beserta dengan Allah.

 

Akan tetapi poin lainnya para hamba Tuhan ini melakukan itu semua karena memang itu tugas dan panggilannya. Tidak ada alasan bagi para hamba Tuhan untuk menganggap bahwa Allah berhutang atas semua karya iman yang dilakukannya itu. Semua pekerja dalam ladang Tuhan dan orang percaya memiliki kedudukan hamba dan melayani Tuhan dengan tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan, sebab itu memang kewajibannya. Sama seperti dalam ayat di atas, ketika hambanya pulang dari ladang dan berkata kepada hamba itu: “Mari segera makan. Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum…”. Artinya secapek apapun hamba, tetap tujuannya adalah melayani Tuannya.

 

Jadi tidak ada alasan untuk sombong apalagi bermegah atas pelayanan iman yang diberikan. Pekerjaan hamba sebagaimana kita di hadapan Allah adalah hal yang selayaknya kita lakukan dan justru diminta ketaatan, termasuk taat dalam memberi pengampunan tadi. Kalau pun semua itu kita lakukan maka tidak ada keistimewaan yang layak kita terima. Ketaatan dan tunduk pada perintah-Nya bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan suatu kewajiban dasar saja. Jangan kita berpikir adanya hak atau imbalan khusus untuk itu. Seperti ayat yang kita baca: “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Maka semua sikap ini akan membuktikan karakter kita sebagai orang percaya (dan hamba Tuhan) sehingga menjadi berkat bagi orang lain.

 

Keempat: Hamba yang rendah hati (ayat 10)

 Akan tetapi Tuhan Yesus juga tidak mengatakan bahwa yang kita perbuat itu sia-sia dan tanpa arti, atau beranggapan itu tidak berguna dan bermanfaat, melainkan Ia mengecam mereka-mereka yang menonjolkan diri sendiri dan membuat itu sebagai kesombongan rohani. Tuhan Yesus menekankan agar kita jangan merekam dan berhitung apalagi bermegah dan menyombongkan diri untuk itu. Anugerah iman dan kuasanya yang besar sangat mudah menimbulkan kesombongan rohani, dan itulah yang Tuhan tidak inginkan. Kuasa iman juga bukan sesuatu yang perlu kita tonjolkan dan pamerkan, apalagi obral, melainkan semua itu hanyalah ketaatan dalam meninggikan dan memuliakan Dia.

 

Oleh karena itu Tuhan Yesus mengajarkan hubungan iman ini dengan kerendahan hati. Iman tidak dipakai dengan kesombongan apalagi menguji Allah membuktikan Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Memang Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37; Mrk. 14:36) akan tetapi itu semua sesuai kehendak-Nya. Allah sanggup dan orang percaya menjadi sanggup melalui kuasa-Nya, akan tetapi itu tidak dipakai untuk bermegah apalagi untuk mengharapkan kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Justru sebagai orang percaya apalagi hamba Tuhan, kita semakin dipanggil untuk melakukan semua itu dengan kerendahan hati dan hasrat yang kuat dan berakar pada Kristus, ketergantungan total dalam meninggikan Dia sehingga perbuatan kita hanya untuk menyenangkan hati-Nya.

 

Bagian terakhir dari pesan Tuhan Yesus adalah iman yang kita miliki harus dipakai untuk berkarya melalui perbuatan-perbuatan kasih. Untuk itu tidak dipersoalkan besarnya dan bentuknya iman yang kita miliki, akan tetapi yang utama adalah keinginan untuk berbuah nyata dalam tindakan kasih kepada sesama terutama yang membutuhkan. Sebab jikalau tidak demikian, iman yang dianugerahkan kepada kita itu tidak berbuah nyata, maka Allah akan menganggap kita sebagai hamba yang tidak berguna. Kalau soal kekuatiran akan tidak cukupnya iman adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana kisah seorang ayah yang membawa anaknya untuk disembuhkan karena kerasukan roh yang membisukan anaknya: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:14-27). Maka tetaplah berdoa agar iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan.

 

Kesimpulan

Melalui nats minggu ini kita diajarkan pentingnya iman bagi orang percaya (band. Ibr. 11:6; Rm. 14:23). Pelayanan kita dalam berhadapan dengan orang lain mungkin akan berhadapan dengan tantangan yang berat namun semua itu harus kita siapkan dengan iman. Dalam hal ini tidak masalah soal besar kecilnya iman sepanjang itu bertumbuh dengan berakar pada Tuhan dan kokoh di dalam Dia. Dalam melaksanakan iman itu haruslah kita ingat kedudukan kita adalah tetap sebagai hamba, dan diajarkan untuk tidak berhitung dengan Tuhan. Pelayanan adalah kewajiban kita yang sudah diselamatkan melalui darah Tuhan Yesus. Dalam pelayanan itu hendaklah kita melakukannya dengan kerendahan hati, sebab apabila diri kita yang ditonjolkan, maka kita akan dianggap hamba yang tidak berguna.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 25 Agustus 2022

Kabar dari Bukit

WAHYU KEPADAKU (Yer. 32:1-3a, 6-15)

 

Maka tahulah aku, bahwa itu adalah firman TUHAN (Yer. 32:8b)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Firman Tuhan bagi kita di Minggu berbahagia hari ini dari Yer. 32:1-3a, 6-15. Ini kisah tentang Nabi Yeremia yang dipenjara oleh karena bernubuat tentang kejatuhan Israel. “Beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku menyerahkan kota ini ke dalam tangan raja Babel, supaya ia mendudukinya; …. Apabila kamu berperang melawan orang Kasdim itu, kamu tidak akan beruntung!" (ay. 3, 5b).

 

Nubuatan itu jelas kritik pedas. Sebenarnya nabi Yeremia juga memberi jalan keluar melalui pesan kiasan. Yeremia berkata bahwa ia menerima wahyu agar membeli dari sepupunya sebidang tanah. Tidak masuk akal membeli tanah di tengah situasi memburuk saat itu; perang, kelaparan, penyakit sampar melanda, dan kota Yerusalem akan jatuh (ay. 23-24). Namun ternyata, benar, sepupunya datang kepadanya dan berkata: “Belilah ladangku yang di Anatot itu, sebab engkaulah yang mempunyai hak tebus untuk membelinya” (ay. 6-8, 23-24).

 

Merasa itu adalah nubuatan firman Tuhan yang benar kepadanya (ay. 8), ia pun taat membelinya. Sesuai pesan wahyu, nabi Yeremia membuat surat pembelian bermeterai di depan para saksi yang ikut menandatangani, dan juga di depan semua orang Yehuda yang hadir. Yeremia pun berkata kepada Barukh: “Ambillah surat-surat ini, baik surat pembelian yang dimeteraikan itu maupun salinan yang terbuka ini, taruhlah semuanya itu dalam bejana tanah, supaya dapat tahan lama. Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Rumah, ladang dan kebun anggur akan dibeli pula di negeri ini!” (ay. 10-15).

 

Pertanyaan kepada kita melalui nas minggu ini adalah: apakah kita merasa masih menerima wahyu pada masa kini? Yohanes Calvin mengatakan bahwa wahyu terus ada, yakni melalui firman Tuhan dan khotbah yang disampaikan oleh para hamba-Nya (band. Why. 2:29). Jika firman Tuhan yang kita dengar/baca dan renungannya tepat mengenai diri kita, untuk mengajar, meminta perubahan sikap, bahkan berbalik bertobat, sebenarnya itu adalah wahyu Tuhan kepada kita. Untuk itu kita perlu menyikapinya.

 

Janganlah kita seperti bangsa Israel. Pesan nabi Yeremia sangat jelas, Allah menghendaki mereka bertobat, kembali ke jalan Allah. Namun raja Zedekia tidak mengindahkan, malah memenjarakan Yeremia. Buruk muka cermin dibelah, itulah pepatahnya. Padahal, nabi Yeremia berkata, meski mereka akan dihukum dan dibuang ke Babel, ada janji bahwa semua akan dipulihkan, TUHAN pasti memimpin umat-Nya kembali (ay. 15).

 

Firman Tuhan melalui bacaan dan renungan yang disampaikan hamba-Nya, janganlah kita abaikan. Apalagi kita merasa sudah sangat benar dan layak, berdalih bahwa firman-Nya untuk orang lain, atau penyampai renungannya dihakimi sok tau, tidak disukai bahkan mencela yang menambah dosa. Jika seseorang ingin menunjukkan bulan kepada kita, namun yang kita lihat adalah jari penunjuknya, bukan bulannya; itu bukanlah berhikmat.

 

Orang percaya memerlukan kontrol dalam hidupnya. Jangan sampai salah arah, salah langkah, yang membawa ke jurang kematian yang tidak terseberangi. Ketekunan membaca firman Tuhan melalui disiplin, merupakan ekspresi kerinduan, agar hidup diubah diperbarui, sekaligus menjauhkan ego dan nafsu kedagingan dan dunia. Mari terus belajar mendengarkan suara TUHAN. Bila pun jalan yang diminta-Nya susah, percayalah Tuhan tetap berjalan bersama kita. Taatlah, meski sulit diterima akal pikiran. “Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar” (Mat. 11:15).

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 18 September 2022

Kabar dari Bukit

SAKIT HATI (Yer. 8:8:18-9:1)

Mengapakah mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan patung-patung mereka, dengan dewa-dewa asing yang sia-sia? (Yer. 8:19b)

Salam dalam kasih Kristus.

Kita pasti pernah merasakan kesedihan yang dalam. Misalnya, kehilangan orang-orang yang kita kasihi, dipanggil Tuhan kepangkuan-Nya, atau yang kita kasihi pergi menjauh dengan marah dan tidak mau bersama kita lagi. Saya membayangkan hal ini terjadi jika anak yang kita kasihi jatuh ke dalam jerat narkoba. Atau anak kita menikah dengan orang yang tidak seiman, kemudian membenci menganggap iman kita salah.

Banyak kisah yang kita baca tentang perilaku anak yang terjerat narkoba. Mereka tidak lagi memedulikan orang tua, kakak adik, dan sesamanya; hidupnya telah diserahkan kepada racun kehidupan itu. Dampaknya sering lebih buruk lagi, mereka mencuri dan tega melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain. Dosa berbuahkan dosa.

Demikianlah Allah merasakan kesedihan yang dalam tatkala bangsa Israel yang dikasihi-Nya, berpaling kepada allah-allah lain. Umat Israel menyembah patung dan dewa-dewa asing (ay. 19). Ratapan inilah yang disampaikan Allah melalui Nabi Yeremia, melalui nas bacaan kita di hari Minggu yang berbahagia ini, yakni Yer. 8: 8:18-9:1. “Tidak tersembuhkan kedukaan yang menimpa diriku, hatiku sakit pedih. …. Sudah lewat musim menuai, sudah berakhir musim kemarau, tetapi kita belum diselamatkan juga! …. Tidak adakah balsam di Gilead? Tidak adakah tabib di sana? Mengapakah belum datang juga kesembuhan luka puteri bangsaku?” (ay. 18, 20-22).

Allah kita dalam Tuhan Yesus adalah Allah yang penuh cinta kasih. Meski DIA tahu, anak-anak-Nya selalu berseru kepada-Nya bila dalam kesusahan, namun ada kalanya memberontak, mencari “sesuatu” yang lain. Meski akhirnya, hampa sia-sia tak berguna.

Kita tentu tahu juga perumpamaan anak yang hilang (Luk. 15:11-24). Si anak bungsu meminta ayahnya membagi warisan, dan kemudian pergi menghabiskannya dengan berfoya-foya. Akhirnya jatuh miskin, hanya berharap makan dari ampas makanan babi. Tetapi ketika si anak ingin kembali, ayahnya menyambut dengan pesta besar. Begitulah hati Allah terhadap kita, seperti dituliskan: "Maka Tuhan tidak dapat lagi menahan hati-Nya melihat kesukaran mereka" (Hak. 10:16). Allah selalu rindu anak-anak-Nya kembali dengan menahan kesedihan.

Bagaimana kita menghadapi kesedihan yang besar, misalnya, seperti terjerat narkoba atau pindah keyakinan? Atau, ada anggota kelompok kita yang bersikap tidak semestinya. Melalui nas minggu ini, kita diajarkan agar mengikut keteladanan Yesus: tetap mengasihi mereka, umat kesayangan-Nya. “Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!” (ay. 9:1).

Namun kesedihan dan penderitaan yang datang melanda, perlu dilihat akar dan masalahnya. Bila itu terkait dosa-dosa, mari kita bereskan dengan mohon pengampunan. Allah Mahabaik, jika kita benar-benar ingin bertobat. Tetapi janganlah sampai kesedihan dan penderitaan yang datang, malah semakin membawa kita kepada dosa yang lebih besar. Dosa beranakkan dosa. Untuk itu perlu berhikmat dan berefleksi kepada firman-Nya, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).

 

Situasi apapun saat ini yang membawa kita sedih dan menderita, tetaplah berseru kepada Allah. Jangan meneruskan pemberontakan (Yes. 63:9), tetapi berserahlah atas situasi yang diterima. Mohonkan petunjuk-Nya melalui hikmat dan kekuatan untuk mengetahui rencana-Nya, melalui doa dan tekun membaca firman-Nya: adakah itu keselamatan atau kematian? Kita tahu Allah kadang memakai situasi yang sulit bahkan terasa berat untuk membentuk kita agar serupa dengan Kristus (Yak. 1:2-4; Rm. 5:3-5; 8:28-29; Ibr. 4:15). “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui” (Yer. 33:3; band. Mat. 11:28; Mzm. 58:6). Percayalah, tetaplah setia. Semua baik, sebab rencana Tuhan pasti indah dibalik kesedihan dan derita yang melanda.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 25 September 2022

Minggu Keenam Belas Setelah Pentakosta

 

JURANG YANG TAK TERSEBERANGI (Luk. 16:19-31)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 32:1-3a, 6-15 atau Am. 6:1a, 4-7;

Mzm. 91:1-6, 14-16 atau Mzm. 146; 1Tim. 6:6-19

 

Pendahuluan

Minggu ini kita masih diberikan pengajaran tentang konsekuensi penggunaan harta dan kekayaan yang salah dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kisah dalam nats ini yakni tentang orang miskin yang penuh iman dan tentang orang kaya yang tidak peduli dan membekukan hatinya terhadap sesama dan tidak memiliki belas kasih. Kisah ini hanyalah perumpamaan yakni tidak sungguh-sungguh terjadi. Lazarus dalam kisah ini berbeda dengan Lazarus yang disebutkan dalam Yoh 11 yang dibangkitkan Yesus. Akan tetapi yang ditekankan dalam kisah ini adalah bahwa segala hal yang kita lakukan dan perbuat selama kita hidup di dunia ini akan membawa konsekuensi ketika kita nanti dipanggil Tuhan menghadap-Nya. Konsekuensi ini permanen dan tidak ada yang bisa merubahnya. Dari kisah yang kita baca minggu ini diberikan beberapa pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: adanya yang kaya dan miskin (ayat 19-21)

Kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin memang sudah ada sejak manusia mengenal sistim kepemilikan individu. Tidak dapat dipungkiri manusia diciptakan Allah dengan berbagai kemampuan yang tidak sama khususnya dalam mencari nafkah dan penghasilan. Manusia dengan kemampuan tinggi akan dengan mudah memanfaatkan segala sumber alam dan produksi untuk menjadi miliknya, di bawah penguasaannya, dan juga untuk dinikmatinya. Sistim ini pernah dicoba untuk dihilangkan melalui sistim sosialis komunis, dengan konsep kepemilikan bersama dan komunal, namun dari pengalaman beberapa dekade di berbagai negara sistim ini gagal untuk meningkatkan keadilan dan harkat manusia. Sistim ekonomi tidak bisa menghilangkan individualitas yang dianggap justru meningkatkan kemakmuran bagi semua.

 

Kecendrungan manusia untuk mencoba meningkatkan harkat dan derajatnya melalui kepemilikan yang banyak dan berlebih dari kebutuhannya bukanlah sesuatu yang tabu. Manusia diberi talenta dan karunia yang berbeda. Berbagi kepemilikan dengan sistim sama rata sosialisme juga tidak efektip sebagaimana disebutkan di atas. Maka yang menjadi masalah adalah ketika yang memiliki banyak kemudian mengeksploitasi mereka yang memiliki sedikit dan kurang berpendidikan, seperti majikan mengeksploitasi buruh, pemilik modal menindas pekerja, tuan tanah menindas buruh tani, pejabat memeras rakyat, yang pintar menipu yang bodoh, dan sebagainya. Hal ini akan jelas terlihat ketika mereka yang kaya kemudian melupakan yang miskin dengan hanya menikmati untuk dirinya sendiri saja.

 

Itulah gambaran yang diberikan dalam nats ini. Orang kaya yang disebutkan dalam kisah ini selalu ingin menunjukkan kekayaannya dengan memakai jubah ungu mahal, bersukaria setiap hari dengan penuh kemewahan. Ia benar-benar menikmati kekayaannya dan mementingkan dirinya sendiri, bahkan mungkin secara atraktif memperlihatkan kepada banyak orang. Sementara di lain pihak kita membaca bagaimana Lazarus (yang berarti “Allah adalah pertolonganku”) dan hidup benar di hadapan Allah, harus hidup dengan mengais-ngais sisa makanan yang dilemparkan dari rumah orang kaya itu, dan itupun mungkin harus bersaing dengan anjing!!! Bahkan kadang anjing itu datang untuk menjilati borok Lazarus yang papa dan ia tidak mampu untuk mengusirnya. Sungguh gambaran yang tragis sikap orang kaya terhadap orang miskin.

 

Kedua: semua orang akan mati dan mendapat yang setimpal (ayat 22-25)

Akan tetapi segalanya akan berakhir ketika semua orang dipanggil kembali kepada Tuhan. Umur manusia tidak ada yang bisa memperpanjang dan Allah pemegang mutlak atas itu. Untuk itu tidak ada perbedaan kaya dan miskin, berbaju bagus atau compang-camping, pintar atau bodoh, Allah yang menentukan kapan akan menghadap Dia, meski diakui hikmat dalam pengetahuan bisa membawa dampak pada umur rata-rata orang terkait kesadaran kesehatan. Kalau semasa di dunia orang kaya mendapatkan kenikmatan dengan baju dan makanan yang enak dan melupakan mereka yang miskin, atau mendapatkan kehormatan dengan di tempatkan di tempat-tempat khusus dan utama, maka ketika kematian tiba, semua itu tidak ada artinya. Allah yang menjadi hakim bagi semua orang dengan melihat semua yang dilakukan terlepas dari kondisi kaya miskinnya.

 

Seperti semua orang Lazarus dan orang kaya itu memang akhirnya mati tanpa perlu dijelaskan penyebabnya. Akan tetapi Lazarus yang miskin itu langsung dibawa malaikat dan duduk di pangkuan Abraham. Di sini Abraham digambarkan sebagai bapak orang beriman sehingga dapat dipastikan bahwa Lazarus penuh dengan iman pada masa hidupnya. Meski ia miskin dan kelaparan, namun melalui imannya ia percaya ada dalam pemeliharaan Allah dan tidak pernah mengeluhkannya. Oleh karena itu ia diangkat ke Firdaus dan tinggal bersama-sama Abraham dan bahkan mendapat tempat yang istimewa di pangkuan Abraham (band. Yoh. 1:18). Pangkuan disini dalam pengertian “berbaring” yakni dalam suasana pesta di Firdaus (zaman dahulu menikmati pesta sering dilakukan dengan berbaring).

 

Berbeda dengan Lazarus yang menikmati kehidupan setelah kematiannya, orang kaya yang selalu hidup mewah tadi digambarkan menderita di alam maut. Orang kaya itu melihat Lazarus dan mengatakan kepada Abraham agar mengasihaninya. Ia sangat kesakitan dalam nyala api ini di neraka dan meminta Lazarus agar mencelupkan ujung jarinya ke dalam air untuk menyejukkan lidahnya. Sebuah gambaran yang menyedihkan. Ia dihukum bukan karena kaya akan tetapi karena mempergunakan kekayaannya secara tidak benar. Dalam kehidupan dunia, orang kaya ini telah menggunakan miliknya untuk kesenangan, kemewahan dan kepentingan dirinya tanpa memperdulikan mereka yang miskin, maka Allah tidak berkenan akan hal itu dan memberikan hukuman kepadanya dengan berat. Apa yang ia dan kita lakukan di dunia pasti akan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah.

 

Ketiga: jurang yang tidak terseberangi (ayat 26-29)

Ada pemahaman Yahudi dalam perjanjian lama bahwa mereka yang meninggal akan dikumpulkan bersama dengan nenek moyang mereka (Kej. 15:15; Hak. 2:10; Mat. 8:11). Oleh karena itu Lazarus digambarkan bersama-sama dengan Abraham. Orang kaya itu juga setelah mati digambarkan berada di alam maut di tengah nyala api. Alam maut (Yun: hades dan Ibr: syeol) memang gambaran dalam kekristenan sebagai tempat berkumpulnya roh orang mati dan sering disebut neraka. Mereka yang tidak berkenan dan mendapat penghukuman karena perbuatannya di dunia tidak sejalan dengan kehendak Allah, maka mereka akan berakhir tragis di tempat ini. Penderitaan orang kaya itu pasti lebih hebat dari penderitaan Lazarus sewaktu hidup dalam kemiskinannya. Apalagi, dari cerita yang kita baca tampak bahwa orang kaya itu sebenarnya mengenal Lazarus pada masa hidupnya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, matanya menjadi buta dan telinganya menjadi tuli akan penderitaan orang lain dan tidak peduli dengan yang disekelilingnya.

 

Berbeda dengan gambaran Firdaus yakni tempat damai sejahtera, maka mereka yang berkenan kepada Allah melalui iman dan perbuatannya di dunia akan berada di sini bersama-sama dengan bapak iman kita Abraham. Ini juga sebagai kiasan tempat sorgawi (band. Luk. 23:43 dan Kis. 7:59). Gambaran yang diberikan dalam nats ini yakni kedua tempat ini dipisahkan oleh jurang yang dalam dan tidak terseberangi. Dunia orang yang berkenan kepada Allah kelak akan berada jauh dari dunia tempat mereka yang tidak diselamatkan. Memang ada penafsiran bahwa sesama orang akan dapat melihat bagaimana mereka berkumpul kelak di sorga dan juga dapat melihat mereka yang berada di neraka (band. Yes. 66:24).

 

Hal yang ingin ditekankan dalam ayat-ayat ini bahwa keberadaan akhir seseorang setelah kematiannya adalah hak Allah yang bersifat final, tidak seorang pun dapat merobah atau menolongnya. Riwayat akhir perjalanan manusia memang hanya ada dalam dua tempat yakni tempat menerima penghukuman kekal dan tempat menikmati kebersamaan dengan mereka yang dikasihi Allah. Jurang adalah perlambang yang membedakan tempat yang maha indah dan maha buruk, seperti penggambaran domba dan kambing. Dalam kekekalan itu semua akan terkondisikan tanpa ada yang bisa berbuat sesuatu. Kita manusia yang hidup saat ini diminta untuk belajar dari situasi ini sehingga kelak tidak mengalami yang sama dengan orang kaya ini.

 

Keempat: dengarlah pesan nabi dan Tuhan Yesus (ayat 30-31)

Kalau di atas digambarkan adanya jurang di antara surga dan neraka yang bersifat jauh dan tetap, maka dalam ayat-ayat berikutnya ini yang digambarkan adalah adanya jarak yang permanen antara dunia orang mati dan dunia orang hidup. Orang kaya itu dalam penderitaannya masih berpikir agar ada yang mengingatkan mereka yang hidup yakni ayah dan saudara-saudaranya, untuk bertobat dan tidak melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan, terlebih lagi bila pesan itu disampaikan oleh mereka yang sudah mati dan mengalami. Namun, firman yang kita baca menegaskan bahwa hubungan itu sudah terputus sama sekali. Dunia orang mati yakni tempat roh-roh berkumpul sudah terlepas dari dunia orang yang hidup saat ini di dunia.

 

Firman Tuhan berkata biarlah pesan Tuhan melalui para nabi dan rasul cukup untuk mengajar mereka. Semua pesan dan kesaksian itu sudah tertulis dalam Alkitab baik perjanjian lama (termasuk yang disampaikan dan kesaksian Nabi Musa) dan kesaksian para rasul dalam perjanjian baru. Utusan orang mati tidak lebih hebat dari firman yang tertulis. Kesaksian orang yang pernah melihat surga tidak lebih dahsyat dari gambaran yang ada dalam Alkitab. Maka biarlah (tulisan) Alkitab itu yang mengajar kita, dengan membaca dan mempelajarinya, mendengarkan dan merenungkan uraian para hamba Tuhan agar kita tidak tersesat dan jauh dari kehendak Tuhan. Firman Tuhan mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2Tim. 3:16). Semua itu diberikan Allah agar kita membaca, mendengar, merenungkan dan menjadi pelaku-pelaku firman Tuhan.

 

Hal lainnya yakni terputusnya dunia orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati membawa konsekuensi yang sangat besar bagi iman kekristenan, khususnya tentang doa bagi mereka yang sudah meninggal. Sering muncul pertanyaan: apakah orang yang masih hidup dapat mendoakan mereka yang sudah meninggal? Maka sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, doa orang yang masih hidup tidak mempunyai arti lagi bagi mereka yang sudah meninggal, keduanya sudah terputus dan tidak ada satupun yang bisa merubahnya kecuali melalui pertobatan dan keselamatan di dalam Tuhan Yesus semasa ia hidup. Iman Kristen protestan sangat ketat dalam hal ini dengan melarang mendoakan mereka yang sudah meninggal, meski kita akui saudara kita dari gereja katholik masih memperkenannya dengan mendasarinya dari Kitab Makabe yang merupakan bagian dari kitab Apokrifa (2Mak. 12:41-45) yang tidak diterima oleh umat Protestan.

 

Kesimpulan

Melalui bacaan kita minggu ini, Tuhan Yesus bukan mengajarkan agar kita membenci atau menghindari kekayaan, akan tetapi bagaimana kita mensikapi dan diajarkan mempergunakan kekayaan itu. Yesus mengajarkan bahwa ketidak-pedulian kita akan orang-orang miskin sementara kita menikmati kekayaan yang ada, akan diperhitungkan oleh Allah dan membawa konsekuensi setelah kita mati nanti dan masuk dalam kekekalan. Orang miskin selalu ada di sekitar kita. Kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi ketika kita sudah mati, bahkan semua kekayaan dan keluarga termasuk orang tua dan saudara-saudara tidak dapat merubah ganjaran yang kita harus terima. Mari kita belajar dan mendengar firman Tuhan dan menjadi pelaku-pelaku agar hidup kita kelak jauh dari nyala api yang merindukan setetes air pun tidak akan kesampaian.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 18 September 2022

Minggu Kelima Belas Setelah Pentakosta tahun 2022

 SETIA DALAM PERKARA-PERKARA KECIL (Luk. 16:1-13)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 8:18-9:1 atau Am. 8:4-7; Mzm. 79:1-9

atau Mzm. 113; 1Tim 2:1-7

 

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita masih tentang pengajaran Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ia banyak memberikan contoh dan perumpamaan tentang makna kehidupan ini dengan maksud agar mereka dan kita tidak tersesat atau terperosok pada hal-hal duniawi yang singkat ini. Melalui bacaan nats ini, Yesus memberikan pelajaran yang cukup rumit dan bermakna ganda, yakni tentang amanah dan tanggungjawab bagi seorang bendahara yang dipercaya mengelola tanah milik Tuan tanah. pertanggungjawaban akan diminta dan keputusan pasti diberikan. Melalui kisah dan perumpamaan yang diberikan, kita mendapatkan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: pertanggungjawaban (ayat 1-2)

Nats ini merupakan kisah yang lumayan sulit untuk ditafsirkan, sebab menyangkut penilaian hal yang baik dari orang jahat. Pihak yang jahat dalam kisah ini bukan hanya bendahara, tetapi juga penyewa, yang bersedia diajak kompromi, meski bagi mereka belum tentu ada manfaatnya, sebab bisa saja biaya sewa sama, hanya sebagian dibayar kepada pemilik tanah dan sebagian kepada bendahara yang akan berhenti. Memang pembayaran tidak dalam bentuk uang atau barang, melainkan beban tanggungan yang sama saja ada biayanya. Tuan pemilik tanah sendiri sulit dikatagorikan apakah orang baik atau orang jahat, sebab ia juga membenarkan sikap bendahara yang cerdik bahkan licik dalam kisah ini.

 

Ada dua tafsiran atas kisah ini. Pertama, bendahara pada prinsipnya adalah mitra pemilik tanah, sehingga ia bebas menetapkan hutang-piutang sewa dengan penyewa. Dalam hal ini tuan tanah tinggal terima bersih hasil akhirnya. Maka ketika bendahara itu memutuskan perubahan nilai sewa, ia sebenarnya “berhak” atas keputusan itu. Ia masih memiliki kuasa meski di saat terakhir, dan itu mengikat seterusnya. Tafsiran kedua, bendahara itu hanya hamba, seorang pegawai, sehingga ia harus melaporkan apa adanya, tidak berhak merubah apapun soal sewa menyewa. Dengan status itu, ada kecurangan yang dia lakukan, dan dalam hal ini ditafsirkan ia mungkin sudah sering mencuri hasil sewa tanah tersebut.

 

Namun dari kedua tafsiran itu pokok yang ditekankan dari nats ini adalah bahwa semua yang kita terima baik harta maupun wewenang, adalah amanah belaka yang dipercaya kita kelola sementara. Tidak ada harta dan kuasa dalam hidup ini yang menjadi milik kita abadi dan itu semua suatu saat akan kita tinggalkan. Segala sesuatunya itu nanti ada yang menilai dan kita harus mempertanggungjawabkan kepada tuan pemilik yang sah. Dalam hal ini pemilik sah atas alam semesta dan kehidupan ini termasuk kita adalah Allah yang kita kenal melalui Tuhan Yesus. Maka pertanyaannya adalah: saat kita memiliki harta atau Mamon dan wewenang saat ini, apakah kita mempergunakannya untuk kebaikan bagi kita dan orang lain, atau kita hanya pakai dan kelola untuk kepentingan diri sendiri, bahkan yang tidak berkenan kepada Tuhan? Janganlah kita menganggap itu sebagai hal yang sepele dan tidak ada kaitannya kelak dalam pertanggungjawaban di kehidupan lain setelah di dunia ini.

 

Kedua: memanipulasi keadaan (ayat 3-8)

Tuan pemilik tanah merasa bahwa bendahara tersebut tidak mengelola tanah tersebut dengan baik, bahkan menghamburkan hasilnya. Oleh karena itu ia memutuskan memberhentikan bendahara tersebut. Namun ketika bendahara itu memanfaatkan situasi sempit itu untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, tuan pemilik tanah itu justru memuji bendahara tersebut dengan mengatakan ia adalah orang yang cerdik. Ia dengan cepat mengurangi hutang orang lain dari seratus tempayan minyak (zaitun) menjadi lima puluh tempayan, dan kepada yang lain dia kurangi dari seratus pikul gandum menjadi delapan puluh pikul. Semua itu ia lakukan agar kedua orang ini merasa berhutang budi padanya dan suatu saat kelak ia bisa ditampung di rumah mereka atau membayar kepadanya.

 

Pelajaran yang bisa diambil dari perumpamaan ini bahwa orang-orang dunia demikian pintarnya dalam mencari peluang mencari harta, berpikir cepat dan kreatif untuk mendapatkan hasil meski untuk kepentingannya sendiri. Maka menjadi tantangan bagi orang-orang Kristen agar selalu lebih cerdik dari mereka (ayat 8). Di satu sisi memang kita bisa melihat bendahara tersebut mempergunakan kesempatan yang ada untuk menjalin hubungan yang baik dengan para penyewa, memberi keringanan hutang utnuk sementara. Maka pesan yang kita ambil adalah untuk berbuat kebaikan perlu kreatifitas dan pengetahuan, mempergunakan waktu yang masih sisa agar diperoleh hasil yang maksimal.

 

Memang cara yang dipakai oleh bendahara bukanlah cara yang benar. Akan tetapi kecerdikan dan perhitungannya dalam membangun hubungan bagi dirinya di masa depan adalah sesuatu yang perlu diteladani. Kita orang Kristen telah diberi kepercayaan oleh Allah melalui kepemilikan yang ada, maka apakah kita cukup kreatif untuk melipatgandakan semua itu dan mampu mengembangkan hubungan yang lebih luas kepada banyak orang? Kepemilikan atas harta dan kuasa mempunyai pengaruh kepada hubungan dengan sesama, membuat hidup orang lain lebih mudah, dan itu semua mempunyai konsekuensi pada kehidupan kit adi masa yang akan datang. Memanipulasi keadaan untuk kepentingan diri sendiri dan pemuasan nafsu jelas salah, akan tetapi menerapkan kecerdikan dan kelihaian berhitung bagi kepentingan meluaskan hubungan dan menolong sesame, jelas sesuatu yang disenangi oleh Tuhan kita. Tindakan cerdik dan berani seperti ini dapat dipuji oleh Majikan kita yang Agung.

 

Ketiga: setia dalam perkara-perkara kecil (ayat 9-12)

Tuan pemilik tanah itu tidak berarti setuju dengan apa yang dilakukan oleh bendahara itu. Akan tetapi tuan tanah itu mengatakan bahwa menggunakan kesempatan melalui “mamon yang tidak jujur” jelas ada gunanya. Mamon berasal dari bahasa Aram yang berarti uang, harta atau laba. Kalau sumbernya tidak jujur maka ia menjadi mamon yang tidak jujur. Tetapi ditekankan juga bahwa tidak selamanya harta atau mamon itu dapat menolong, ada saatnya ia menjadi “tidak berarti dan tidak berguna”, sebab yang lebih utama dan merupakan tujuan hidup adalah kemah abadi yakni kehidupan nanti (band. Luk 12:33; Mat 19:21).

 

Pesan lainnya adalah kita diuji melalui kesetiaan pada hal-hal yang kecil terlebih dahulu, sebelum pada hal yang besar dan bahkan yang utama. Harta dan kekuasaan duniawi sangatlah kecil nilainya dibandingkan dengan nilai kekayaan sorgawi. Apalagi masa kehidupan di dunia ini sangat singkat bila dibandingkan dengan masa kekekalan. Tanggung jawab penggunaan harta duniawi akan menjadi ujian terhadap kesetiaan kita, sebab apabila kita tidak setia terhadap harta duniawi, maka kita juga dianggap tidak akan setia dan mampu untuk menerima harta sorgawi yang rohani dan abadi. Harta duniawi seperti uang jelas merupakan godaan besar, sehingga firman Tuhan mengatakan akar segala kejahatan adalah cinta uang dan hamba Tuhan diminta untuk tidak mencintai uang (1Tim 3:1-3).

 

Pengelolaan hal kecil dianggap merupakan ujian bagi karakter (watak) dan integritas yang kita miliki dalam hal pengelolaan. Apakah kita memang orang yang setia dan layak dipercaya sehingga berhak atas sesuatu yang paling berharga nantinya, yakni harta sorgawi yang kekal? Sejauh mana integritas kita dan kesetiaan dalam pengelolaan itu? Perumpamaan dalam nats ini juga dapat disamakan dengan pengelolaan uang mina, sehingga Tuhan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21-23; band Luk 19: 11-27).

 

Keempat: mengabdi kepada dua tuan (ayat 13)

Ada sebuah keunikan dalam kepemilikan. Rasa kepemilikan atau sense of belonging memaksa kita bertanggungjawab. Memiliki keluarga membuat kita bertanggungjawab atas keluarga, dan itu adalah hal yang baik dan wajar. Meski tanggungjawab itu membuat kita seolah-olah "hamba" dari keluarga dalam pengertian kita ingin membahagiakan mereka adalah sesuatu yang baik. Namun, ketika kepemilikan dan sense of belonging tersebut pada sebuah benda atau harta, meski ada nilainya, maka disini muncul sesuatu yang tidak baik. Menjadi hamba keluarga adalah baik akan tetapi menjadi hamba uang atau harta, jelas tidak bagus sama sekali.

 

Memiliki Tuhan sama saja halnya. Ketika kita merasa memiliki Tuhan maka ada rasa tanggungjawab atas hal itu. Meski dalam hal Tuhan, pengakuan kita tidak akan mempengaruhi keberadaan dan kuasa-Nya. Kita tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Maka ketika rasa tanggungjawab itu muncul pada kedua-duanya, timbullah pertanyaan: kepada siapa kita mengabdi? Apakah kita mengabdi kepada harta atau uang dan menjadikan semua itu sebagai Tuan, atau kita tetap mengabdi kepada Allah? Jelas kita tidak bisa mengabdi kepada keduanya. Pilihan harus diberikan, mana yang utama. Sama seperti kapal tidak boleh dinakhodai oleh dua orang, akan kacau perjalanannya, demikian juga perjalanan kita harus oleh satu nakhoda: Allah atau Mamon? Inilah yang diingatkan bagi kita melalui nats ini.

 

Kekayaan dan harta serta rasa kemilikan dan kecintaan akan dunia ini akan membuat kita lebih sulit membuat Allah sebagai Tuan atau Tuhan kita. Oleh karena itu kita harus memilih salah satu yang utama dan semua itu akan terlihat ketika kita mengelola sehari-hari atas uang dan harta yang diamanahkan-Nya kepada kita: yang mana akan mengambil tempat utama dalam hati kita? Apakah kita tetap melihat bahwa mereka yang memiliki harta dan uang yang banyak sebagai tanda berkat dari Allah? Jangan kita seperti mereka, mulut kita menempatkan Allah yang utama akan tetapi hati kita lebih menghargai harta dan dunia. Allah sangat membenci hal itu, sebagaimana Tuhan Yesus menegur orang Farisi dalam kisah nats ini. Ukuran diberkati adalah urusan damai sejahtera dalam kasih Allah dan kepada manusia. Karena itu, apa dan siapa yang akan lebih sering menjadi fokus pikiran kita setiap hari? Semua itu akan memperlihatkan, itulah yang menjadi Tuan atau Tuhan kita. Hal ini dapat diuji dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

 

1.                   Apakah engkau sering kuatir dan memikirkan uang atau hartamu setiap hari?

2.                  Apakah engkau mudah tergoda dan menyerah atas bujukan apabila itu peluang mendapatkan uang atau harta meski dengan cara tidak berkenan kepada Tuhan?

3.                  Apakah waktu yang dipakai setiap hari lebih banyak untuk mencari uang? Atau waktumu banyak tersita untuk mengurusi harta dan uang?

4.                  Apakah engkau sulit untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan dan juga kepada gereja/penginjilan?

5.                  Apakah engkau memaksakan untuk berhutang demi sesuatu yang tidak urgent perlu?

 

Kalau jawabannya banyak ya, maka mungkin Uang atau Mamon sudah menjadi tuan kita.

 

Kesimpulan

Melalui bacaan dan renungan yang diuraikan di atas, kita diingatkan bahwa semua hal di dunia ada ada pertanggungjawaban. Jangan kita terkecoh dengan membuat sesuatu yang bernilai di dunia ini seperti uang dan harta menjadi Tuan kita dan kita menjadi hambanya. Jangan juga kita memanipulasi untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri, meski kita diajar untuk selalu cerdik. Semua yang di dunia dianggap sebagai hal dan perkara-perkara kecil, sebab yang utama adalah kekayaan sorgawi dan menjadi penghuni kemah abadi. Untuk itu kita tidak boleh membuat dua Tuan dalam hidup kita, harus memilih, membuat Yesus sebagai Tuhan sekaligus Tuan kita, atau menjadikan harta dan dunia ini sebagai Tuan kita. Mari kita jadikan Yesus sebagai Tuhan dan nakhoda kita, mengenal otoritas-Nya, sebab Dia sebenarnya pemberi semua itu.

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 10 guests and no members online

Login Form