Sunday, May 19, 2024

2022

Khotbah Minggu 6 November 2022

Khotbah Minggu Kedua Puluh Dua Setelah Pentakosta Tahun 2022

 

IA BUKAN ALLAH ORANG MATI, MELAINKAN ALLAH ORANG HIDUP (Luk. 20:27-38)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hag. 1:15b-2:9 atau Ay. 19:23-27a; Mzm. 145:1-5, 17-21 atau 17:1-9 atau 98; 2Tes. 2:1-5, 13-17

 

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita sudah mendekati masa akhir minggu-minggu pentakosta dan sebentar lagi akan masuk ke dalam minggu adven. Kalau dalam beberapa minggu-minggu terakhir kita diceritakan tentang banyak perumpamaan, maka minggu ini bacaan kita tentang percakapan Tuhan Yesus dengan orang Saduki, yang tidak percaya dengan kebangkitan setelah kematian. Orang Farisi sendiri kesulitan menjawab hal ini kepada orang Saduki, akan tetapi Tuhan Yesus menjawabnya dengan lugas dan langsung ke titik masalahnya. Dari bacaan minggu ini kita diberikan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: perkawinan dan hukum turun ranjang (ayat 28-33)

Dalam perkawinan sistim patriarki, silsilah dan garis keturunan dari laki-laki sangat dijunjung dan berusaha dipertahankan. Hal itu kadang ditekankan untuk menjaga kemurniannya bahkan dapat berlebihan sebagaimana tradisi umat Yahudi yang diceritakan dalam nats ini. Begitu pentingnya garis keturunan dari laki-laki itu sehingga Musa memerintahkan, apabila ada seorang suami meninggal sementara istrinya yakni janda wanita ditinggalkan masih muda, maka hukum Yahudi memperbolehkan adiknya untuk menggantikan suami yang meninggal, memperistri janda kakaknya itu dengan berpengaharapan agar ada keturunan yang meneruskan silsilah tadi (Ul 25:5-10). Memang ada faktor lain yang membuat tradisi itu dipertahankan, yakni agar harta yang sudah menjadi milik janda itu, tidak dibawa dan menjadi miliknya pribadi atau keluarga pihak wanita.

 

Sistim ini juga banyak berlaku di dalam adat istiadat kita di Indonesia. Istilah turun ranjang yang berarti mengawini adik istri atau suaminya menjadi umum, baik dalam suku Jawa, Batak, dan suku-suku lainnya. Bahkan di beberapa suku, ketentuan turun ranjang itu tidak hanya berlaku kepada adik atau kakak, bahkan juga bisa dengan paman atau keponakan. Demikian juga, sistim itu tidak hanya berlaku bagi wanita yang ditinggalkan suaminya, melainkan juga bagi suami yang ditinggalkan istri dapat berlaku sistim turun ranjang. Memang kalau dilihat secara hukum positip, moral atau kesopanan, tidak ada yang dilanggar dalam hal itu, sepanjang tidak ada paksaan dan dasarnya adalah saling mengasihi. Oleh karena itu tepat juga yang dikatakan Tuhan Yesus, "Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan."

 

Namun apabila dasar perkawinannya adalah mengenai harta sebagaimana diduga yang menjadi sebagian dasar tradisi umat Yahudi, maka hal itu sangat tidak baik apalagi sampai ada pemaksaan. Allah menciptakan perkawinan atau pernikahan untuk meneruskan generasi manusia dan kebaikannya, bukan mementingkan silsilah, apalagi dalam pengertian sempit harus pernikahan ras atau suku. Dari pengalaman manusia dan juga bukti ilmu pengetahuan, perkawinan dalam satu suku/ras (incest) justru sangat membahayakan karena faktor kesamaan darah dan genetik, sementara perkawinan beda suku atau ras justru akan meningkatkan kualitas generasi berikutnya. Inilah yang menjadi pegangan kita dalam tujuan dan ikatan perkawinan, yakni menghormati keputusan Allah, adanya dasar saling mengasihi, saling menghormati dan terutama untuk melahirkan generasi-generasi baru yang lebih baik di masa mendatang.

 

Kedua: orang Saduki dan kebangkitan (ayat 27 dan 34)

Kelompok Saduki adalah kelompok konservatif yang hanya mengakui kitab pentatekh yakni Kejadian sampai Ulangan sebagai kitab suci. Mereka menganggap kita lainnya hanya tradisi atau penafsiran para manusia saja dan menempatkannya dengan derajat yang tidak sama. Mereka tidak mengakui kebangkitan sebab hal itu tidak tercatat di lima kitab itu. Memang menjadi pertanyaan yang lazim, apakah ada kehidupan setelah kematian? Kira-kira bagaimana bentuknya? Orang Saduki sebagai kelompok kecil namun merasa cukup intelektual dan elit, juga mempertanyakan hal itu. Sebab menurut mereka, seandainya ada kebangkitan, bagaimana status seorang istri yang memiliki banyak suami? Mereka juga tidak percaya keberadaan malaikat atau  roh sesudah kematian, termasuk kedatangan Mesias (band. Kis. 23:8).

 

Inilah yang ditanyakan orang Saduki kepada Tuhan Yesus. Tujuan mereka  adalah untuk mempermalukan Yesus di depan banyak orang apabila jawabannya tidak tepat. Orang Saduki mengambil argumentasi, apabila istri yang ditinggal mati itu secara berurutan memiliki tujuh suami di dunia, maka apabila nanti ada kebangkitan, siapakah diantara yang tujuh itu yang diakui sebagai suaminya? Apabila suaminya diakui tujuh orang, maka timbul masalah, yakni bagaimana mungkin di dunia ini yang dilarang oleh hukum Taurat perempuan bersuami lebih dari satu, namun di sorga kemudian diperkenankan?

 

Memang kalau dilihat secara logika duniawi, pertanyaan orang Saduki ini seolah-olah membuat hal itu menjadi aneh. Akan tetapi Tuhan Yesus menjawab, bahwa manusia dunia saja yang memikirkan perkawinan dan urusan kenikmatan duniawi, gengsi atau status dan garis keturunan seperti itu. Menurut Yesus, di kehidupan nanti situasinya berbeda dengan kehidupan masa kini. Di kehidupan sorga nanti tidak lagi dipersoalkan soal garis keturunan, ikatan suami-istri, kepemilikian harta benda, dan status social duniawi lainnya. Kehidupan sorgawi adalah kehidupan yang hanya berdasarkan roh, bukan fisik atau tubuh duniawi yang membuat manusia berdosa. Dengan demikian, logika orang Saduki bahwa tidak ada kebangkitan setelah kematian menjadi salah. Asumsi yang salah yakni berpikir bahwa kehidupan sorgawi sama dengan duniawi, memang akan membawa kesimpulan yang salah, yakni bahwa tidak ada kebangkitan setelah kematian. Kita harus belajar dari kesalahan cara berpikir yang demikian.

 

Ketiga: kita akan sama dengan malaikat (ayat 35-36)

Kehidupan setelah kematian termasuk kebangkitan orang mati sangatlah logis dan mudah diterima akal sehat. Dasar yang paling utama yakni manusia melakukan banyak hal di dunia dengan berbagai perbuatan baik atau jahat, baik dan buruk, dengan tingkatan kebaikan dan kejahatan yang tinggi rendah, besar kecil.  Maka, pertanyaannya, apakah semua itu menjadi sama perlakuannya setelah seseorang itu mati? Apakah tidak ada perbedaan atau konsekuensi di antara mereka yang berbuat baik dan jahat, yang berbuat semaunya menyenangkan dirinya sendiri dengan seseorang yang selalu peduli dengan orang lain? Tidak masuk akal, bukan? Alkitab berkata, segala perbuatan seseorang itu tidak akan berhenti, akan tetapi selalu menyertainya dan Tuhan akan membalaskannya (Rm. 2:6; Why. 14:13; 22:12).

 

Memang kehidupan setelah kematian tidak mungkin berupa kehidupan fisik atau kebendaan. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah maka secara akal sehat dan tata ruang hal itu akan sangat sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin "menempatkan" manusia yang berpuluh atau bahkan nanti ratusan milyar dalam suatu bumi atau planet? Memang betul, Allah bisa menciptakan apa saja, akan tetapi hal itu menjadi sebuah kesulitan diterima oleh akal sehat. Memang ada pandangan agama lain bahwa manusia yang jahat akan terus berinkarnasi hingga mencapai kesempurnaan, sehingga secara teoritis yang menjadi sempurna sampai di sorga hanya sedikit orang saja. Tetapi bagi kita, Allah yang penuh kasih itu tidak "cocok" memiliki pemikiran yang seperti itu.

 

Maka adalah benar seperti dikatakan oleh Tuhan Yesus, kehidupan setelah kematian yang dibangkitkan adalah tubuh kemuliaan, dalam pengertian yang ada hanya keberadaan roh saja dan bukan tubuh, fisik atau "kasat mata". Tapi itu semua nyata, ril! Inilah maksud yang dikatakan oleh Tuhan Yesus bahwa kita nanti anak-anak-Nya akan menjadi seperti malaikat. Ini juga yang dimaksudkan dengan tubuh kemuliaan, yakni "tubuh tanpa fisik", nyata, ril, serta saling mengenali. Kita akan tahu siapa-siapa yang diselamatkan (Luk. 24:31,39; Mat. 28:9). Kita bisa membayangkan saat Tuhan Yesus bangkit dari kematian-Nya, tubuhnya kadang "menghilang" namun para murid mengenali-Nya. Hal yang utama, keberadaan roh setelah kematian ini tidak lagi mempersoalkan hal-hal duniawi, seperti perkawinan, gairah dan nafsu, anak dan keturunan, makan-minum, dan hal status dan biologis lainnya, sebab semua sudah masuk ke dalam sifat kekal dan sama dengan natur keilahian Allah. Semua sudah bertujuan melayani Allah saja dengan penuh kemuliaan. Ini yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam nats ini, “Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah.”

 

Keempat: Dia adalah Allah orang hidup (ayat 37-38)

Jawaban Yesus diluar perkiraan orang Saduki, yang merupakan inti kebangkitan yakni mengacu kepada kitab-kitab Musa dengan mengutip Kel 3: 6 yang menyebutkan kepada Musa: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Dalam hal ini Tuhan Yesus memakai logika orang Saduki yang percaya bahwa Abraham, Ishak dan Yakub hidup bersama dengan Allah, sehingga sebetulnya ada kebangkitan orang mati. Jawaban ini jelas menohok pandangan mereka serta membuktikan kebenaran Allah beserta otoritas ilahi-Nya. Bahkan perlu diperhatikan dalam ayat berikutnya, yakni orang Saduki tidak bisa menjawab pertanyaan Yesus tentang kedatangan Mesias (ayat 41-44). Oleh karenanya tidak layak manusia menguji kebenaran Allah hanya dengan pikirannya sendiri.

 

Jawaban Tuhan Yesus memberi pelajaran kepada kita yakni ketika orang bertanya tentang hal yang seolah-olah tidak akal, misalnya: "Mengapa Allah membiar orang sakit keras berkepanjangan atau kelaparan?" Atau, "Jika Tuhan sudah tahu apa yang kita akan lakukan, apakah kita masih mempunyai pilihan?" Maka sebagai pengikut Tuhan Yesus kita harus menjawab sebisa mungkin dan mencari akar sebab musabab muncul pertanyaan itu. Sering kali mereka bertanya sebenarnya tidak untuk mendapatkan jawaban, tetapi lebih kepada mendapatkan perhatian saja. Oleh karena itu dalam jawaban kita sebaiknya menjauhkan kecurigaan dan masuk ke dalam persoalan pribadi yang mereka hadapi.

 

Jawaban Tuhan Yesus kepada orang Saduki menegaskan agar kita jangan berpikir bahwa kehidupan nanti di dalam kerajaan sorga merupakan "penerusan" dari kehidupan saat ini. Itu dua kehidupan yang berbeda. Hubungan sesama kita di dunia ini masih terpengaruh dengan kedagingan, waktu, dosa dan kematian, sehingga perhatian kita lebih menonjol kepada hal itu. Kita tidak dapat berpikir tentang sorga dalam sudut pandang dan pemahaman duniawi. Memang kita tidak ketahui semuanya tentang kehidupan nanti, akan tetapi kita tahu bahwa hubungan sesama pribadi nantinya akan berbeda di sini dengan di dunia kekekalan nanti. Kita anak-anak Allah yang dibangkitkan akan mendapatkan kemuliaan bersama dengan Allah. Kematian tidak dapat memutuskan hubungan kita dengan Allah yang Mahabaik itu. Firman Tuhan berkata: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor. 2:9).

 

Kesimpulan

Melalui nats minggu ini kita diingatkan kembali tentang kebangkitan kita yang menjadi pengharapan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah. Kita di dunia kawin dan dikawinkan dan berpikir dengan cara manusia biasa, akan tetapi kehidupan sorga kelak adalah sesuatu yang berbeda dengan kehidupan saat ini. Kebangkitan itu pasti meski kehidupan nanti tidak seluruhnya merupakan penerusan kehidupan masa kini. Kita percaya bagi mereka yang menjadi anak-anak Allah akan memasuki kehidupan roh yang sama dengan malaikat, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus. Dalam kehidupan seperti itu, maka Allah kita itu benar adalah Allah orang hidup, bukan Allah orang mati, sebab di hadapan-Nya semua orang hidup.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 30 Oktober 2022

Kabar dari Bukit

 

IMAN DAN DUA CARA BERSERAH (Hab. 1:1-4; 2:1-4)

 

Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya (Hab. 2:4)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini dari Hab. 1:1-4; 2:1-4. Nas ini dari dua pasal: pertama, berbicara tentang keluhan nabi karena ketidaksetiaan; dan pasal kedua tentang orang yang benar akan hidup oleh karena percayanya. Perikop terakhir ini sama dengan kitab PB yang menuliskan, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17; Gal. 3:11; Ibr. 10:38).

 

Saya tertarik pada sebuah postingan di grup WA yang menuliskan, "aku menyerahkan pergumulanku kepada Tuhan." Saya tidak tahu persis masalah dan pergumulannya, tetapi saya perlu sampaikan bahwa pernyataan itu bisa benar dan bisa salah. Kenapa? Karena iman yang salah akan menghasilkan sikap dan perbuatan yang salah.

 

Ketika dihadapkan pada masalah atau pergumulan, ada dua cara untuk kita berserah kepada Tuhan; keduanya tetap dalam bingkai iman yakni kita percaya Tuhan ada dan mampu menolong kita. Cara pertama berserah, melalui pikiran atau kecerdasan intelektual. Melalui pikiran kita dapat bertanya: mengapa hal itu terjadi? Apa yang dapat kita lakukan untuk menyelesaikannya? Contoh sederhana. Jika sakit batuk, minumlah obat batuk, tentu diiringi doa. Tidak elok kita meminta Tuhan langsung membereskan semua masalah, padahal kita mampu melakukan sesuatu. Jangan juga cepat berkeluh seperti nas minggu ini: “Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, .... Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan?” (ay. 2-3).

 

Kendala berserah kepada Allah melalui pikiran dan kecerdasan adalah ego dan kejujuran. Misalnya, kita berprasangka ada orang yang jahat, kita musuhi, padahal penyebab persoalannya bisa saja dari diri kita. Seringkali kita tidak jujur dan tidak mau merendahkan diri, yang membuat masalah tidak terselesaikan. Padahal, Tuhan mengaruniakan pikiran dan kecerdasan kepada kita, oleh karenanya selalu ada pilihan.

 

Ada kisah orang Farisi yang menganggap diri mereka benar dan menilai negatif orang lain (Luk. 18:9-14). Tapi firman-Nya akhirnya berkata: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ay. 14). Jadi jujurlah dan selesaikanlah, dan Tuhan akan menolong. Jadilah seperti pemungut cukai yang rendah hati dalam cerita nas itu.

 

Selain pikiran, Allah juga menganugerahkan kepada kita perasaan, hati, emosi. Maka cara kedua berserah kepada Allah adalah melalui perasaan, melalui hati. Cara kedua ini lebih dipakai bila cara pertama sudah mentok, buntu. Seorang yang sakit parah dan sudah berobat ke berbagai dokter, berdoa, kemudian dokternya angkat tangan, maka berserahlah kepada Allah melalui totalitas hati dan perasaan. Bila melalui kecerdasan manusia telah buntu, kita tetap memohon mukjizatnya. Jika sudah mentok karena ketidaktahuan dan keterbatasan, kita kembali seperti anak kecil, berserah, menggantungkan kepada ayah-ibunya dengan sepenuh hati.

 

Kedua cara berserah ini berkenan kepada Allah. Hati memang tidak perlu dibenturkan dengan pikiran dan kecerdasan. Derek Prince berkata dalam bukunya Faith to live by, iman itu dasarnya di hati, selalu dinamis, berubah dan bertumbuh. Pengharapan, dasarnya di pikiran. Jika ingin keluar dari masalah, melalui iman kita tidak akan pernah kecewa karena Tuhan pasti memberi yang terbaik. Tetapi jika pengharapan yang dasarnya pikiran semata, seringnya berbuntut rasa kecewa. Itulah pilihannya.

 

Alkitab berkata, "Jadilah kepadamu menurut imanmu" (Matius 9:29). Maka sangatlah baik berserah kepada Tuhan untuk memperlihatkan iman kita teguh. Tetapi jangan itu hanya sebagai kedok untuk membusungkan dada, bersembunyi dari kebenaran dan tidak lurus hatinya (band. ay. 4). Orang benar yang hidup oleh percayanya perlu didasari kebenaran, siap merendahkan diri, dan berusaha yang terbaik untuk mengasihi sesama dan Tuhannya. "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih" (1Kor. 13:13).

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 23 Oktober 2022

Kabar dari Bukit

MENYAMBUT PELANGI (Yoel 2:23-32)

 Dan barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan (Yoel 2:32)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini dari Yoel 2:23-32. Nas ini dua bagian: pertama tentang “Janji Tuhan kepada bangsa yang bertobat” (ay. 18-27); dan kedua, tentang “Hari Tuhan” (ay. 28-32). Bangsa Israel telah menderita oleh hukuman, dan Tuhan menyesal (ay. 13). Maka melalui Nabi Yoel, Allah memberi janji jika mereka bertobat, melalui hati yang koyak berefleksi dari pengalaman buruknya.

 

Allah menjanjikan pemulihan sisi materi dan sisi rohani. Firman-Nya, "Sebab telah diberikan-Nya kepadamu hujan pada awal musim dengan adilnya, dan diturunkan-Nya kepadamu hujan, ….” (ay. 23-24). Pada sisi rohani Allah berfirman, "Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, ..., Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi" (ay. 28, 30).

 

Badai pasti berlalu. Demikianlah kecendrungan pandemi covid saat ini. Tatkala varian Omicron yang lebih “lemah” muncul, dan penduduk semakin banyak yang divaksin, kehidupan seakan kembali mulai normal. Mal, pasar, pesta di gedung, jalanan, mulai ramai kembali. Tetapi kita tidak boleh terlena; selain waspada, kita perlu mencari hikmah dari badai covid tersebut.

 

Yang pertama, kita mesti bersyukur bahwa kita masih hidup saat ini. Mungkin kita menjadi penyintas atau tidak, bukanlah poinnya. Atau ada yang kita kasihi pergi dipanggil Tuhan akibat pandemi ini, bukan menjadi alasan kita tidak bersyukur. Semua yang terjadi ada dalam rencana dan kendali Tuhan. Berserah dan bersyukur, itu ciri orang beriman dan dipakai sebagai balok pendorong (stepping stone) saat kita melangkah dan berlari ke depan.

 

Jumat lalu dalam kuliah “Perencanaan Stratejik Pribadi”, saya sampaikan bahwa perjalanan kehidupan perlu direview setiap 5 tahun, atau kala terjadi perubahan besar. Bila tidak merencanakan ulang, maka kita sebetulnya merencanakan kegagalan. Tuhan ingin kita berubah dan lebih baik. Maka rumuskan ulang misi dan tujuan hidup kita, visi pribadi, prinsip dan nilai-nilai hidup, sasaran-sasaran tiap dimensi kehidupan, dan tentu strategi mewujudkannya. Kehidupan adalah nubuatan yang dipenuhi diri sendiri.

 

Tidak ada gunanya membuang waktu dengan menangisi, menyalahkan keadaan. Sisi buruk masa lalu kita jadikan kaca spion kecil saja dalam mengarahkan mata kita ke jalan depan, yang terbentang penuh keindahan dan pengharapan. Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita (Ibr. 6:19), dan Allah ikut bekerja (Rm. 8:28).

 

Hikmah kedua mari kita tingkatkan ibadah dengan lebih mendekat kepada Tuhan melalui pembacaan firman-Nya, lebih rajin berdoa dan bersekutu, demikian juga memberi dan berbagi. Kita semakin tahu arti, “apa yang kita tabur itu yang kita tuai” (Gal. 6:7). Hikmah ketiga, selama pandemi kita merasakan keindahan dan kebahagiaan bersama keluarga. Kini tetap berikan perhatian. Kita semakin sadar, tanggungjawab pendidikan anak ada pada kita orangtua, setelah merasa kelimpungan saat anak belajar lewat online atau daring.

 

Hikmah lainnya, kita perlu menjaga kesehatan. Serangan covid semakin berbahaya bagi yang memiliki penyakit lain tersembunyi. Menjaga kesehatan melalui makanan dan olahraga, serta ikut menjaga lingkungan hidup akan menjauhkan badai di depan. Dan hal terakhir, kita semakin sadar perlunya menabung, ada dana siaga, sekuat kita mampu.

 

Mari melihat diri kita dengan kacamata baru, menyongsong pelangi. Jangan kuatir, kita jelas semakin kuat setelah badai berlalu. “Kamu akan mengetahui bahwa Aku ini ada di antara orang Israel, dan bahwa Aku ini, TUHAN, adalah Allahmu dan tidak ada yang lain" (ay. 27). Ia, memulai yang baik akan mengakhirinya dengan baik (Flp. 1:6). Tetaplah siap dengan kerendahan hati menyongsong pelangi yang indah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 30 Oktober 2022

Khotbah Minggu Kedua Puluh Satu Setelah Pentakosta Tahun 2022

YESUS DATANG MENCARI DAN MENYELAMATKAN YANG HILANG

(Luk. 19:1-10)

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hab. 1:1-4, 2:1-4 atau Yes. 1:10-18; Mzm. 119:137-144 atau Mzm. 32:1-7; 2Tes. 1:1-4, 11-12

 

Pendahuluan

Dalam perjalannya menuju Yerusalem untuk menyelesaikan tugas misi-Nya, Yesus berhenti dan beristirahat sejenak di Yerikho yang terkenal beriklim sejuk. Kota ini memang sering dipakai untuk beristirahat. Yesus kehausan sehingga berpikir untuk singgah di rumah salah satu penduduk yang mengikuti-Nya. Ternyata Ia menemukan seseorang di atas pohon ara yang berusaha untuk dapat melihat Dia. Hati Yesus tergerak sehingga memutuskan untuk beristirahat di rumah yang memanjat pohon itu, yakni Zakheus, kepala pemungut cukai. Kota Yerikho merupakan kota perdagangan sehingga ada banyak petugas pemungut cukai di situ. Percakapan yang terjadi memberi keselamatan bagi Zakheus sesuai dengan pengajaran di bawah ini.

 

Pertama: kerinduan melihat Yesus (ayat 1-4)

Zakheus menyadari dirinya pendek dan sangat susah untuk dapat melihat Tokoh yang diomongkan banyak orang waktu itu, sebab begitu banyak yang berduyun-duyun datang mengikuti Dia. Tapi ia tidak kekurangan akal, dan keinginan hatinya untuk melihat Yesus Sang Tokoh mengalahkan hambatan yang dimilikinya dan juga dari sekelilingnya. Ia kemudian berlari mendahului orang-orang dan lantas memanjat pohon ara agar dengan mudah melihat Tuhan Yesus. Ia melakukan itu untuk memenuhi keinginan hatinya dan rasa penasaran dari perbincangan orang-orang tentang Dia. Hatinya pun mungkin sedang bergejolak tentang kerinduan perubahan. 

 

Tuhan Yesus mengetahui hati setiap orang. Yesus sudah mengetahui kehadiran Zakheus meski ia di atas pohon. Apa yang dilakukan oleh Zakheus bukanlah untuk mencari perhatian, bukan untuk mendapatkan pujian dari Yesus. Zakheus tahu bahwa dirinya sangat dibenci oleh orang Yahudi sebab ia adalah kepala pemungut pajak yang terkenal sebagai pendosa, sehingga berpikir bahwa Yesus juga mungkin membencinya. Tidak ada sepintas pun dalam pikirannya bahwa Yesus akan menyapanya, apalagi sampai memutuskan singgah di rumahnya untuk berteduh dan minum.

 

Akan tetapi hati Yesus selalu penuh dengan kasih. Yesus melihat kesungguhan hati Zakheus. Ia melihat kerinduan hati Zakheus. Ia tahu bahwa Zakheus telah bergolak hatinya atas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat. Yesus tahu bahwa Zakheus telah berupaya keras dengan berlari mendahului orang-orang, serta mengambil resiko memanjat pohon ara untuk dapat melihat Dia. Sungguh usaha dan pengorbanan yang tidak kecil dari Zakheus. Inilah yang membuat hati Yesus tergerak, lantas memutuskan untuk menyapanya dan menetapkan Ia singgah di rumah pendosa itu. Sebuah keputusan yang kontroversial. Adakah hati kita tergerak untuk mengetahui Yesus dan menemui Dia untuk mendapatkan kasih-Nya seperti Zakheus?

 

Kedua: Yesus mengetahui yang kita perbuat (ayat 5-7)

Tidak ada yang tersembunyi bagi Yesus. Zakheus sebagai kepala pemungut cukai memang sangat dibenci oleh orang Yahudi. Pemerintahan Romawi saat itu terus membutuhkan dana untuk menopang operasi kerajaan mereka yang luas. Cukai atau pajak dalam pandangan umat Yahudi adalah sesuatu yang paganisme, tidak sah, akan tetapi mereka tidak bisa melawan. Sementara pemerintah Romawi terus menekan penduduk dengan pajak yang tinggi dan memakai orang Yahudi sebagai pemungut pajaknya. Pemungut pajak ini, seperti Zakheus, juga memanfaatkan situasi itu dengan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Mereka korupsi dan menjadi kaya. Oleh karena itu di mata umat Yahudi, orang seperti Zakheus dianggap penghianat, sangat dibenci.

 

Yesus bisa melihat hati setiap orang dan melihat kesungguhan kita apabila ingin bertemu dengan-Nya. Mungkin kadang kita merasa takut akan Dia, karena merasa keberdosaaan kita sudah demikian banyak dan berat sehingga tidak layak datang kepada-Nya. Kita berpikir bahwa tidak ada lagi jalan pengampunan bagi dosa-dosa kita yang besar itu. Kadang kita merasa Dia jauh dan susah dijangkau karena kebesaran dan takhta-Nya yang demikian tinggi. Atau kadang kita merasa Yesus itu tidak mau peduli karena kita hanyalah orang kecil yang berdosa, apalagi mengambil resiko untuk dapat mengurus dan menyelamatkan kita.

 

Tapi Yesus adalah Allah kita yang Mahabaik. Ia adalah Allah yang sangat dekat bahkan sedekat doa kita saja. Tidak peduli sebesar atau seberat apa pun dosa kita, Ia akan menolong mengampuni kita dan membebaskan kita dari kuk yang berat itu. Ia bertakhta bukan hanya di tempat Mahatinggi, melainkan Yesus bersedia bertakhta di dalam hati kita, berkuasa atas hidup kita. Ia peduli terhadap satu orang, sama seperti pedulinya dengan 99 orang sebagaimana diumpakan dengan satu domba yang tersesat. Ia tidak memedulikan resiko atas keputusan-Nya untuk menyelamatkan seseorang. Ia tahu bahwa keputusan-Nya untuk singgah dan makan bersama di rumah Zakheus akan membawa kritik kepada-Nya. Memang para penduduk mencemoh Yesus karena makan dengan orang berdosa. Tapi Ia senang bergaul dengan orang berdosa, dengan pemungut cukai, dengan pelacur, demi untuk menyelamatkan mereka. Adakah kita juga bersikap demikian? Adakah kita bergaul dengan para pendosa untuk menyelamatkan mereka? Mungkin juga banyak pejabat atau mereka yang berkuasa korupsi tidak tersentuh hukum dunia, kita tidak boleh menjauhi mereka. Kita tidak boleh menjauh dengan mengasingkan diri dari mereka dan membiarkan mereka tetap dengan lumpur dosanya? Ini peringatan dan teladan dari Yesus bagi kita melalui nats ini.

 

Ketiga: mengembalikan milik Tuhan (ayat 8)

Semua perbuatan kesalahan menurut hukum dunia pasti memiliki konsekuensi hukuman atau denda, sama halnya dengan hukum sorgawi atau hukum rohani juga memberikan konsekuensi yang berat apabila kita melanggarnya. Hukum Yahudi menetapkan apabila seseorang melakukan kesalahan dengan menipu orang lain, maka ia harus mengembalikan dengan dendanya sebesar 20 % (Bil. 5:7). Menggunakan uang persembahan untuk kepentingan diri sendiri, juga harus mengembalikan dengan ditambah denda. Hanya kalau ia terbukti mencuri hewan ternak milik orang lain serta menyembelih/menjualnya, maka ia akan dikenakan hukuman mengembalikan 4 – 5 kali lipat dari kehilangan hewan tersebut (Kel. 22:1). Demikian juga Zakheus tahu bahwa hukum Yahudi memerintahkan setiap orang, khususnya mereka yang mampu dan kaya harus memelihara dan peduli pada orang-orang miskin.

 

Zakheus mengetahui semua hukum dan aturan itu. Ia bukan orang bodoh, melainkan orang pintar sehingga diangkat menjadi kepala pemungut cukai. Akan tetapi hatinya lagi bergolak menyadari perbuatannya yang salah. Ia mengetahui dari sikap orang lain padanya dari olok-olok atau kebencian. Ia merasa berdosa dan menyadari bahwa hidupnya perlu diluruskan. Maka ia memutuskan ingin tahu siapa itu Yesus dan ketika Yesus menyapanya dan memutuskan untuk singgah di rumahnya, ia langsung bersukacita. Diperkirakan dari percakapan di rumahnya, Zakheus langsung menetapkan pertobatan dan kemudian berkata: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." Hatinya berbalik setelah mendengar perkataan Tuhan Yesus. Dan yang utama, pertobatannya berbuahkan tindakan.

 

Mungkin kita pernah melakukan perbuatan tercela dan menerima hasil yang bukan menjadi hak kita. Mungkin kita pernah korupsi atau menipu atau mengambil keuntungan yang salah dari seseorang. Saatnya kita bertobat dan menyadari keharusan pengembalian yang bukan milik kita. Pengembalian yang bukan hak kita dapat dilakukan dengan menemui mereka atau menyerahkan apa yang dituntut. Pengembalian dapat dilakukan juga melalui pekerjaan Tuhan, sebagaimana Zakheus memberikan kepada orang miskin, juga kepada panti-panti, membiayai penginjilan dan pekerjaan Tuhan lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam hati harus menjadi perubahan dalam tindakan (inward change into outward change). Itu adalah cara yang benar sesuai dengan pesan dalam teks yang kita baca. Kita perlu menguduskan semua milik kita dengan memohon pengampunan kepada-Nya. Pertobatan jangan hanya sebatas hati, tetapi juga dalam tindakan. Sudahkan kita melakukannya?

 

Keempat: mencari dan menyelamatkan yang hilang (ayat 9-10)

Tuhan Yesus menyelipkan kekhususan pertobatan Zakheus dengan mengatakan bahwa ia pun adalah anak-anak Abraham. Ia mengatakan itu karena di lingkungan orang Yahudi sehingga menekankan pengutamaan orang-orang di dekat mereka untuk diselamatkan. Yesus menekankan pentingnya lingkungan dekat kita, saudara-saudara kita, orang-orang di sekeliling kita untuk diselamatkan terlebih dahulu. Tidak usah jauh-jauh untuk penginjilan, utamakan yang dekat-dekat dahulu. Banyak orang di sekitar kita melupakan Yesus bahkan belum mengenal kasih-Nya. Maka kita dipanggil untuk memperkenalkan kasih-Nya kepada mereka. Banyak yang terhilang dan memerlukan keselamatan.

 

Penyelamatan Zakheus mengajarkan kita untuk membawa Injil kepada orang yang dibenci masyarakat. Yesus datang untuk mencari dan membebaskan orang-orang dari jerat dosa. Ia melihat hati setiap orang yang rindu akan pertobatan, yang rindu akan pemulihan. Ia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Kita adalah "petugas-petugas" yang menyebar umpan agar semakin banyak orang "dikail" dan mengikut Yesus. Sebagaimana Tuhan Yesus mengasihi para pendosa yang terhilang maka kita pun wajib mengasihi mereka. Adalah sangat sukar seseorang yang sudah jauh tersesat dapat menemukan jalan kembali, sama seperti halnya menemukan jalan menuju Kerajaan Allah. Kita dipanggil untuk menunjukkan jalan itu dan memperlihatkan iman keselamatan kita kepada mereka.

 

Keselamatan dan anugerah tersedia bagi semua orang. Tidak ada pekerjaan atau perbuatan yang nista dan hina ditolak untuk menerima keselamatan. Memperkenalkan Yesus kepada mereka sama seperti menjadikan mereka sebagai anak-anak Abraham secara rohani, sama seperti kita. Janji itu ada bagi semua orang dan tugas kita menyebarkan kasih-Nya untuk memberikan janji itu kepada mereka. Keselamatan bukan datang karena faktor keturunan, jabatan, atau kelebihan lainnya, melainkan hanya karena pertobatan, iman dan diterimanya anugerah yang tersedia. Yesus datang ke dunia menawarkan itu, mencari dan menyelamatkan mereka yang hilang.

 

Kesimpulan

Mungkin ada diantara kita yang rindu untuk mengenal atau mendekat kepada-Nya. Atau kita takut datang kepada-Nya karena keberdosaan yang kita miliki. Kerinduan itu harus kita perlihatkan kepada Yesus, agar Ia berinisiatif memanggil kita untuk masuk ke dalam rumah dan hati kita. Demikian juga di sekitar kita masih banyak yang belum mengetahui jalan itu, baik karena mereka dikucilkan atau kesombongan atau ketidaktahuan sama sekali, mereka adalah orang-orang tersesat yang memerlukan keinsyafan untuk bertobat. Pertobatan yang terjadi juga jangan hanya slogan iman belaka, tetapi harus diikuti dengan perbuatan khususnya mengembalikan yang bukan milik dan melayani Tuhan. Itu sebagai respons positif atas anugerah keselamatan Allah di dalam Tuhan Yesus, sehingga kita semua akan menjadi anak-anak rohani Abraham yang siap menerima janji-Nya.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 23 Oktober 2022

Minggu Kedua Puluh Setelah Pentakosta Tahun 2022

BARANGSIAPA MENINGGIKAN DIRI, IA AKAN DIRENDAHKAN

(Luk 18:9-14)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yo 2:23-32 atau Yer 14:7-10, 19-22;

Mzm 65 atau Mzm 84:1-7; 2Tim 4:6-8, 16-18

 

Pendahuluan

Minggu ini kita diberikan pengajaran tentang bagaimana sikap kita ketika datang menghadap Allah untuk berdoa. Hakekat berdoa tentulah pengakuan campur tangan dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari, dan sikap itu mencerminkan permohonan belas kasihan akan pembenaran Allah tentang apa yang kita lakukan dan kita minta. Melalui perbandingan dua orang yakni seorang Farisi sebagai tokoh agama orang Yahudi yang berdoa dengan cara yang menurutnya benar, dengan sikap berdoa seorang pemungut cukai yang sudah dicap sebagai pendosa. Tuhan Yesus kemudian membandingkan sikap berdoa kedua orang ini. Melalui perbandingan dalam nats ini, kita diberikan pengajaran berdoa oleh Tuhan Yesus sebagaimana diutarakan berikut.

 

Pertama: perbuatan kebaikan dalam hidup (ayat 9-10)

Kalau sebelumnya Tuhan Yesus mengkontraskan seorang janda dengan hakim dalam perumpamaan-Nya, maka kali ini Ia juga mengkontraskan antara seorang Farisi dengan pemungut cukai. Ia memakai pribadi kontras ini untuk membandingkan bagaimana sikap berdoa di hadapan Allah. Pengertian berdoa yang dimaksudkan adalah dalam hal kita berkomunikasi dengan Allah, memanjatkan syukur dan pujian, memohon pengampunan atas dosa dan kesalahan, "melaporkan kegiatan kehidupan kita", memohon pertolongan atas pergumulan kita, dan menaikkan permohonan akan kebutuhan dan pengharapan kita di dunia ini dan di kehidupan nanti. Dengan demikian maka hakekat doa bagi kita orang percaya adalah wujud ekspresi sikap dan keyakinan akan ketergantungan kita kepada Allah.

 

Doa adalah sebuah tahapan awal ketika kita memulai sesuatu. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan hanya dengan berdoa. Oleh karena itu ada slogan atau pameo: Ora et Labora, berdoa dan bekerja. Maka di dalam perbuatan atau bekerja inilah diperlihatkan kesejatian dari keyakinan kita akan rasa syukur dan pengharapan kepada Allah. Manusia diciptakan tidak hanya bisa meminta dan meminta. Manusia diperlengkapi untuk memberi dan memberi dan kita ingat pesan Tuhan yang indah bahwa adalah lebih berbahagia mereka yang memberi dari pada menerima (Kis 20:35). Maka melalui sikap, pemberian dan perbuatan, maka semua itu akan membuktikan apa yang kita yakini dan ucapkan, tidak hanya OMDO (omong doang).

 

Allah memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan baik, bukan saja dalam ketaatan kepada aturan-aturan akan tetapi juga dalam pemberian dan pengorbanan yang kita berikan kepada orang lain. Ketaatan pada aturan tentu saja meliputi dua aspek utama yakni tidak melanggar larangan dan melakukan perintah-Nya. Maka apabila semua itu dapat terjadi, kita akan bersyukur dan bersuka cita karena Allah memampukan kita melakukannya. Kita tidak dapat berbangga apalagi menyombongkan hal yang kita lakukan itu, sebab itu sudah menjadi kewajiban dasar dan tidak ada istimewanya. Apalagi, kemanusiaan kita membuat apa yang kita lakukan itu sebenarnya belum tentu maksimal atau terbaik. Hal inilah yang digambarkan dalam nats yang kita baca, bagaimana kita melihat apa yang sudah kita lakukan itu sesuai dengan sikap dan keyakinan kita akan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Kedua: memuji diri (ayat 11-12)

Orang Farisi yang digambarkan dalam bacaan kita ini sedang berdoa kepada Tuhan. Ada beberapa aspek yang perlu kita lihat dalam hal ini, yakni sikap dalam berdoa dan apa yang disampaikan dalam doa tersebut. Hal yang pertama kita lihat adalah, orang Farisi ini sudah menempatkan dirinya “lebih” baik dan lebih tinggi dari pada orang lain. Ia dengan bangga tegak berdiri dengan pengharapan akan dilihat orang. Ini adalah pemujaan terhadap diri sendiri. Tuhan Yesus berkata janganlah berdoa di pinggir jalan tetapi apabila kamu berdoa masuklah ke dalam kamar (mat 6:6). Memang berdoa berdiri tidak dilarang dalam Alkitab (band. Mat 6:5) akan tetapi sikap yang lebih baik adalah kita tunduk dan sudjud menempatkan diri secara rendah di hadapan Tuhan.

 

Hal kedua yakni apa yang disampaikan dalam doanya itu menganggap dirinya benar dan membanggakan diri kepada Allah. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai itu. Alangkah piciknya orang seperti itu apalagi membandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya. Meski doanya diucapkan dalam hati, akan tetapi itu sudah merupakan sikap hatinya terhadap Allah dan orang-orang yang disekelilingnya. Siapakah kita ini yang bisa berbangga diri? Siapakah kita ini yang bisa menyombongkan diri? Bukankah seperti yang disampaikan di atas tadi, kita pasti belum maksimal memberikan bagi Tuhan, oleh karena itu mohonkanlah pengampunan bukan kesombongan.

 

Hal ketiga yakni ia membanggakan apa yang sudah dilakukannya yakni dengan berpuasa dua kali seminggu, memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya Padahal kita tahu bahwa kebiasaan orang Farisi berpuasa adalah dengan memperlihatkan diri sedang berpuasa untuk mendapatkan pujian, sehingga Tuhan Yesus berkata agar apabila berpuasa maka minyakilah rambutmu, sehingga orang lain tidak mengetahui kita sedang berpuasa (Mat 6:17-18)). Demikian juga dengan menyombongkan pemberian persepuluhan, kita tahu orang Farisi memeras penduduk dengan mengambil persepuluhan dari semua yang orang miskin miliki termasuk adas dan jinten yang merupakan tanaman obat saja (Mat 23:23). Itu sungguh perbuatan tercela dan tidak layak untuk dibanggakan pada Allah.

 

Ketiga: kerendahan hati (ayat 13)

Sebaliknya yang dilakukan oleh pemungut cukai yang juga berdoa di tempat itu. Pemungut cukai adalah lambang orang (paling) berdosa dalam Alkitab, karena mereka ini dianggap mengambil hak orang lain dengan cara paksa yang membuat banyak orang lain menderita. Memang ada beberapa jenis kaum pendosa, yakni mereka yang dengan bangga menyombongkan buah dosanya (seperti kekayaan hasil korupsi) bahkan perbuatan dosanya itu (mempunyai istri lebih dari satu). Demikian juga pendosa ada yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya sungguh tidak berkenan kepada Tuhan, tetapi mereka tidak atau belum mampu untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman dosa itu.

 

Untuk mereka yang pertama, apabila tidak ada pertobatan, maka akhir hidup mereka akan berada di penghakiman. Sementara mereka yang sadar berdosa dan masih berusaha berkutat dalam pergumulan untuk keluar dari jerat itu, Allah kita yang Mahabaik itu akan mendengar keluhan kita. Mereka yang secara jujur datang kepada Tuhan dengan rasa takut dan hormat, serta di dalam pengharapan belas kasihan dari Yesus, maka Tuhan kita itu akan mempertimbangkan dengan adil dan penuh hikmat. Hal itulah yang disadari dan dilakukan oleh pemungut cukai itu. Ia menyadari keberdosaannya dan menyadari ketidakmampuannya lepas dari jerat dosa itu. Ia datang memohon kepada Yesus dengan rasa takut dan hormat serta penuh pengharapan.

 

Pemungut cukai itu memukul-mukul dadanya sebagai ekpresi penyesalan yang dalam (band. Yes 66:2; Yer 31:19). Sikap seperti itu hanya dapat terjadi apabila kita dalam kerendahan hati. Ia tidak menyukai apa yang dilakukannya. Ia menangis dan meratapi perbuatannya yang hina dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Meski ia datang membawa persembahan (dari kata mendamaikan" Yun: hidasthēti yakni mempersembahkan kurban, band. Ibr 2:17), namun ia tidak berani menengadah ke atas ke arah langit dalam pengertian ia merasa malu dan menyesali apa yang sudah dilakukannya. Itu adalah sikap pertobatan sejati, menyesali apa yang sudah terjadi dan memohon pengampunan dan pertolongan Tuhan agar diberikan pengasihan. Sikap sadar bahwa yang kita lakukan adalah salah atau kurang sempurna, atau belum melakukan yang optimal sesuai dengan kehendak Yesus, maka selayaknya kita datang dengan merendahkan diri.

 

Keempat: meninggikan diri dan direndahkan (ayat 14)

Ketika kita datang kepada Tuhan, kita tidak boleh merasa diri kita benar. Sikap membenarkan dan membesarkan diri sendiri sangat berbahaya dalam ekspresi kita menghadap Allah, dan membuat bahwa apa yang kita lakukan menjadikan seolah-olah semua itu adalah usaha kita sendiri dan prestasi kita. Jangan seperti orang Farisi seolah-oleh menyiratkan sedikit pun ia tidak membutuhkan pengasihan. Sebaliknya kita diajarkan bahwa datang kepada Tuhan haruslah merasa belum memberikan yang terbaik kepada Tuhan dan tidak layak menghadap Allah. Itu bukan berarti bahwa Tuhan menuntut dan menuntut yang lebih besar dan lebih banyak, melainkan bahwa kita yang sadar bahwa yang kita berikan melalui hati, pikiran, perasaan dan perbuatan belumlah sebanding dengan berkat dan penebusan keselamatan yang diberikan kepada kita.

 

Kita tetap memerlukan belas kasihan dan karunia dari Allah. Kita harus meneladani apa yang dilakukan Tuhan Yesus yakni dengan turun dari takhta sorga dan menjadi hamba yang sengsara dan mati di kayu salib, serta merendahkan diri dan taat setia sampai mati (Flp 2:7-8). Itu adalah benchmark atau patokan kita sehingga apa yang kita lakukan belumlah sebanding dengan apa yang Dia lakukan bagi kita. Merendahkan hati dan diri ketika datang ke hadirat-Nya merupakan ekspresi penyembahan yang sejati dan bukan pertobatan yang palsu atau penyembahan dan peninggian diri sendiri. Sikap kita haruslah seperti anak kecil yang tulus dan meminta dengan ekspresi ketergantungan total akan belas kasihan-Nya. Sikap bagaikan anak kecil ini membuat kita akan lebih mudah dibenarkan oleh Allah.

 

Ketika kita berdoa maka tujuan kita adalah dibenarkan oleh Allah sebelum Ia mengabulkan doa kita. Faktor pembenaran ini sangat penting sebab apa yang menjadi pergumulan dan pengharapan kita di dalam doa, itu terlebih dahulu dibenarkan oleh Allah yang kita butuhkan. Akan tetapi ketika kita sudah merasa benar dan apalagi hebat, maka dalam menghadapi seperti itu, sikap merendahkan orang lain dan meninggikan diri diri sendiri jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan bagi Allah. Alkitab mengajarkan justru kita harus meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri (band. 2Kor 11:7; Flp 2:3). Tuhan Yesus dengan tegas memberi pengajaran sebagaimana pada ayat terakhir, bahwa barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (band. Mat 23:12; Yak 4:10).

 

Kesimpulan

Adalah merupakan kewajiban kita untuk melaksanakan perintah Tuhan Yesus dalam hidup kita sehari-hari, baik itu dalam perintah larangan maupun perintah ketaatan dalam melakukan perbuatan baik dan berkenan kepada-Nya. Demikian juga kita wajib “melaporkan” segala sikap dan perbuatan kita kepada-Nya melalui doa. Akan tetapi doa bukanlah hal sepele yang hanya berupa laporan saja terlebih membanggakan apa yang sudah kita perbuat. Berdoa untuk datang kehadapan-Nya haruslah dengan sikap rasa penyesalan, yang didasarkan pada kerendahan hati dan pertobatan bahwa kita masih terjerat belenggu dosa dan yang kita perbuat belumlah yang terbaik sesuai dengan apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita. Oleh karena itu, janganlah kita meninggikan diri di hadapan-Nya melainkan tetap dalam kerendahan hati. Sebab seperti kata firman-Nya, siapa yang meninggikan diri pasti akan direndahkan.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ramles M. Silalahi

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 16 guests and no members online

Login Form