Friday, May 02, 2025

2025

Khotbah (2) Minggu V Prapaskah 6 April 2025

Khotbah (2) Minggu V Prapaskah 6 April 2025

 

 AKU MANUSIA BARU (Yes. 43:16-21)

 

 “Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (Yes. 43:19)

 

 

 

 

Firman Tuhan di hari Minggu ini bagi kita adalah Yes. 43:16-21. Ini nas kesaksian nabi Yesaya tentang kemahabesaran Allah, dalam karya tangan-Nya, sejak zaman purbakala bumi diciptakan dan Israel dibentuk serta dipilih-Nya. Allah menghukum manusia demi keadilan dan kuasa-Nya, tetapi Ia Maha Pengampun, yang dapat melupakan kesalahan umat di masa lalu atas dasar kasih-Nya.

 

 

 

Firman-Nya, "Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (ay. 18-19a). Yesaya berkeyakinan, Allah akan melakukan perkara-perkara besar ke depannya bagi yang sudah berbalik kepada-Nya, menjadi manusia baru. “Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (ay. 19b).

 

 

 

Bagaimana dengan kita? Semua kita pasti tidak ada yang sempurna. Kita mungkin masih terbelenggu dengan sifat manusia biasa yang berdosa. Ketika saya diminta menjadi pendeta, saya juga masih orang yang mudah jatuh ke dalam dosa. Saya belum siap. Tapi setelah diyakinkan, saya bersedia. Kunci jawabannya: jangan fokus melihat diri sendiri, tetapi membuka kesempatan kita menjadi berkat bagi orang lain.

 

 

 

Menjadi manusia baru tidak perlu menjadi sempurna. Menjadi manusia baru hanya perlu pengakuan, tekad dan keyakinan, siap menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan Yesus, percaya kepada Allah yang hidup di dalam Roh Kudus, yang akan terus menolong dan memimpin kita untuk semakin serupa dengan Dia. Itu titik mulainya. Susah? Tentu tidak.

 

 

 

Kedua, tanggalkanlah semua bebanmu. Jangan dosa lampau terus membayangi. Bebaskan dan selesaikan persoalan dengan saudara dan teman. Tidak perlu berjumpa untuk minta-minta maaf. Pikiran kita saja yang perlu disetel. Kalau ketemu, ya sapa dan salam, senyum. Menjadi manusia ciptaan baru: yang lama sudah berlalu (2Kor. 5:17a). Oleh karena itu ada ungkapan, kebahagiaan kita tidak tergantung kepada orang lain, tetapi dari diri sendiri. Jika ingin tahu siapa yang dapat melakukan itu, lihatlah cermin. Wajah di cermin itulah yang dapat membuat kita bahagia. Susah? Ya sedikit. Pelan-pelan pasti bisa.

 

 

 

Ketika datang kepada Tuhan Yesus, pengampunan tidak terjadi besoknya atau seminggu, atau tahun depannya. Pertobatan adalah menyadari Tuhan baik, dan bertekad untuk siap terus dibarui. Tentu setelah bertobat, kita masih akan berdosa, dan itulah kemanusiaan kita. Tetapi roh kita, semangat kita, terus siap dibaharui. Alkitab mengajarkan, pengudusan kita sebagai anak-anak Tuhan berlangsung terus-menerus seumur hidup (2Kor. 3:18; Ef. 4:13; 2Pet. 3:18). Puncak pengudusan adalah kesempurnaan yakni terjadi kelak di sorga (Flp. 1:6; 1Tes. 5:23)

 

 

 

Ketiga, mulailah menjalani hidup yang sesuai dengan dua hukum utama umat Kristen. Kasihilah Allah dan kasihilah sesamamu. Mengasihi Allah, bagian besarnya adalah menyukai firman-Nya. Rajin berdoa dan berserah, tidak memaksa mengikuti pikiran sendiri. Mencintai sesama, pun tidak harus memberi, tapi melakukan sesuatu sesuai ajaran Yesus: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7:12). Simpel kan? Jadi, sebelum bertindak, berbuat, atau menulis sesuatu pesan, pikirkan dahulu, apakah hal itu mengikuti prinsip di atas. Jika ada yang senang membuat orang lain susah, saya kira mereka terjerat iblis!! Iblis memang terus mengganggu dengan pikiran sesat.

 

 

 

Yang terakhir, teruslah berbuah, menjadi berkat. Mulai dari hal kecil, berdoa bagi semua yang telah menolong kita, berdoa bagi semua keluarga, pengurus gereja dan perkumpulan. Ringan tangan dalam membantu, rajin ikut berperan. Bila diberi Tuhan berkat, berbagi. Menjadi manusia baru: sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17b).

 

 

 

Oleh karena itu, ketika orang bertanya kepada kita, apakah kita sudah menjadi manusia baru? Jawablah: Aku manusia baru. Ada keinginan untuk meninggalkan yang lama, rindu yang baru datang. Peganglah, semua akan menjadi sempurna hanya ketika kita meninggalkan dunia ini dengan iman yang teguh kepada Dia.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu V Prapaskah 6 April 2025

Khotbah (3) Minggu V Prapaskah 6 April 2025

 

 PERKARA-PERKARA BESAR (Mzm. 126:1-6)

 

 "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai" (Mzm. 126:5).

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita pada Minggu V Pra Paskah ini diambil dari Mzm. 126:1-6 (nas lainnya menurut Leksionari Yes. 43:16-21; Flp. 3:4b-14; Yoh. 12:1-8). Mazmur ini merupakan mazmur yang diduga ditulis Nabi Ezra, sebagai ekspresi sukacita bangsa Yahudi setelah dibebaskan dari pembuangan oleh Raja Koresh. Tangan Tuhan selalu bekerja dan tidak membatasi cara yang lazim dipikirkan manusia. Raja Koresh tidak mengenal Allah Israel, tetapi ia dipakai-Nya sebagai alat pembebasan umat-Nya (2Taw. 36:22). Pikiran manusia terbatas untuk rencana dan karya Allah Mahabesar yang tak berbatas.

 

 

 

Umat Israel bersukacita karena Tuhan telah melakukan perkara-perkara besar dalam kehidupan mereka. Ini sama dengan kita tatkala datang berita sukacita besar, atau kita terbebas dari belenggu pergumulan besar. Dan ini juga sama dengan saat kita ditebus-Nya, dibebaskan dari maut neraka. Semua bagai mimpi (ayat 1), mulut penuh tawa dan lidah bersorak-sorai (ayat 2-3). Dalam keadaan itu, kita layak menyanyi memuji meninggikan nama-Nya.

 

 

 

Dalam sukacita kita tidak boleh melupakan yang lain. Asyik sendiri bukan ciri Kristiani. Mazmur ini pun mengajak yang sudah dibebaskan untuk berdoa bagi mereka yang belum bebas. Tantangan baru juga nyata di negeri sendiri. Mereka pun memohon dipulihkan. Digambarkan mereka bagaikan batang air kering di Tanah Negeb. Tandus. Penghiburan dan kekuatan terus mereka berikan bagi saudara-saudara yang masih dalam pembuangan dan pergumulan bersama, agar tetap kuat dan setia. Janji Tuhan jelas dan pasti: "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai" (ayat 5).

 

 

 

Pesan terakhir nas ini, tetaplah sabar saat pergumulan, dengan keyakinan kita selalu ada dalam tangan kasih pemeliharaan Allah. Manusia harus menyesuaikan dengan maksud dan rencana-Nya, meski kadang kala kita tak harus mengerti. "Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu (Yes. 55:9).

 

 

 

Memaksakan kehendak jelas tidak disukai-Nya. Justru kita diminta, dalam segala situasi kondisi terus berkarya, maju menjadi saksi, menabur benih, memperlihatkan keteguhan. Seperti ayat 6 penutup mazmur ini: "Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Dan, orang yang melihat tetapi tidak mengenal Allah kita pun akan berkata: "TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!" Hosiana....

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu IV Prapaskah 30 Maret 2025

Khotbah Minggu IV Prapaskah 30 Maret 2025

 

 BERDOSA KEPADA TUHAN DAN KEPADA MANUSIA (Luk 15:1-3, 11b-32)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yos 5:9-12; Mzm 32; 2 Kor 5:16-21

 

 

Pendahuluan

 

Dalam memasuki minggu keempat pra-paskah ini kita terus diingatkan agar tetap melakukan hal yang berkenan kepada Allah, khususnya dengan cara lebih bersedia berkorban dan menahan keinginan daging untuk sesuatu yang lebih berharga di masa mendatang. Nats minggu ini bercerita tentang seorang ayah yang kaya memiliki dua anak, dan ternyata anak yang bungsu meminta agar dilakukan pembagian warisan meski ayahnya belum meninggal dengan tujuan ia bisa menikmati harta ayahnya tersebut. Anaknya yang sulung sementara tetap bertahan bersama ayahnya dan ikut bekerja bersama ayahnya, sampai kemudian adiknya kembali setelah menghabiskan harta bagiannya.

 

 

Perumpamaan (sebenarnya ini lebih tepat disebut sebagai kisah nyata) yang diberikan oleh Tuhan Yesus memberi kita pelajaran yang sangat berharga sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Hindari berpikir pendek (ayat 11b-16)

 

Apa yang dilakukan oleh anak bungsu tersebut tidak lain merupakan pikiran jangka pendek. Ia melihat ayahnya memiliki harta yang banyak dan mungkin merasa tidak bebas untuk menggunakan sesuai keinginannya. Ia melupakan bahwa apa yang diperoleh orang tuanya merupakan hasil usaha kerja keras yang panjang dan memerlukan kesabaran dalam memupuk dan menyimpannya. Sementara itu anaknya berpikir bahwa itu adalah hasil yang merupakan haknya, tanpa memperhitungkan bahwa hak tersebut sebenarnya belum saatnya dinikmatinya.

 

 

 

Tidak dijelaskan alasan mengapa ayahnya menyetujui pembagian tersebut, meski ada dugaan anaknya meminta pembagian harta tersebut dengan cara memaksa dan mengancam. Ada juga kemungkinan ayahnya tidak mau pusing dan berharap dengan pemberian pembagian tersebut, anaknya bisa berubah menjadi orang baik. Sebab menurut hukum Yahudi, anak bungsu hanya memperoleh 1/3 bagian dan biasanya hanya dapat diambil jika ayahnya sudah meninggal (Ul 21:16; band Im 25:23-28). Namun yang kita lihat, anaknya berpikir lebih baik ia menjual harta tersebut dan pindah kota, jauh dari saudara dan ayahnya sehingga bebas untuk menggunakan apa yang sudah dimilikinya.

 

 

 

Sangat mudah ditebak, dengan pengalaman yang sangat minim dalam mengelola uang, dan mungkin disertai keinginan besar untuk berfoya-foya dengan harta yang sudah dikuasainya, maka tidak perlu waktu yang lama untuk menghabiskan harta itu dan menjadikan ia miskin. Akhirnya, untuk bertahan hidup, ia rela bekerja sebagai penjaga ternak babi, sesuatu yang hina dan terkutuk bagi orang Yahudi (Im 11:7). Bahkan untuk makan saja, ia kadang harus mengambil makanan babi yang dijaganya. Benar kata perumpamaan, "laut pun kalau ditimba terus, akan menjadi kering," berlaku dalam kisah ini.

 

 

 

Pelajaran yang kita ambil adalah janganlah pernah berpikiran pendek, terlebih itu untuk kepuasan sesaat. Biasanya pikiran pendek ini lahir dari pendekatan emosi dan bukan akal sehat. Banyak contoh konkrit akibat berpikiran pendek, yang kemudian mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan. Pikiran pendek, seperti berpacaran yang berakibat hamil duluan, pikiran pendek dalam bekerja sehingga korupsi, pikiran pendek yang emosional sehingga terlibat dalam perkelahian, dan sebagainya. Ini semua jelas akan berbuah penderitaan dan kesengsaraan. Oleh karena itulah firman Tuhan mengatakan pentingnya buah Roh yang disebut dengan penguasaan diri (Gal 5:23). Penguasaan diri membuat diri kita bersabar, membuat perencanaan, berfikir logis dan panjang, sehingga bisa berbuah manis. Kita jangan melupakan prinsip dan pepatah yang mengatakan, "berakit-rakit ke hulu, berenang- renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, (barulah) bersenang-senang kemudian.”

 

 

 

Kedua: Penyesalan tidak pernah terlambat (ayat 17-19)

 

Hal yang positip dari si bungsu ini, ketika menyadari bahwa dirinya sudah tidak memiliki apa-apa, ia rela bekerja demi sesuap nasi, bahkan untuk ukuran yang hina bagi orang Yahudi. Ia tidak putus asa dan mengambil jalan pintas misalnya berbuat kejahatan atau bunuh diri. Ia menyadari betapa "bodoh"nya harus bertindak seperti itu. Ia berpikir kalau ia kembali, pasti ayahnya mau mempekerjakan dia sebagai hamba dan bisa menerima upah. Tidak seperti keadaannya sekarang untuk makan pun kadang-kadang mengambil jatah babi peliharaannya. Ia menyesal atas kekeliruannya dan memutuskan kembali kepada ayahnya. Dalam tahapan ini ia menyadari keberadaannya, yakni bagaimanapun juga ia adalah tetap anak ayahnya.

 

 

 

Pelajaran dari situasi ini adalah, seseorang baru menyadari keberadaan dan statusnya yang baik dan benar hanya ketika ia ada di dalam jalan Allah. Di dalam jalan Allah kita berpikir menjadi terang benderang, tidak terselimuti kabut gelap dari si iblis, sehingga kehilangan arah dan tujuan hidup. Ketika seseorang berpikiran jahat dan "picik", maka mata rohaninya akan tertutup, ia kehilangan pengenalan akan jati dirinya, tidak menyadari statusnya yang benar sebagai ciptaan baik dengan maksud tujuan baik.

 

 

 

Penyesalan tidak pernah terlambat. Better late than never. Dengan rasa takut-takut anak bungsu ini mencoba kembali ke tempat ayahnya, sambil berharap dari jauh semoga ayahnya mengasihinya, memberi kesempatan kerja, walau sebagai hamba orang upahan. Tetapi apa yang terjadi adalah, ayahnya cepat melihatnya dari jauh, yakni sebagai tanda berharap dan kerinduan anaknya yang hilang kembali. Begitu ayahnya melihatnya, hati ayahnya bersukacita dan menyambutnya dengan penuh syukur dan sambutan yang luar biasa. Pertobatan membuahkan hasil. Ayaknya member pengampunan, sebagaimana Allah merindukan setiap orang yang keluar dari jalan Allah untuk kembali kepada-Nya. Pintu pengampunan Allah tersedia. Inilah yang disampaikan dalam bacaan lain minggu ini, "Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN…." (Mzm 32:1-2).

 

 

 

Ketiga: Berdosa kepada Tuhan dan kepada manusia (ayat 20-24)

 

Sikap penyesalan anak bungsu ini didasari kesadaran bahwa ia telah berdosa kepada Bapanya di sorga dan juga kepada ayahnya. Ia menyadari sikapnya yang menuntut pembagian harta warisan yang belum pada saatnya dan menghabiskan uang penjualannya, jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan kepada Allah. Hukum Allah telah diatur sedemikian saat itu bahwa selama ayahnya masih hidup, semua manfaat harta dan kekayaan mereka masih dinikmati dan diatur oleh ayahnya, sampai kemudian ia meninggal dan pembagian harta diperkenankan. Anak bungsunya lupa bahwa Allah memberi sesuatu atau berkat kepada seseorang pasti untuk tujuan menjadi alat sukacita dan berkat bagi orang lain, bukan untuk dirinya sendiri, sehingga nama Allah dimuliakan.

 

 

 

Anak bungsu ini sadar. Ia sadar mendukakan hati Bapa di sorga, sekaligus mendukakan hati ayahnya karena menghabiskan harta warisan dan menjadi miskin. Ia telah telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapanya. Kesadaran berdosa kepada Bapa di sorga biasanya lebih mudah dilakukan orang dengan datang untuk mohon pengampunan. Justru hal yang paling sulit dilakukan orang adalah menyadari bahwa ia juga bersalah dan "berdosa" kepada manusia serta berani datang untuk mohon pengampunan. Hal inilah yang bisa ditarik sebagai pelajaran dari cerita ini, ketika kita menyadari kesalahan kepada Bapa di sorga, maka mungkin kita harus menyadari adanya kesalahan kepada manusia yang perlu diselesaikan. Mari kita selesaikan kekurangan kita bukan saja kepada Allah di sorga, tetapi juga kepada manusia sehingga semuanya menjadi lebih mulus dan bersih.

 

 

 

Kita bisa berandai-andai apabila anak bungsu tersebut hanya datang kepada Bapa di sorga dan tidak datang kepada bapanya untuk meminta belas kasihan, maka pemulihan yang dialami anak tersebut tidak bisa total. Pemulihan total akan berbuah maksimal. Ini yang dialami anak bungsu itu, ayahnya memperlihatkan sukacita yang besar, diberi pemulihan yakni kehormatan (lambang jubah), kemenangan dan kuasa (lambang cincin), kebebasan dan status anak (lambang sepatu), serta peneguhan dan rasa syukur (lambang pesta). Sikap ayahnya ini merupakan cermin sikap Bapa di sorga yang menyambutnya juga dengan sukacita, tidak ada penghukuman dan tuduhan-tuduhan, melainkan lebih menekankan kepada kembalinya seorang anak yang bertobat dan mengakui kesalahannya.

 

 

 

Keempat: Cara pandang yang salah (ayat 25-32)

 

Hal buruk yang tidak boleh ditiru dalam kisah ini adalah sikap dan perilaku anak sulung, yang memiliki sifat tidak mengasihi. Ketika ia mengetahui bahwa adiknya kembali dan ayahnya menyambutnya dengan pesta meriah, ia memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan. Anak sulung ini bahkan berkata, mengapa ia yang taat, melayani ayahnya dan tidak menuntut warisan, justru belum pernah disambut ayahnya dengan cara demikian? Sementara menurutnya, anaknya yang sudah menghabiskan harta ayahnya disambut dengan pesta meriah?

 

 

 

Sikap anak sulung ini jelas memperlihatkan apa yang dilakukannya selama ini terhadap ayahnya lebih merupakan "tugas dan kewajiban", bukan kasih kepada ayah dan saudaranya. Ia menekankan ketaatan dan bukan kasih. Ini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus bahwa kisah ini mencerminkan sikap orang Farisi dan orang Israel, yang merasa mereka adalah “anak sulung” dan "anak yang dikasihi", tetapi sebenarnya lebih fokus pada dirinya, bukan menjadi teladan dan berkat sebagaimana rencana Allah bagi umat Israel. Anak sulung ini tidak dapat melihat bahwa adiknya telah kembali, saudaranya telah dipulihkan, dan adiknya yang mati telah kembali dihidupkan di hadapan Allah.

 

 

 

Anak sulung ini memperlihatkan sikap yang buruk, sepertinya ia menginginkan adiknya dihukum karena sudah menghabiskan harta ayahnya. Ia senang apabila adiknya dihukum. Apakah kita juga memiliki sifat demikian, yang senang melihat saudara kita atau orang lain dihukum? Mari kita belajar dari kasih Bapa yang telah mengalahkan dosa dengan kemenangan, maka kita juga harus dapat mengalahkan kesalahan dan kecemburuan dengan kasih yang sudah kita peroleh dari Allah. Allah telah mengasihi kita (terlebih dahulu) maka kita wajib mengasihi saudara kita (1Yoh 4:19). Kita diajar untuk melupakan kekurangan dan kesalahan orang lain yang sudah menyesalinya. Kita harus mengikuti firman Tuhan dalam bacaan lain minggu ini, "Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor 5:16-17).

 

 

 

Kesimpulan

 

Nats minggu ini merupakan kisah nyata yang dapat terjadi dalam kehidupan kita. Orang sering berpikir pendek dan mengambil kesimpulan tanpa menyadari dampak jangka panjangnya. Berfikir emosional tanpa penguasaan diri akan berakibat kesengsaraan. Hal itu dapat menimbulkan penyesalan dan semoga saja penyesalan itu tidak terlambat sehingga dapat dipulihkan, baik oleh Bapa di sorga maupun oleh sesama kita manusia. Tidak ada istilah terlambat untuk pertobatan dan tidak ada istilah dosa yang berat untuk tersedianya pengampunan. Kita juga diajar harus menghilangkan sifat marah dan cemburu, membanding-bandingkan, melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban, dan hitung-hitungan. Kisah minggu ini membuat mata kita terbuka dan menyadari maksud Allah yang baik dalam diri kita.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 30 Maret 2025

Kabar dari Bukit Minggu 30 Maret 2025

 

 RAHASIA DOSA DIAMPUNI (Mzm. 32)

 

 ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan” (Mzm. 32:1-2a)

 

 

 

Pernah melakukan kesalahan kepada orang lain dan kemudian dimaafkan? Lega bangat, tentunya. Begitu jugalah perasaan kita bila Tuhan mengampuni semua kesalahan yang kita lakukan. Semua kita pastilah pernah berbuat salah - baik sengaja atau tidak sengaja, direncanakan atau respon spontan, yang menyakiti hati sesama dan Tuhan; dan itu adalah dosa, melanggar perintah Allah. Oleh karena itu Alkitab berkata, semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23).

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 32, ada 11 ayat. Ini merupakan nyanyian pengajaran Daud setelah ia mengakui dosanya kepada Tuhan (ay. 5-6). Tadinya ia menyembunyikannya, dan dampaknya ia merasakan beban yang berat: “tulang-tulangku menjadi lesu / karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas” (ay. 3-4, 10a).

 

 

 

Memang kadang orang mau menyembunyikan dosanya kepada Tuhan dan sesama, dengan alasan rasa malu, takut dihukum, merasa jatuh harga diri yang dilandasi rasa sombong. Padahal, menyimpan semua itu ibarat menggendong beban sampah atau kotoran dalam menjalani hidup, yang mestinya bisa dilepas dan dibuang. Apalagi sampai merasa bangga melakukan dosa, misalnya berhasil mencuri uang kantor yang besar, atau memukuli seseorang yang sebenarnya tidak bersalah padahal bisa diselesaikan dengan baik atau jalur hukum. Itu bukanlah sifat kristiani yang menonjolkan ego dan kehebatan diri, penggunaan kekuasaan yang menyimpang, bahkan penyaluran sakit hati dan dendam yang salah. Ini sebenarnya memperlihatkan kelemahan moral, dampak kurangnya hubungan erat dengan Tuhan yang penuh kasih. Kadang ada juga alasan lain, seseorang tidak mau mengaku dosanya karena pengaruh orang lain, oleh karenanya hati-hatilah dalam bergaul dan berteman.

 

 

 

Mengaku dosa adalah sesuatu yang baik dan positif; kita berarti melepaskan beban yang tidak perlu. Untuk itu kita hanya perlu mengakui secara jujur dan tidak menyangkal (1Yoh. 1:8-10). Kedua, kita juga mengungkapkan penyesalan dalam dan mengakui kelemahan diri. Ketiga, berusahalah menyelesaikannya dengan orang yang kita sakiti atau rugikan (Mat. 6:14-15). Bila tidak direspon, maka tugas kita adalah berdoa dan bersabar, pasti akhirnya indah pada waktunya.

 

 

 

Semua ini tentunya dibungkus dengan iman dan percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat yang telah menebus dosa-dosa kita dengan darah-Nya (Rm. 10:9-10, Ef. 2:8-9). Selanjutnya, kita perlu berjanji akan berubah dan terkendali mengikuti firman-Nya sebagaimana nas miimggu ini mengingatkan, “Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang (ay. 9; Kis. 3:19; Luk. 24:47).

 

 

 

Ketika mengaku dosa dan berjanji, maka kita akan merasakan aman dan damai sukacita (ay. 7; Rm. 5:1), ada kelegaan di hati (ay. 1-2, 10; 1Pet. 5:7), dosa kita telah ditebus di dalam iman (1Yoh. 1:9, Rm. 4:6-8), serta Roh Kudus semakin menguasai hidup kita yang tampak pada perubahan sikap dan cara pandang (ay. 8; 2Kor. 5:17, Ef. 4:22-24).

 

 

 

Kita lihat Raja Daud setelah mengaku dosanya, mengatakan: “Bersukacitalah dalam Tuhan / dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!” (ay. 11). Itulah rahasia indahnya hidup yang diampuni dosanya.

 

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu IV Prapaskah 30 Maret 2025

Khotbah (2) Minggu IV Prapaskah 30 Maret 2025

 

 MENJALANI KEHIDUPAN (Yos. 5:9-12)

 

 Dan berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: "Hari ini telah Kuhapuskan cela Mesir itu dari padamu" (Yos. 5: 9a)

 

 

Sungguh lega rasanya ketika kita tiba di tempat tujuan. Apalagi dari perjalanan panjang yang melelahkan. Itulah gambaran yang diberikan Firman Tuhan di hari Minggu ini bagi kita, dari Yos. 5:9-12. Bangsa Israel dipimpin Yosua telah memasuki tanah Kanaan, negeri yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Beratnya perjalanan keluar dari Mesir, telah sirna. Kegembiraan merebak. Mereka pun merayakan Paskah (ay. 10), sebuah kelepasan dari ancaman kematian dengan tanda darah di pintu rumah (Kel. 12:22-23). Pertolongan Tuhan memang sempurna: umat melewati laut Teberau yang terbelah, petunjuk tiang awan atau tiang api, dan manna untuk makanan selama 40 tahun. Semua kesalahan pun telah hapus (ay. 9).

 

 

 

Kita pun semua dalam perjalanan kehidupan. Ada yang masih 40 tahun lagi atau kurang; tapi kelak ujungnya sama, semua dipanggil menghadap takhta-Nya (2Kor. 5:10). Penulis tak dikenal mengatakan, hidup adalah perjalanan, bukan tujuan. Oleh karena itu, mari kita isi dan nikmati perjalanan kehidupan ini dengan hati bersyukur, semangat dan sukacita. Sesuai Alkitab, untuk itu ada beberapa prinsip yang perlu kita jalankan, yakni:

 

 

 

Pertama, urusan sehari lepaslah dalam sehari. Hidup jangan dibuat rumit. Doa Bapa kami mengatakan, berikanlah kami makanan hari ini yang secukupnya (Mat. 6:11, 25, 34). Tidak dikatakan untuk sebulan, setahun, bahkan untuk anak cucu. Tidak perlu khawatir atau takut berlebihan, sebab kekhawatiran tidak memberi andil dalam pemecahan masalah (Luk. 12:25). Bila datang masalah, usahakan menyelesaikan dengan sabar dan prinsip kebaikan. Bila datang penyakit, ya berobat. Bawa terus dalam doa, bila persoalan belum selesai atau sakit belum sembuh. Allah memberi mukjizat hanya bila diperlukan, sebagaimana manna diberikan selama perjalanan umat Israel. Ketika mereka tiba di Kanaan, mukjizat tidak lagi diperlukan, proses alam telah berjalan, mereka mengolah tanah untuk makanan (ay. 11-12).

 

 

 

Demikian juga bila hati terganggu akibat ulah orang lain. Mungkin ada rasa sakit fisik atau di hati. Kita boleh marah, tapi selesaikan sebelum matahari tenggelam. Kita boleh sedih, kecewa bahkan marah, tapi janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan (Rm. 12:17-18). Menjauhlah dari persoalan, sebab itulah cara berhikmat agar ujungnya damai sejahtera. “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup,” itulah Firman-Nya (Amos 5:14a).

 

 

 

Kedua, buatlah rencana dalam menjalani hidup. Tuhan memerintahkan anak-anak-Nya membuat rencana (Luk. 14:28; Yak. 4:15). Hidup memang berserah, tapi sebaiknya tidak dijalani semau gue, kumaha engke, que sera, sera. Kita ada di dunia untuk misi Allah (Kej. 1:28; Mat. 28:19). Pasti ada yang bisa kita lakukan. Bila hanya bisa berdoa, ya buat daftar yang perlu didoakan; termasuk yang kita tidak sukai. Jangan takut rencana akan gagal, sebab kesuksesan bukan diukur dari hasil, tapi dari menikmati proses yang berjalan. Tetaplah pegang prinsip, manusia berencana dan berupaya optimal, Tuhan tetap yang menetapkan. Jangan fokus pada kesulitan, tetapi melihatnya sebagai tantangan, sebuah padang gurun yang mesti dilalui.

 

 

 

Ketiga, hidup perlu berbuah, menjadi garam dan terang, berkat bagi orang lain. Jika menerima berkat, nikmati dengan syukur. Tetapi jangan lupa, ada banyak orang susah di sekitar/keluarga kita. Masih banyak orang belum mendengar kabar kasih keselamatan, atau mereka yang masih suka kekerasan. Tanggung jawab kita adalah berbagi dan mendukung langkah kasih itu. Jangan kesal bila perbuatan baik dibalas dengan hal buruk. Kehidupan, sama seperti ketika kita menanam padi, rumput kadang ikut tumbuh. Tapi saat menanam rumput, tidak akan pernah tumbuh padi. Merayakan Paskah seperti umat Israel, berarti kita mengakui telah ditebus dengan darah Yesus, menjadi manusia baru milik-Nya, dan siap dipakai-Nya. Lewati babak demi babak kehidupan, dengan iman berpegang kepada Tuhan Yesus.

 

 

 

Terakhir, puncak sukacita kita ada di akhir perjalanan, hidup sudah pasti bersama Bapa di sorga. Tiada yang lebih indah dari itu. Dunia ini akan berakhir, dan hari Tuhan pasti datang. Jangan pusingkan waktunya, sebab hari Tuhan yang tampak dekat itu adalah saat kita dipanggil-Nya. Jangan sampai sudah susah di dunia, kelak di kehidupan lain juga susah terus dalam penderitaan. Bersyukurlah, ada tempat telah disediakan Tuhan Yesus. Dan, rayakanlah.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 71 guests and no members online

Statistik Pengunjung

001349
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1349
0
1349
0
18706
179943
1349

IP Anda: 108.162.226.249
2025-05-03 02:08

Login Form